Dosen Departemen Sejarah UGM, Sri Margana, sedang berada di Belanda ketika panggilan telepon mengagetkannya, awal tahun 2020 lalu. Saat itu, dia berencana menetap di Amsterdam selama tiga bulan untuk keperluan penelitian. Sementara dari ujung telepon, terdengar suara Peter Carey, sejarawan asal Inggris yang lama mengabdikan hidupnya dalam menulis sejarah Jawa, sekaligus teman baik Margana.
Sayangnya, panggilan dari sahabatnya itu justru bikin dia shock, lantaran sang lawan bicara memberinya tuduhan yang teramat serius.
“‘Margana, saya sudah membaca buku Madiun yang kamu berikan, dan saya menemukan kamu telah melanggar copyrights karena mengutip tulisan saya tanpa izin’,” ungkap Margana kepada Mojok, Selasa (19/11/2024), menirukan suara Peter Carey.
Secara spontan, Margana langsung meminta maaf. Namun, dia juga kebingungan, bagian mana yang dianggap Peter Carey sebagai pelanggaran hak cipta.
Saat tuduhan itu dilayangkan, Margana dan tim penelitinya memang baru saja menyelesaikan proyek penulisan sejarah dari Pemerintah Kabupaten Madiun. Proyek ini menghasilkan dua buku, yakni Madiun: Sejarah Politik dan Transformasi Kepemerintahan dari Abad XIV hingga Awal Abad XXI dan Raden Rangga Prawiradirja III.
Sayangnya, Margana tidak bisa mengecek kembali hasil tulisannya–untuk mencari letak kesalahannya–karena buku itu tidak dibawa ke Belanda. Seingatnya, dia memang sempat menggunakan buku Kuasa Ramalan karya Peter Carey sebagai rujukan untuk menulis salah satu bab di bukunya.
Namun, secara prosedur pengutipan, Margana dan timnya mengaku sudah sesuai. Itupun, jika memang pengutipan buku Kuasa Ramalan yang dimaksud sebagai pelanggaran, Margana mengaku sudah tak menggunakan referensi tersebut dalam buku versi final dan memakai sumber lain.
Proyek yang diklaim alami “pembajakan”
Pada 2017 lalu, Sri Margana mendapatkan proyek penulisan buku sejarah dari Pemerintah Kabupaten Madiun. Tujuan dari proyek ini adalah untuk memperkaya literatur sejarah lokal. Buku yang dicetak nanti pun rencananya akan diedarkan ke sekolah-sekolah dan tidak diperjual-belikan.
Dalam prosesnya, Margana bersama empat penulis lain: Agus Suwignyo, Baha’Uddin, Abdul Wahid, dan Uji Nugroho Winardi, diberikan waktu efektif tujuh bulan untuk menyelesaikannya. Tim penulis juga wajib melaporkan progres sebanyak dua kali. Laporan progres tulisan, yang berbentuk draft ini, wajib untuk didiskusikan dalam Forum Discussion Group (FGD) yang dihadiri berbagai pihak, termasuk Bupati Madiun Muhtarom.
“Jadi total ada dua FGD, pada November 2017 sama awal 2018. Di tiap FGD kami membagikan cetakan buku dummy. Diskusi pertama dihadiri secara terbatas, sementara yang kedua di luar dugaan kami sangat ramai,” ujar Margana.
Kemudian hal yang tak diinginkan pun terjadi. Setelah FGD kedua, Margana mengaku ada pihak tak bertanggung jawab yang telah membajak draft kedua dari buku tersebut. Padahal, draft itu masih berupa proyek yang belum selesai. Kira-kira, progresnya baru hampir 90 persen.
“Tapi nyatanya itu beredar di internet. Kami juga kaget waktu dikabari buku ini dijual di mana-mana,” kata Margana.
“Padahal bisa dicek, buku yang beredar itu Kata Pengantarnya saja nggak ada karena memang masih dummy. Dan memang buku ini nggak untuk diperjual-belikan, cuma untuk sekolah-sekolah. Makanya sangat aneh bisa dijual bebas di toko-toko.”
Anggap buku yang dituduh plagiat adalah dummy
Setelah FGD kedua, Sri Margana dihubungi oleh oleh Peter Carey. Saat itu, Peter mengaku tengah mencari referensi untuk menulis pengantar di disertasi sahabatnya, Ong Hok Ham, yang diterjemahkan penerbit KPG menjadi buku dengan judul Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Keresidenan Madiun Abad XIX.
Pada Juli 2018, Margana memberikan draft kedua dari proyek buku Madiun yang dia tulis. Jadi, menurutnya, secara teknis yang diterima Peter Carey adalah dummy. Versi final yang sudah diperbaiki; baru dicetak setelahnya dan beredar secara terbatas di Madiun.
Saat dihubungi Mojok, Peter Carey membenarkan bahwa dirinya menerima langsung cetakan buku Madiun dari Margana. Namun, yang dia pahami, tidak ada satupun catatan, baik dari pihak penerbit maupun Margana, yang mengatakan bahwa buku ini berupa dummy.
Menurut Peter Carey, buku yang dikirim Margana terlambat datang, sementara buku Ong Hok Ham harus segera terbit. Oleh karena itu, ketika buku tiba, Peter Carey belum sempat membacanya. Dia pun mengetahui ada indikasi plagiasi setelah diberitahu oleh temannya yang membaca buku itu terlebih dahulu untuk kebutuhan penelitiannya.
“Jadi, saya baru bisa menyaksikan plagiat itu dan membuktikan sendiri pada ujung Desember 2019 dan awal Januari 2020,” kata Peter Carey saat Mojok hubungi, Senin (25/11/2024).
Sampailah akhirnya, ketika menyadari ada yang bermasalah dari buku Madiun, Peter Carey langsung menghubungi Margana yang saat itu sedang ada di Belanda.
Bagian yang dianggap plagiat oleh Peter Carey
Berbekal laporan investigasi mandiri Peter Carey serta membandingkan buku Madiun cetakan kedua (yang dianggap dummy), versi terbaru (final, yang dibagikan Sri Margana via Google Drive) dan buku Kuasa Ramalan, Mojok berusaha membedah bagian yang dianggap plagiat. Adapun, bagian yang dianggap mencomot tanpa izin adalah Bab V Kuasa Ramalan ke dalam Bab V Madiun yang punya subjudul “Perlawanan Ronggo Prawirodirdjo dan Perang Jawa, 1808-1830”.
Misalnya, adalah kalimat dalama buku Madiun berikut ini:
“Tanpa disadari, tokoh ini telah menjadi panutan (role model) bagi Pangeran Diponegoro ketika ia menjadi penerus bagi perlawanan kolonialisme di Jawa.”
Kalimat dalam Bab V Madiun tersebut dianggap memiliki kesamaan tafsir dengan tulisan Peter Carey di halaman 221 Kuasa Ramalan tanpa ada kutipan. Adapun isinya:
“…bagaimana bisa bahwa pejabat yang masih muda ini memainkan peran yang begitu menentukan dalam politik keraton sultan dan berkat teladan hidupnya yang sangat singkat itu menjadi sumber ilham bagi Diponegoro?”
Peter Carey juga mempermasalahkan halaman 89-92 buku Madiun yang dianggap mengutip secara verbatim terlalu panjang. Memang, Margana menyebut Kuasa Ramalan di bagian awal. Namun, menurutnya, kutipan verbatim yang terlalu panjang harusnya menyebut rujukan di tiap akhir paragraf.
Peter Carey juga mempermasalahkan halaman 94 buku Madiun yang dianggap memiliki persamaan dengan halaman 288 Kuasa Ramalan. Margana tidak mencantumkan rujukan. Padahal, menurut Peter Carey, sumber yang dia gunakan masih sangat eksklusif. Isinya sebagai berikut:
Halaman 94 Madiun:
“Ia bahkan menobatkan diri menjadi Susuhunan Prabu Ing Alogo dan Patihnya Tumenggung Sumonegoro ditunjuk sebagai panglima peran dengan dengan sebutan Panembahan Senopati ning Perang.”
Halaman 288 Kuasa Ramalan:
“Bahkan gelar raja yang kemudian ia sandang, ‘Kanjeng Susuhunan Inglogo’ dan diberikannya kepada wakil utamanya, BUpati Padangan, Mas Tumenggung Sumonegoro, ‘Panembahan Senopatiningprang….”
Margana menjawab tuduhan Peter Carey
Selain yang disebut tadi, masih ada bagian lain yang dipermasalahkan Peter Carey. Hampir semuanya terletak di Bab V buku Madiun. Margana pun beranggapan jika tuduhan yang disampaikan Peter Carey telah terbantahkan.
Misalnya, secara sitasi, Margana dan timnya sudah menulis pengutipan secara benar; sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Dengan demikian, bagi Margana, tidak ada masalah di dalamnya.
“Plagiat itu ‘kan kalau kita tidak menuliskan sumber, sementara di buku Madiun berkali-kali saya menuliskan ‘menurut Peter Carey’ sebelum mengutip,” ujarnya.
Apalagi, tuduhan tersebut menurut Margana semakin terbantahkan mengingat yang dipermasalahkan–sekali lagi, baginya–adalah buku versi dummy. Sementara dalam buku versi final, Kuasa Ramalan sudah tak dia gunakan lagi sebagai rujukan.
“Bisa dicek, sudah nggak ada bagian yang mencantumkan buku Kuasa Ramalan di buku final, karena memang yang dipermasalahkan itu versi dummy” jelasnya.
“Dalam kepenulisan sejarah kan diajarkan, ketika sumber primer ditemukan, maka sumber sekunder tidak terpakai lagi. Makanya ketika kami menemukan sumber primer, ya, itu yang kami pakai.”
Kepada Mojok Margana menunjukkan sumber-sumber arsip yang timnya gunakan. Satu per satu hasil scan arsip dalam bahasa Belanda dan bahasa Jawa ia tunjukkan dari laptopnya. Total ada 370 lembar arsip yang dia gunakan, hasil ngubek-ngubek di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Ia ingin membuktikan bahwa timnya punya sumber arsip sendiri untuk menulis penelitiannya.
Sejak adanya tuduhan itu pun, menurut Margana, FIB UGM sudah melakukan mediasi dengan berbagai pihak. Termasuk KPG, selaku pemilik hak cipta Kuasa Ramalan, pihak Peter Carey, dan pihak UGM. Dia juga menyebut kasus rampung, serta buku-buku versi dummy yang dipermasalahkan sudah ditarik dan dihancurkan.
“UGM sudah bertemu dengan KPG di Jakarta. Kami menjelaskan ke mereka kalau yang dianggap plagiat itu adalah dummy. Jalan tengahnya, kami meminta Pemerintah Kabupaten Madiun selaku penerbit menarik buku. Masalah selesai.”
Sebuah kekecewaan
Editor Senior KPG Candra Gautama membenarkan pihaknya sudah bertemu dengan perwakilan UGM pada Februari 2020 lalu. Dia juga telah mendengarkan penjelasan dari UGM bahwa buku Madiun yang dipermasalahkan Peter Carey adalah versi dummy.
Namun, ia kecewa karena hanya satu dari dua tuntutan yang dipenuhi UGM. Menurutnya, pihak Peter Carey dan KPG secara terang menuntut dua hal, yakni penarikan buku yang dianggap plagiat dan permintaan maaf secara terbuka di depan publik.
“Tapi sampai saat ini, baru penarikan buku yang dilakukan. Permintaan maafnya belum. Sejak 2020, belum ada permintaan maaf secara terbuka,” terang Candra, saat Mojok temui pada Senin (25/11/2024).
Senada dengan Candra, Peter pun merasa kecewa dengan sikap UGM. Apalagi, menurutnya, Margana sudah mengakui bahwa memang ada kesalahan yang bertendensi plagiarisme atas buku Kuasa Ramalan.
Menurut pernyataan Peter Carey, yang ia kutip dari obrolan bersama Margana melalui email, Dosen Sejarah UGM itu mengaku “secara ceroboh membuat kutipan terlalu panjang dan tidak mencantumkan nomor halaman secara memadai”.
Melalui pesan elektronik bertanggal 1 Februari 2020 itu juga, Sri Margana mengaku bahwa timnya memang memiliki arsip utama yang didapatkan dari ANRI (arsip gewestelijk tentang Residensi Yogyakarta; Kode ANRI No. 409, ‘Stukken betreffende Raden Ronggo’).
Sayangnya, arsip tersebut ditemukan menjelang deadline pengerjaan proyek tulisan. Sehingga, meski dia sudah menyalin hampir semua arsip tersebut, sumber itu belum digunakan secara ekstensif karena waktu yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Madiun terlalu singkat.
Peter Carey ogah datang lagi ke UGM
Setelah mediasi pertama dianggap tak membuahkan hasil, Peter Carey kemudian menyurati Edi Ahimsa Putra, yang saat itu menjabat Kepala Senat UGM. Hal ini juga dibenarkan oleh Sri Margana.
Kepada Edi Ahimsa, dia menjelaskan mengenai situasi yang terjadi. Kemudian Ahimsa mengabarkan bahwa pihaknya akan menginvestigasi masalah ini. Namun, yang bikin Peter Carey kecewa, tidak ada tanggapan lanjut sampai saat ini.
“Dengan adanya rintangan dan penyangkalan dari Fakultas Ilmu Budaya UGM dan Prof Edi, saya memberi tahu Ibu Wening Udasmoro (saat itu Dekan FIB UGM) bahwa mulai sekarang saya tidak bersedia mengunjungi UGM lagi kecuali kalau ada pernyataan maaf secara terbuka kepada KPG dan saya sendiri,” tegasnya.
Bagi Peter Carey, ada tiga hal yang harus digarisbawahi dalam masalah ini. Pertama, dalam kasus ini idealnya seorang sejarawan cukup mengambil bagian dari Kuasa Ramalan sebagai titik tolak, lalu melakukan penelitian lanjutan. Dengan begitu, sebuah buku menjadi benar-benar baru.
Kedua, jika para penulis memutuskan untuk menggunakan Kuasa Ramalan dan mengutipnya secara ekstensif, mereka harus “mengetuk pintu” KPG sebagai pemegang hak cipta dan meminta izin resmi.
“Mereka akan diizinkan jika itu proyek pro-bono, tapi ‘kan ternyata tidak. Karena pekerjaan itu dibayar ratusan juta, maka KPG berhak mendapatkan biaya,” jelasnya.
“Sementara kemungkinan ketiga, yang bisa mereka pertimbangkan, adalah mengundang saya untuk bergabung dengan tim mereka,” pungkasnya.
Biarkan publik yang menilai: plagiasi atau tidak
Belakangan, masalah yang sudah kepungkur empat tahun lalu ini kembali ramai di media sosial. FIB UGM pun telah membuat Tim Ad Hoc untuk merespons masalah, dan sekali lagi disimpulkan bahwa tak ditemukan indikasi plagiasi dalam karya buku Madiun.
Editor Senior KPG Candra Gautama mengaku, dia sepenuhnya menyerahkan kepada publik untuk menilai, apakah permasalahan tersebut termasuk plagiasi ataupun bukan. Candra juga mengajak masyarakat untuk menilai apakah Tim Ad Hoc FIB UGM sudah bekerja selayaknya devil’s advocate atau belum.
“Kalau memang mereka bekerja sebagai devil’s advocate, berarti mereka mengundang pihak-pihak yang bersengketa. Mudah-mudahan ini disadari betul oleh Tim Ad Hoc,” ucapnya.
Candra juga mengajak publik untuk merenungkan, jika benar tak ada tindak plagiasi, mengapa Tim UGM menyanggupi tuntutan KPG untuk menarik cetakan buku yang dianggap dummy tadi. Lebih penting lagi, bagi Candra, mengapa cetakan ketiga (yang dianggap naskah final) direvisi persis dengan catatan-catatan plagiasi yang timnya laporkan.
“Kalau memang UGM tidak mengakui adanya plagiasi, cukup aneh karena Pak Margana sendiri sudah pernah menyampaikan kecerobohannya dan minta maaf pada Peter Carey, pada Februari 2020. Sayangnya, mereka menolak meminta maaf secara publik,” terangnya.
“Maka, ya sudah, biarkan publik yang menilai dari rangkaian peristiwa ini, apakah ini plagiasi atau bukan,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News