Upaya menjadikan Pramoedya Ananta Toer sebagai nama jalan di Blora, Jawa Tengah, benar-benar tidak mudah. Itulah yang adik kandung Pram, Soesilo Toer (Mbah Soes) ungkapkan pada saya.
Usulan nama Pramoedya Ananta Toer sebagai nama jalan di Blora sudah Mbah Soes lontarkan sejak masa Bupati Blora periode 2010-2015, Joko Nugroho.
Di masa Bupati Arief Rahman ini, angin segar sebenarnya sudah berhembus. Komitmen Pemkab terdengar kuat untuk meresmikannya di peringatan satu abad Pram pada 6 Februari 2025 nanti.
Namun, ketika hari itu makin dekat, ada saja yang seolah dipermasalahkan perihal penamaan Jalan Pramoedya Ananta Toer.
Nama Jalan Pramoedya Ananta Toer ditentang masyarakat Blora?
Mbah Soes dan putranya, Benee Santoso, agak muntab saat mendengar update terbaru perihal penamaan Jalan Pramoedya Ananta Toer di Blora.
Update terbaru tersebut datang dari Eko Arifianto, aktivis lingkungan dari Blora yang selama ini kerap aktif dalam diskusi-diskusi tentang Pram. Dia bahkan menyebut kelompoknya sebagai Pramis.
Melalui Facebook-nya, Eko mengatakan bahwa dia baru saja berdiskusi dengan OPD dan perwakilan masyarakat Blora yang tinggal di sekitar Jalan Sumbawa: jalan yang diusulkan diganti dengan nama Jalan Pramoedya Ananta Toer.
“Kami melihat bahwa penggantian nama Jalan Sumbawa cukup berpotensi menimbulkan resistensi (penolakan) dari warga lokal, karena masyarakat mesti mengurus ulang berbagai dokumen resmi seperti KTP, KK, sertifikat tanah, hingga alamat usaha. Hal ini dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat secara signifikan,” paparnya.
“Kami mengajukan gagasan alternatif untuk mengenang beliau (Pram), yakni dengan mengganti Jalan Sumbawa dengan jalan lain yang lebih sesuai dengan konteks sosial dan geografis untuk menghindari resistensi masyarakat terkait perubahan administratif yang signifikan,” sambungnya.
Ada jalan lain
Dari hasil koordinasi bersama OPD dan perwakilan warga itu pula, Eko mengajukan jalan lingkar yang menurutnya lebih cocok dan relevan untuk menjadi Jalan Pramoedya Ananta Toer.
Jalan lingkar tersebut memiliki panjang 1,7 kilometer dan memiliki kedekatan geografis dengan rumah masa kecil Pram (PATABA) di Jetis, Blora. Yaitu hanya sekitar 900 meter.
Selain itu, menurut Eko, jalan ini berfungsi strategis karena menghubungkan Kelurahan Beran, Pasar Sidomakmur, dan Kantor Kecamatan Kota Blora. Termasuk juga menghubungkan ke Rusun Bhayangkara dan Kampus UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) yang rencananya akan berdiri di sekitar sana.
“Jalan alternatif yang berjarak hanya 300 meter dari Kali Lusi dan mempunyai panorama areal persawahan di kiri-kanannya cukup mencerminkan kedekatan Pramoedya dengan lanskap kehidupan realisme sosial Kota Blora yang sering menginspirasi karya-karyanya, seperti di kumpulan cerpen Cerita Dari Blora,” jelas Eko.
Lebih dari itu, lanjut Eko, faktor resistensi masyarakat Blora menjadi hal penting yang harus dipertimbangkan dalam mewujudkan wacana penamaan Jalan Pramoedya Ananta Toer.
Sebab, jika penamaan jalan tersebut tidak menimbulkan polemik—dengan menggeser ke jalan lain, bukan Jalan Sumbawa—maka bisa menunjukkan bahwa penghormatan terhadap Pram dilakukan dengan semangat sesarengan (kebersamaan), persatuan dan keselarasan, sebagaimana nilai-nilai kemanusiaan yang Pram perjuangkan.
Jalan Sumbawa sudah berganti-ganti nama, nyatanya tidak ada masalah
Benee Santoso, anak Mbah Soes yang sekaligus merupakan keponakan Pram langsung merespons argumentasi Eko. Sebab argumennya, bagi Benee, kelewat mentah.
Benee memberi beberapa catatan. Pertama, jika penamaan jalan Pramoedya Ananta Toer harus relevan dengan konteks sosial dan geografis, maka Jalan Sumbawa lebih masuk akal. Karena jalan itulah yang sering Pram lewati semaca kecil.
Kedua, dari mana argumen resisteni masyarakat dan OPD karena akan menimbulkan persoalan administratif itu? Sebab, senyatanya, Jalan Sumbawa tercatat sudah empat kali berubah nama. Begitu pula dengan jalan-jalan lain di Blora, seperti Jalan Halmahera, Jalan Nusantara, Jalan Maluku, Jalan Mr. Iskandar, Jalan Soemodarsono.
“Toh masyarakat selama ini ayem tentrem saja soal perubahan nama jalan. Lagipula, masyarakat yang mana yang kawan itu (Eko) maksud?” sanggah Benee.
Bahkan, di titik ekstrem, bagi Benee, misalnya dampak administratif memang tidak terhindarkan, ya apa salahnya? Toh dampak administratif itu memang sudah sewajarnya untuk mengingat Pram dan sumbangsihnya yang begitu besar. Bukan hanya kepada masyarakat Blora, melainkan juga kepada masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia.
“Blora, dan bahkan Kali Lusi, menjadi dikenal di dunia sastra Indonesia dan sastra dunia salah satu faktor utamanya adalah karena Pram. Tidak ada yang bisa membantah itu,” tegas Benee
Masyarakat Blora belum sepenuhnya “menerima” Pramoedya Ananta Toer karena masa lalu kelam
Pram memang punya nama besar di jagat sastra Indonesia. Dia pun jadi satu-satunya sastrawan Indonesia yang diusulkan masuk dalam nominasi Nobel Sastra. Akan tetapi…
“Masyarakat Blora, terutama pejabat Pemkab Blora, banyak yang belum bisa sepenuhnya “menerima” Pram. Kecuali kalau untuk keperluan yang menguntungkan mereka,” ujar Mbah Soes kepada saya, Jumat (10/1/2025).
“Sebenarnya bukan hanya masyarakat Blora saja, bahkan masyarakat Indonesia pun demikian,” sambungnya getir.
Saya lantas teringat dengan pertemuan saya dengan Mbah Soes pada Maret 2019 lalu. Momen saat saya mengantar seorang teman dari Aceh untuk melihat rumah masa kecil Pram sekaligus sowan kepada Mbah Soes.
Laporan pertemuan itu masih tersimpan dalam media rintisan kami waktu itu (bisa baca di sini). Saat saya dan teman Aceh saya itu belajar menulis.
Barangkali, resistensi pada penamaan Jalan Pramoedya Ananta Toer di Blora sepenuhnya bukan karena persoalan administratif. Tapi memang karena masih banyak orang Blora yang belum bisa menerima Pram dan keluarganya. yang sedari dulu dicap sebagai “Orang Merah” (PKI).
Selain itu, asumsi Mbah Soes waktu itu, keluarga Pram juga kerap dicap miring lantaran lahir dari nenek seorang pelacur. Kisahnya diabadikan Pram dalam karyanya, Midah: Si Manis Bergigi Emas.
“Saya bangga dengan nenek saya yang pelacur. Begini, pelacur saja melahirkan keturunan seperti Pram, apalagi jika nenek saya itu seorang berpendidikan?” tuturnya waktu itu.
Penggantian nama Jalan Sumbawa menjadi nama Pramoedya Ananta Toer, hingga tulisan ini tayang, masih belum menemui titik terang. Buntu.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Bandara Ngloram Blora: Proyek Mahal, Tapi Berakhir Sepi Bagai Kuburan dan Cuma Bikin Susah Petani atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan