Dunia pendidikan kembali diterjang badai. Sejumlah nama kampus ternama di Indonesia, malah masuk zona integritas di mana hasil riset penelitian mereka dipertanyakan. Terlepas dari 13 kampus berprestasi yang masuk dalam laporan Integrity Risk Index (RI²), permasalahan klasik seperti plagiasi dan joki jurnal sudah bukan rahasia lagi.
***
Integrity Risk Index, sebuah penelitian yang digagas oleh Profesor Lokman Meho dari American University of Beirut mengidentifikasi, ada 13 kampus di Indonesia yang masuk dalam daftar risiko integritas riset. Temuan ini menunjukkan betapa rendahnya kualitas riset di kampus Indonesia.
Di sisi lain, nama-nama kampus ternama seperti Universitas Bina Nusantara (BINUS), Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Padjajaran (UNPAD), hingga Universitas Airlangga (Unair) memang sedang terobsesi pada gelar peringkat internasional.
Sebut saja Unair yang baru saja meraih posisi pertama di Asia Tenggara dan peringkat ke-9 dunia dalam THE Impact Rankings 2025. Tak lama berselang, reputasinya justru dipertanyakan karena ia menjadi salah satu kampus di Indonesia yang masuk kategori risiko tertinggi (redflag).
Lebih dari itu, permasalahan kualitas dan integritas riset adalah fenomena gunung es yang hingga kini tak jelas juntrungannya. Mulai dari plagiasi, joki jurnal, jurnal predator, sampai moral dosen dan mahasiswa di Kampus Indonesia yang rusak.
Bobroknya moral dosen dan mahasiswa di kampus Indonesia
Dosen di salah satu kampus di Surabaya, Gigih Saputra mengaku pernah menemukan promosi jasa perjokian yang secara terbuka di media sosial. Seolah mempromosikan hal tersebut adalah hal yang lumrah dan dinormalisasi secara umum.
“Saya pernah menemukan fenomena perjokian skripsi hingga disertai dengan mematok tarif khusus,” kata Gigih kepada Mojok, Kamis (10/7/2025).
Sebetulnya, kata Gigih, masalah integritas dan kualitas penelitian di kampus Indonesia sebenarnya adalah masalah klasik. Yang kian berlarut-larut, karena kuatnya nilai kapitalisme dan feodalisme dalam sektor Pendidikan Tinggi.
“Pada dasarnya, narasi karir dosen kita sangat kuat dengan mengutamakan kenaikan jabatan fungsional terlebih jabatan Profesor,” ujar Gigih yang sudah menyelesaikan kuliah S3-nya prodi Studi Islam.
Gigih tak mengelak jika jabatan memiliki prestise tersendiri dalam karier dosennya, apalagi jika menempuh pendidikan di kampus Indonesia. Artinya, tanpa gelar profesor, seorang dosen akan sulit hidup sejahtera.
Maka dari itu, banyak yang menganggap jika dengan gelar profesor, seseorang bisa mendapat pengakuan serta insentif yang lebih tinggi. Padahal, orientasi ini rawan memicu tindakan kecurangan dalam meraih jabatan.
“Dari situlah muncul persepsi, yang penting bisa publikasi dengan jumlah banyak, tapi mengorbankan kualitas dan integritas. Jurnal predator, ‘numpang nama’, dan perjokian jurnal internasional dengan biaya tinggi menjadi rahasia umum yang banyak terjadi,” kata Gigih.
Riset untuk mengejar jabatan, bukan kemajuan pendidikan
Di sisi lain, para dosen yang diwajibkan publikasi jurnal internasional bereputasi juga mengaku kesulitan karena kebijakan open acces. Gigih melihat kebijakan itu semakin memperkuat kapitalisme dalam hal publikasi di kampus Indonesia.
“Narasi besar penemuan hingga penciptaan teori baru sebagai level tertinggi dalam riset dasar, sangat asing bagi dunia riset kita. Selain itu, jurnal internasional bereputasi sekalipun tidak menjamin hal tersebut,” kata dia.
Tak perlu jauh-jauh mengkritik implementasi publikasi jurnal internasional, Gigih juga mempertanyakan kinerja Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yang sudah berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek).
Misalnya, dalam program Kampus Berdampak yang merupakan program lanjutan dari Kampus Merdeka. Kemendiktisaintek berharap program ini dapat menyelesaikan masalah di dunia kerja.
Baca Halaman Selanjutnya
Program pemerintah terlalu berat sebelah
Sayangnya, menurut Gigih, program ini terlalu berat sebelah. Pemerintah selalu berfokus pada kebijakan yang bersifat terapan ketimbang riset dasar. Padahal, riset dasar bisa membantu pengembangan hingga menciptakan ilmu pengetahuan baru.
“Arah pendidikan kita cenderung bagaimana memenuhi kebutuhan dunia kerja dan bagaimana bisa meraih peringkat kampus yang sangat prestise,” kata dia.
“Narasi bagaimana agar Indonesia menjadi kiblat ilmu pengetahuan dengan terobosan-terobosan penemuan dalam teori baru untuk mengimbangi peradaban barat bukan menjadi arah prioritas,” lanjutnya.
Riset tak hanya soal kuantitas
Oleh karena itu, Gigih mengimbau kapitalisme dan feodalisme dalam praktik pembuatan riset seharusnya diberantas, jika ingin Indonesia Emas 2045 terwujud. Apalah arti memenuhi kebutuhan dunia kerja serta mengejar peringkat kampus dunia, jika moral dari sumber daya manusianya rusak.
“Untuk mencerdaskan bangsa, syaratnya tentu perlu ada keseimbangan untuk memajukan riset dasar dan riset terapan yang berdampak langsung bagi kehidupan,” ucapnya.
Jika memilih riset dasar maka yang ia peroleh adalah top achievement penemuan hingga muncul penciptaan teori baru. Jika riset terapan, hasilnya adalah inovasi teknologi. Tujuan itu yang seharusnya jadi motivasi para peneliti maupun dosen. Sementara, kenaikan pangkat hanyalah bonus dari kadar kebaruan riset yang mereka buat.
Dengan orientasi dosen yang berubah, maka target pendidikan kampus di Indonesia seharusnya ikut berubah. Di mana, dosen tidak terlalu dibebani dengan jumlah riset yang banyak atau kuantitas semata, tapi juga kualitas ilmiah yang menunjukkan kebaruan.
“Dengan begitu, kontribusi maksimal para dosen di kampus Indonesia dapat meningkat secara kumulatif. Hal tersebut bisa mengurangi persepsi bahwa publikasi riset atau jurnal hanya sekadar gugur kewajiban atau mengejar jumlah dalam tiap semester dan tahunan,” ujar Gigih.
Pola sistemik yang perlu diterapkan kampus di Indonesia
Menurut alumni UIN Surabaya Jurusan Filsafat tersebut, doktor seharusnya tidak dipahami sebagai gelar akademik tertinggi saja. Tapi seseorang yang mampu menemukan teori baru. Masalahnya, dalam pengelolaan studi doktoral di kampus Indonesia saat ini, gelar doktor hanya dijadikan sebagai standar sukses pendidikan seseorang.
Orang yang punya gelar doktor, dianggap mampu menerbitkan jurnal internasional bereputasi, sekolah lama dan lulus tepat waktu dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) yang bagus. Tidak ada yang salah memang, tapi pengelolaan studi doktoral ini, kata Gigih, seharusnya dapat mengarah pada penemuan dan penciptaan teori baru.
“Jika diperlukan, ada program khusus mahasiswa yang memiliki rencana untuk mengembangkan dan menemukan teori baru. Mahasiswa yang mengikuti program tersebut perlu menyiapkan setidaknya penelusuran kesenjangan teoritik yang akan ditindaklanjuti oleh pihak pascasarjana menjadi desain kesenjangan teoritik,” jelas Gigih.
Gigih berharap mahasiswa yang menempuh pendidikan S3 lebih banyak mendapatkan kelas diskusi hingga brainstorming soal desain konstruksi, maupun penataan ulang atau rekonstruksi teoritik. Selain itu, mereka juga dapat mengikuti kuliah tamu, studium generale, sampai colloqium, sehingga tema riset yang dihasilkan tidak hanya mainstream dan menarik.
Gigih tak menampik, untuk mewujudkan itu semua, perlu kesungguhan dari berbagai pihak dengan waktu yang relatif lama. Tapi, ia masih yakin kalau sistem pendidikan akan jauh lebih baik asal pemerintah jeli dalam melihat akar masalahnya.
“Tekad yang kuat sangat diperlukan untuk lepas dari jerat permasalahan klasik. Begitu fundamentalnya sistem pendidikan dan bisa berefek kepada sektor yang lain. Jika sistem pendidikan banyak permasalahan, maka itu akan berefek negatif pula,” kata Gigih.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Riset Kampus di Indonesia Cuma Jadi Sampah Ilmiah, Alarm Serius buat Binus hingga Unair yang Masuk Daftar Red Flag atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
