Berakhir DO dan jadi “sampah keluarga” (1)
Pertemuan berikutnya antara Denis dan temannya itu adalah saat reuni SMA pada libur semester awal perkuliahan. Saat itu, Denis masih gap year dan ikut bantu-bantu pamannya yang punya bengkel las di Surabaya.
Akan tetapi, saat itu, tidak ada lagi percakapan soal perjokian. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Temannya juga tampak menikmati menjadi mahasiswa baru Teknik Elektro.
Setelahnya, mereka makin jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Sampai akhirnya pada 2022 Denis mengikuti UTBK-SNBT lagi. Tapi di jurusan dan kampus yang berbeda dari pilihannya di tahun sebelumnya.
Denis akhirnya bisa kuliah. Meski tidak di Teknik Elektro kampus incaran. Seiring itu, dia kembali bertemu dengan temannya yang ternyata memutuskan drop out (DO).
“Katanya nggak kuat walaupun belum setengah jalan kuliah. Tugasnya katanya sesulit itu. Minta bantuan teman kelas, temannya juga pada sibuk. Mau joki setiap tugas juga nggak mungkin karena lebih sering praktikum ketimbang teori. Akhirnya DO,” tutur Denis.
Berakhir DO dan jadi “sampah keluarga” (2)
Singkat cerita, Denis makin sibuk. Karena selain kuliah, dia juga masih ikut bantu-bantu di bengkel las pamannya.
Lalu dia mendengar desas-desus dari sejumlah teman SMA-nya bahwa teman Denis pengguna joki UTBK-SNBT tadi mulai kelimpungan. Orangtuanya terlanjur kecewa karena anaknya DO. Padahal sudah habis uang banyak buat kuliah (orangtuanya masih tak tahu kalau sang anak menipu soal uang Rp10 juta).
“Kata teman-teman SMA, dia kerja-kerja kontrak gitu lah. Tahun 2022 itu kayaknya nganggur. Masih Covid-19 kan. Susah cari kerja. Tahun 2023 kabarnya jadi kurir sampai 2024. Terus berhenti. Sekarang katanya nganggur lagi,” beber Denis.
Awal 2025 lalu Denis sempat bertemu lagi saat sama-sama menghadiri acara pernikahan teman SMA mereka. Denis sempat iseng bertanya, “Sibuk apa sekarang?”. Sambil tertawa getir, temannya itu menjawab, “Sibuk nggak ngapa-ngapain. Jadi sampah keluarga.” Entah jawaban bercanda atau serius.
“Aku nggak punya pesen sih buat calon mahasiswa baru soal ini (joki). Itu urusan masing-masing. Tapi kalau aku, aku selalu takut sesuatu yang kumulai dengan cara nggak baik, akan berakhir nggak baik pula,” jawab Denis saat diminta memberi saran untuk calon mahasiswa baru agar tidak tergiur dengan godaan joki UTBK-SNBT.
Sindikat joki UTBK-SNBT Surabaya loloskan 110 orang hingga raup untung Rp8,5 miliar
Dalam konteks Surabaya, sindikat joki UTBK-SNBT sudah beroperasi sejak 2020 (sejak masih SBMPTN).
Pada Mei-Juni 2022 silam, Polrestabes Surabaya berhasil membekuk delapan orang tersangka joki. Enam di antaranya dari Surabaya, satu dari Sulawesi, dan satunya lagi dari Kalimantan. Pelakunya mulai dari usia 20 tahun, 23, 26, 20, 31, 34, 38, dan 40 tahun.
Harga yang merka patok beragam, dari Rp100 juta hingga Rp400 juta, menyesuaikan jurusan dan kampus yang dipilih.
Sindikat mereka, merujuk data Polrestabes Surabaya, telah meloloskan sebanyak 110 orang. Dari sana mereka meraup untung hingga Rp8,5 miliar.
Para pelaku pun dijerat Pasal 32 ayat (2) Sub-Pasal 48 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 KUHP.
Gara-gara ujian yang sifatnya menguji hafalan
Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL-UGM Dede Puji Setiono menyebut, fenomena joki UTBK-SNBT merupakan kegagalan sistem evaluasi yang terlalu kaku.
Menurutnya, selama ini ujian nasional maupun ujian-ujian sejenis sifatnya menguji “hafalan” tanpa critical thinking. Alhasil, sistem pendidikan Indonesia, menurut Dede, masih terjebak antara idealisme dan realitas pragmatis dalam membentuk SDM yang berkualitas dan berintegritas.
Tak pelak jika hal itu menjadi momok yang memaksa siswa mencari jalan pintas. Padahal, di negara lain seperti Finlandia misalnya, sudah membuktikan: kurikulum fleksibel dan minim ujian standar justru melahirkan generasi kreatif.
“Jika kita mau jujur, ini bukan sekadar masalah angka, melainkan pertanda bahwa nilai-nilai integritas masih kalah saing dengan budaya “yang penting kelar”. Tetapi, sebagai akademisi, saya juga melihat ini sebagai kesempatan untuk merevitalisasi sistem,” ujar Dede dalam keterangan tertulisnya, Jumat (2/5/2025).
“Kita perlu revolusi mindset. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi pembentuk karakter. Kurikulum harus diperbaiki, kurangi jam hafalan, tambahkan proyek sosial yang melatih empati dan kejujuran. Dan yang utama, jadikan integritas sebagai investasi, bukan beban,” tegasnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: 4 Pilihan jika Gagal UTBK-SNBT, Tak Perlu Buru-buru Jadi Mahasiswa Baru atau liputan Muchamad Aly Reza lainnya di rubrik Liputan












