Sejak lama, masyarakat percaya bahwa beringin adalah pohon yang angker. Namun, mitos itulah yang justru menyelamatkan alam dari kerusakan. Salah satunya, si angker ini menyelamatkan sumber air di lereng Muria.
***
Air itu menetes perlahan, hanya setetes demi setetes, dari celah bebatuan di kaki Bukit Patiayam, Desa Gondoharum, Kecamatan Jekulo, Kudus. Di bawah rimbun semak, sebuah pipa plastik tua menjulur ke arah permukiman yang tampak jauh di bawah. Seolah masih berjuang menyalurkan sisa kehidupan dari perut bukit yang kering.
“Sudah beberapa bulan ini debitnya berkurang,” kata Mohtarom, lelaki 48 tahun yang menemani kami mendaki sore itu. Ia jongkok, menadahkan telapak tangan di bawah tetesan air. “Tapi sumber airnya masih hidup,” ujarnya pelan.
Di sekeliling kami, Bukit Patiayam terbentang gersang. Rumput liar tumbuh jarang di antara batu, sementara batang-batang mahoni dan randu muda berdiri kaku tanpa daun.

Tak ada suara selain gemerisik kering dan bunyi air yang jatuh tak teratur. Ia menjadi satu-satunya tanda bahwa di perut tanah yang kering ini, masih ada sumber kehidupan yang mengalir.
“Dulu di sini banyak pohon besar,” kata Mohtarom sambil menatap ke atas bukit. “Sekarang tinggal beberapa saja. Tapi di tempat yang masih ada beringin, airnya belum mati.”
“Orang dulu takut menebang beringin. Katanya angker, ada penunggunya. Entah itu benar atau tidak, yang jelas karena rasa takut itulah, air di sini ini masih ada.”
Rasa takut yang menyelamatkan sumber air
Mohtarom adalah staf Community Development di BLDF, yayasan yang sejak beberapa tahun terakhir membantu warga lereng Muria, termasuk Bukit Patiayam, menghidupkan kembali sumber air yang kian menipis. Dalam catatannya, ada belasan sumber mata air di Bukit Patiayam, meskipun kini yang masih aktif sepanjang tahun mulai berkurang.
Ia bercerita, masyarakat di sekitar Bukit Patiayam punya keyakinan bahwa setiap pohon besar memiliki penunggu. Banyak cerita tentang orang desa yang kerasukan atau kualat karena menebang pohon besar secara sembarangan.
“Orang di sini percaya saja, entah benar apa tidak ya mitosnya,” katanya sambil tertawa pendek. “Tapi sekarang saya jadi paham, itu cara terbaik buat melindungi alam.”
Kepercayaan semacam ini, meski terdengar lucu, ternyata bukan sesuatu yang sepele. Penelitian yang dilakukan Luchman Hakim dkk. di Malang, Jawa Timur pada 2020, menunjukkan bahwa sebagian besar sumber air di sana berasosiasi dengan pohon yang dianggap sakral oleh masyarakat, termasuk beringin. Warga percaya, jika pohon itu ditebang maka air akan ikut hilang, dan secara ekologis hal itu terbukti benar.
Dalam riset yang dipublikasi di Asian Journal of Medical and Biological Research tersebut, para peneliti menelusuri 24 titik mata air tradisional di Kecamatan Tumpang dan Poncokusumo, dua wilayah yang menjadi hulu bagi Sungai Brantas. Mereka menemukan bahwa lebih dari 70 persen sumber air berada di sekitar vegetasi Ficus spp., terutama beringin dan waringin Jawa.
Pohon-pohon ini berperan penting dalam menjaga kelembapan mikro dan mencegah erosi di sekitar sumber air. Warga setempat menganggap area di bawah pohon itu sebagai “tanah larangan”, yakni kawasan yang tak boleh diganggu, baik untuk penebangan maupun perluasan lahan.
Hakim dan rekan-rekannya mencatat bahwa larangan-larangan berbasis kepercayaan lokal itu memiliki dampak konservasi nyata. Di desa-desa yang masih memegang teguh tabu spiritual terhadap pohon besar, debit air di musim kemarau terbukti lebih stabil dibanding desa yang telah mengabaikan tradisi tersebut.
Peneliti menyebut fenomena ini sebagai ecological belief system, yakni sistem kepercayaan ekologis yang menjaga ekosistem tanpa instrumen hukum formal. Dengan kata lain, mitos dan ritual tradisional di sekitar pohon sakral berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk melestarikan fungsi hidrologi.
“Jadi kalau mereka bilang ‘jangan ganggu beringin karena ada penunggunya’, ya sebenarnya yang dijaga itu airnya,” kata Mohtarom. “Hanya bahasanya saja yang mistis.”
Penyakralan beringin di Bukit Patiayam
Kami pun berjalan ke arah utara, menyusuri tanjakan Bukit Patiayam. Jalan menanjak itu diapit kebun mangga dan bibit buah lain yang sejak beberapa tahun terakhir ditanam warga sekitar.
Batang-batang bambu, ilalang, dan daun ficus yang lebat membentuk gerbang alami. Di beberapa titik, dijumpai belukar berduri–saya menyebutnya samparkolet—di atas tanah kering yang nyaris gundul.
“Di sini dulu banyak pohon besar,” ujar Mohtarom, menunjuk ke bukit kecil yang kini hanya ditumbuhi semak. Ia bercerita, bukit ini dulunya asri. Namun, penebangan pohon besar-besaran diikuti pembukaan lahan dalam 10 tahun terakhir membuat bukit itu gundul.
“Begitu pohon-pohon besar ditebang, air di bawahnya ikut mati,” jelasnya.
Menjelang sore, kami tiba di kawasan hutan kecil di mana suara gemericik air mulai terdengar lebih jelas. Di sana, terdapat terminal–tempat penampungan air–yang lebih besar. Dari terminal-terminal ini, air disalurkan ke permukiman menggunakan paralon.
Uniknya, di tiap terminal yang kami jumpai, pola ruangnya selalu sama: berdiri satu pohon beringin dengan akar yang menjuntai seperti tirai. Ada yang sudah tumbuh puluhan meter, ada juga yang belum lama ditanam.
“Itu Goa Gograk,” kata Mohtarom, menunjuk satu pohon besar yang di bawahnya terdapat goa sedalam puluhan meter yang menyimpan air. “Warga percaya di sana angker, banyak mitosnya. Konon ada orang yang pernah kesana tapi nggak pernah balik lagi.”
Selain Goa Gograk, Mohtarom menyebut di Bukit Patiayam ada satu lagi goa serupa yang dikeramatkan. Namanya Goa Ndalam, yang kira-kira bentuknya mirip Goa Gograk.
“Entah benar atau tidak mitos itu. Yang jelas itu efektif bikin warga takut menebang pohon,” kata dia. “Saya sudah menanam pohon beringin di titik lain, kalau sudah besar bakal tak lilitin kain putih biar dikeramatkan juga.”
Pelajaran dari akar beringin
Dua hari kemudian, rombongan kami menemui Teguh Budi Wiyono, Ketua Yayasan Pegiat Konservasi Alam (Peka) Muria di basecamp-nya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus. Yayasan ini sudah lebih dari dua dekade bergerak dalam konservasi hutan Muria.
Siang itu, kami diajak mendaki lereng Muria, menyusuri sisi Sungai Kembang yang membagi Desa Colo di sebelah barat dan Desa Japan di bagian timur. Semerbak harum bunga kopi dan suara tonggeret yang bersahutan, langsung menyambut perjalanan kami dalam mencari sumber air di sekitar lereng.
Temuan kami? Kurang lebih sama dengan yang ada di Bukit Patiayam: sumber-sumber air berada di bawah pohon beringin besar. Namun, ukuran pohon di sini lebih besar dan debit air lebih deras.
“Di sini, polanya memang sumber air itu pasti berada di dekat pohon ficus, salah satunya beringin,” kata Teguh. Alasannya, imbuh Teguh, karena beringin (Ficus benghalensis) memiliki sistem akar yang luar biasa kompleks.
“Ada dua jenis akar,” katanya, menunjuk ke arah pohon besar yang berada di dekat Sendang Nglaren. “Akar tunggang yang dalam, menyerap air tanah, dan akar gantung yang menangkap embun serta air hujan dari udara. Kombinasi ini membuat tanah di sekitarnya selalu lembab.”
Apa yang disampaikan Teguh sejalan dengan hasil kajian terbaru Shengyun Yuan di International Journal of Molecular Sciences (2024), yang menyoroti kemampuan fisiologis genus Ficus dalam menyerap dan menahan air di lingkungan tropis. Pohon-pohon dari genus ini, termasuk beringin, memiliki jaringan akar udara yang berperan sebagai “pompa alami”, menarik air dari lapisan bawah menuju permukaan.
Studi lain oleh Beatriz F. Barros dan kolega di City and Environment Interactions (2024) juga menunjukkan bahwa beringin tua berfungsi menjaga kestabilan air tanah dan menyimpan karbon dalam jumlah besar di sekitar perakarannya.
“Jadi sebenarnya, ketika masyarakat menganggap beringin itu ‘pohon penunggu’, mereka sedang melindungi mekanisme hidrologi yang sangat rumit,” kata Teguh. “Ya hanya saja ilmuwan baru menjelaskan sebab ilmiahnya belakangan.”
Kepercayaan pada pohon sudah muncul sebelum Islam masuk
Namun, kepercayaan klenik terhadap pohon besar tak tumbuh begitu saja. Sejarawan Peter Boomgaard dalam bukun Sacred Trees and Haunted Forests in Indonesia (1995) menulis bahwa di Jawa, jauh sebelum agama-agama besar masuk, masyarakat telah mengenal konsep pohon penunggu—tempat roh leluhur berdiam.
Pohon yang besar, teduh, dan tumbuh di dekat air, dianggap sebagai titik pertemuan antara dunia manusia dan dunia halus.
“Beringin jadi simbol kosmos,” tulis Boomgaard. “Akar-akarnya menembus bumi, batangnya di dunia manusia, cabangnya menyentuh langit.”
Tradisi itu bertahan, berbaur dengan keyakinan Islam maupun Kristen di Jawa. Di banyak tempat, termasuk di Muria, ritual bersih sendang atau sedekah bumi dilakukan di bawah beringin tua, disertai doa dan sesajen. Meski bentuknya berubah, esensinya tetap sama: menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Di lereng Muria sendiri, warga masih rutin membersihkan area sekitar pohon besar setiap bulan Sura. Terkadang, tak ada kemenyan atau sesajen, hanya doa bersama. Meski tak sedikit juga yang masih “meminta berkah” ke Sendang Nglaren, tempat kami berdiri.
“Dulu orang bilang itu ritual mistik,” ujar Teguh. “Tapi bagi kami yang paham, ya biarkan saja, karena secara nggak langsung itu bikin orang takut merusak alam.”
Cara terbaik menjaga mata air
Yang menarik, hubungan antara “sakral” dan “sains” di lereng Muria tidak pernah benar-benar bertentangan. Justru keduanya saling menguatkan.
“Kalau kami datang dengan pendekatan ilmiah saja, warga kurang tertarik,” kata Teguh. “Tapi kalau kami hubungkan dengan cerita leluhur, mereka merasa punya bagian.”
Dalam pandangan Teguh, menjaga beringin bukan sekadar urusan spiritual, tapi juga ekologis. Ia adalah bentuk hormat kepada yang lebih besar dari manusia, yakni alam dan pencipta.
Pendekatan ini terbukti efektif. Dari pengamatan yang dilakukan Yayasan Peka, debit air di beberapa sendang di lereng Muria yang direstorasi dengan pohon beringin meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Hal serupa juga terjadi di Bukit Patiayam
Sore itu, sebelum turun dari lereng Muria, saya dan romobongan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Di tengah krisis air yang melanda banyak daerah, masyarakat lereng Muria menemukan cara mereka sendiri untuk bertahan, yakni dengan menghormati sesuatu yang dulu dianggap angker.
“Mungkin yang kita sebut mistik dulu sebenarnya cuma cara lain untuk bilang: ‘jangan serakah’,” kata Teguh. “Pada hakekatnya, alam itu nggak butuh manusia, tapi manusia yang butuh alam. ‘Alam adalah amanah, menjaganya adalah ibadah,” pungkasnya.
Tulisan ini merupakan serial Ekspedisi Tirtamuria untuk edisi Oktober 2025
Reporter: Ahmad Effendi dan Muchamad Aly Reza
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Kopi Rahtawu: Ketika Sampah Tak Bernilai Menjadi Emas bagi Petani Kopi di Lereng Muria atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan