Tahun ini, Clash of Champions yang diselenggarakan Ruang Guru memasuki musim ke dua. Namun, seperti tak belajar pada pengalaman sebelumnya, banyak netizen yang masih nyinyir dengan reality show tersebut. Maklum, warga negara Indonesia memang punya “mental kepiting”. Tapi, jauh lebih dari itu sebenarnya diskriminasi dan hierarki di dunia pendidikan adalah realitas pelik yang tak bisa dihindari.
***
Sepekan terakhir kompetisi Clash of Champions milik bimbingan belajar Ruangguru menjadi perbincangan di dunia maya. Hingga Kamis pagi, (10/7/2025), reality show yang diunggah di Youtube itu sudah ditonton oleh 6 juta penonton pada episode pertama sejak dua pekan penayangan.
Sekilas, reality show ini menunjukkan kehebatan dari puluhan mahasiswa berprestasi asal Indonesia yang kuliah di kampus dalam negeri maupun luar negeri. Penonton dapat mengetahui lebih jauh profil para peserta pada episode pertama, termasuk informasi IPK tinggi dan prestasi yang pernah mereka raih.
Misalnya, seorang peserta asal Indonesia yang bisa kuliah di luar negeri. Sebut saja, Joshua yang menjadi pelajar di University of Oxford, salah satu kampus peringkat pertama di dunia selama 9 tahun berturut-turut.
Selain Joshua, ada juga peserta Clash of Champions, Omura yang juga belajar di Kyoto University. Kyoto University merupakan kampus terbaik peringkat kedua di Jepang. Selain pelajar yang kuliah di luar negeri seperti Korea, Hongkong, Amerika, dan sebagainya, mahasiswa yang kuliah di universitas dalam negeri juga tak kalah berani.
Clash of Champions memicu mental kepiting rakyat jelata
Sayangnya, alih-alih ikut bangga dengan prestasi yang ditonjolkan, beberapa komentar negatif dari netizen sering bermunculan. Baik pada Clash of Champions season 1 maupun 2. Kebanyakan komentar berisi sindiran bahkan adu nasib.
Tak pelak, ajang adu kecerdasan itu berubah menjadi ajang membanding-bandingkan. Ada yang menganggap para peserta dalam kompetisi Clash of Champions beruntung karena berasal dari latar belakang keluarga yang memiliki privilege.
“Apalah aku yang ingin kuliah terhalang biaya dan harus kerja buat orang tua, walaupun beasiswa ada tapi tetap pilih kerja,” tulis akun Tiktok @js_***** dikutip pada Kamis, 10 Juli 2025.
“Mereka juga bisa les sana sini karena orang tua mampu, nah di luar sana orang mau berkembang tapi finansial kurang juga susah, les mahal,” kata akun Tiktok @her*****.
“Yang anak broken home, yang emak (ibu), bapaknya udah bahagia sama keluarga masing-masing, bisa apa? minta dukungan dari mereka pun sungkan. Entah dari financial atau dukungan dengan kata-kata pun enggak pernah dapet,” tulis akun Tiktok @chl*****.
Pakar psikologi sosial dari Universitas Indonesia, Dicky C. Pelupessy menjelaskan fenomena ini merupakan realitas sosial dari sindrom crab mentality. Artinya, ada orang yang menginginkan orang lain untuk tidak maju atau mencapai kesuksesan yang lebih besar dari dirinya, seperti komentar netizen terhadap game Clash of Champions.
“Bayangkan, sejumlah masyarakat tadi adalah kepiting yang diletakkan bersama-sama dalam ember. Di sana terlihat kalau para kepiting ini saling menjatuhkan. Begitu ada yang coba naik, pasti akan ditarik oleh kepiting lain,” ujar dia saat dihubungi Mojok, Sabtu (6/7/2025).
Sifat alamiah manusia yang suka “adu nasib”
Namun, Dicky menegaskan bahwa respons membanding-bandingkan diri dengan orang lain merupakan sifat alamiah manusia. Dalam bahasa psikologi, teori ini disebut sebagai social comparison.
Teori ini, kata Dicky, adalah suatu proses di mana seseorang membandingkan kemampuan, pendapat, atau sifatnya dengan orang lain. Dalam kasus ini, masyarakat juga bisa membenturkan kehidupannya dengan para peserta Clash of Champions.
Ia menjelaskan kondisi tersebut bisa terjadi saat penonton merasa terganggu dengan tontonan tersebut dan membenturkannya pada realita yang mereka hadapi. Tak pelak, muncul banyak respon negatif di media sosial.
“Kemungkinan lebih besar untuk nyinyir atau iri, itu karena dia berpikir sepertinyaakan sulit sekali untuk mendapatkan kondisi seperti (peserta) itu,” ucapnya.
Dicky menduga adanya fenomena membandingkan dan mental kepiting tadi diperkuat dengan mahasiswa Clash of Champions yang berasal dari luar negeri. Di sisi lain, panitia pembuat konten tidak menyuguhkan kisah perjuangan dari masing-masing peserta. Sehingga, kesan yang ditangkap tampak negatif.
Clash of Champions bukan untuk adu nasib
Ruang Guru memang tak menampilkan secara detail profil peserta Clash of Champions, terutama dari latar belakang keluarga atau kondisi ekonomi mereka. Yang jelas, tak semua peserta berasal dari keluarga kaya.
Salah satu peserta bernama Muhammad Ainurriza Al Kahfi, yang tampil di season 2 mengungkap bahwa ia berasal dari keluarga kurang mampu. Mahasiswa Jurusan Ilmu Fisika Universitas Brawijaya (UB) itu berujar jika orang tuanya bekerja sebagai tukang bangunan yang tak pernah mengenyam bangku kuliah. Sementara, dirinya bersyukur karena bisa kuliah dengan memanfaatkan beasiswa dari pemerintah.
“Berkat program KIP Kuliah, saya bisa menapaki jenjang pendidikan tinggi tanpa terbebani biaya. Saya sadar, di luar sana ada banyak isu soal ketidaktepatan sasaran bantuan pendidikan ini, tapi hari ini izinkan saya menjadi saksi bahwa KIP Kuliah juga sampai ke tangan yang tepat,” ujar Riza di akun Instagramnya, @riza_alkahfi, dikutip Mojok, Kamis (10/7/2025).
Riza adalah salah satu contoh dari sekian banyak mahasiswa yang berhasil terpilih sebagai peserta Clash of Champions, meski lahir dari keluarga sederhana. Sementara itu, Dicky berharap penonton masih bisa mengambil sisi positif dari pertunjukkan Clash of Champions.
Sehingga, alih-alih merasa tersaingi, penonton seharusnya lebih termotivasi dalam belajar. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa penonton yang gugur dalam kompetisi tersebut bukan berarti gagal dalam kehidupan.
“Jangan memberikan penilaian kepada orang lain semau kita, jangan berikan penilaian yang tidak berdasar,” ucap Dicky.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Bagi Anak Desa Clash of Champions Tak “Semengancam” Hafiz Indonesia, Orang Tua Tak Bisa Banding-bandingin karena Sadar Diri atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
