Mencari Jejak Lapangan Terbang Sekip UGM yang Eksis Sebelum Adisutjipto

Dari Bandara Sendowo ke Maguwo.

Ilustrasi Mencari Jejak Lapangan Terbang Sekip UGM yang Eksis Sebelum Adisutjipto

Sebelum Bandara Maguwo-kini Adisutjipto-resmi berdiri, sudah ada lapangan terbang di Jogja. Lapangan terbang yang konon pernah dijatuhi bom saat Agresi Militer II ini bertempat di kawasan Kampung Sendowo atau Sekip UGM yang sekarang penuh gedung perkuliahan.

***

Kabar tentang keberadaan bandara pertama di Jogja yang saya ketahui lewat media sosial memancing rasa penasaran. Infonya lapangan terbang itu berada di kawasan Sendowo, Sekip UGM. Lokasinya kini telah berubah drastis.

Bandara itu hanya tersisa di kenangan orang tua dan juga cuplikan singkat pada arsip lama. Sekitar lokasi yang konon jadi area landasan pesawat, kini berdiri gedung-gedung tinggi UGM. Kawasan Sekip membentang dari Fakultas Biologi di utara hingga bangunan kantor beberapa lembaga milik kampus ini di sisi selatan.

Saat ini di tengah kawasan itu terdapat Fakultas Kedokteran dengan gedung-gedung tingginya. Di sisi baratnya ada RSUP Dr. Sardjito. Nyaris tidak ada ruang lapang yang tersisa.

Saya sempat berkunjung ke Museum UGM, menilik sekilas lini masa pembangunan kampus beberapa tahun pascakemerdekaan Indonesia. Tercatat pada 19 Desember 1951 Presiden Soekarno meletakan batu pertama pembangunan Gedung Pusat UGM.

Delapan tahun berselang, pembangunan gedung itu mentas. Pada tahun yang sama terselenggara Konferensi Rencana Colombo yang membuat didirikannya sejumlah gedung untuk kantor delegasi, toko, klinik, hingga perumahan di area Sekip UGM.

Salah satu bekas gedung untuk Konferensi Rencana Colombo kini menjadi Gedung Fakultas MIPA. Jejak bandara pertama di Jogja mulai pudar seiring pembangunan ini.

Kenangan warga tentang lapangan latihan tembak

Saya lantas mencari jejak yang tertinggal lewat kenangan warga sekitar yang tinggal di Padukuhan Sendowo, Sinduadi, Mlati, Sleman. Setelah membelah permukiman padat, saya tiba di depan kediaman Kepala Padukuhan Sendowo, Sudarno (54). Rumah tampak sepi, setelah berulang kali mengucap salam dan mengetuk pintu, barulah lelaki gondrong ini keluar dari pintu.

Sejak lahir, lelaki ini sudah tinggal di perkampungan sisi barat kawasan Sekip UGM. Jejak lapangan terbang memang sudah tidak ada di tahun 1970-an saat Sudarno kecil. Namun, ada beberapa kisah yang sempat ia dengar dari orang tua dan kakeknya.

“Dulu sebelum tidur kadang diceritakan soal lapangan terbang dan lapangan untuk latihan menembak tentara kolonial Belanda,” kenangnya saat saya temui, Jumat (18/8/2023).

Sejumlah sumber menyebut bahwa penamaan Sekip berasal dari kata schietschijf yang berarti sasaran tembak. Kawasan itu menjadi titik lapangan yang biasa serdadu gunakan untuk melatih kemampuan menembaknya.

Gundukan tanah yang tak mau warga dekati

Tentang lapangan tembak itu, Sudarno ingat ada sebuah gundukan tanah mirip bukit yang terletak dulu letaknya di utara Fakultas Kedokteran Gigi. Gundukan tanah itu ia sebut sebagai “gumuk”. Pada era 1970 sampai akhir 1980-an, tumbuhan memadati atas gundukan itu.

Gedung RSGM UGM di kawasan Sekip. Dulu di tempat itu ada gundukan tanah untuk latihan menembak. MOJOK.CO
Gedung RSGM UGM di kawasan Sekip. Dulu di tempat itu ada gundukan tanah untuk latihan menembak. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Secara fungsi, Sudarno menyebut gundukan tanah bisa menjadi tempat menahan laju peluru yang tidak mengenai sasaran. “Tinggi gundukan itu mungkin sekitar lima meter. Lebih tinggi dari ini,” ujarnya sambil menunjuk atap halaman masjid di depan rumahnya.

Bagi anak-anak muda di Sendowo saat itu, gumuk jadi tempat yang banyak diselimuti cerita seram. Konon ada serdadu yang terkena tembakan di sana. Bahkan ia sempat mendengar kisah bahwa lokasi itu jadi tempat eksekusi mati.

Kisah-kisah itu membuatnya tak pernah mendekat atau mendaki gundukan itu. Paling-paling, ia hanya melihatnya dari pinggir jalan depan RSUP Sardjito. Gundukan itu, seingat Sudarno, hilang setelah ada pengerukan untuk pengembangan Gedung Kedokteran Umum UGM sekitar era 1990-an.

Baginya Sendowo di masa itu memang punya suasana yang temaram. Sekelilingnya ada pepohonan rindang sekaligus ada pemakaman tionghoa yang cukup luas di sisi timur yang berbatasan dengan Kali Code.

Lapangan terbang Sekip aktif sejak 1927

Perihal tempat latihan menembak serdadu, Sudarno memang punya cukup banyak cerita. Namun, soal lapangan terbang sangat terbatas.

“Nggak ada yang bisa menjelaskan secara runut dan detail,” keluhnya.

“Dulu malah ada yang bilang kalau itu tempat persembunyian dari Belanda. Tapi entah sumbernya nggak jelas,” sambungnya dengan sedikit bingung.

Saya sempat menanyakan ke beberapa akademisi di bidang sejarah di UGM dan UNY, tapi belum mendapatkan jawaban terang. Pencerahan tentang landasan pacu di Sekip justru saya dapat dari Aga Yurista Pambayun, pegiat sejarah dari Komunitas Roemah Toea.

“Sebenarnya sudah lama ngulik, cuma baru benar-benar lengkap beberapa waktu lalu. Akhirnya aku unggah di Instagram Roemah Toea,” paparnya.

Peta udara yang menggambarkan lapangan udara dengan landasan rumput di Desa Sendowo yang kemudian di kenal dengan Sekip UGM ditahun 1931. (dok. Roemah Tua)

Berdasarkan penelusuran Aga melalui Bataviaasch Nieuwsblad, seorang perwira Militaire Luchtvaart-KNIL, M Pattist adalah sosok pertama yang menyadari potensi kawasan Sendowo. Saat itu ia sedang terbang dari landasan udara Magelang bersama koleganya beriringan tiga pesawat.

Menyadari potensi tanah lapang itu, ia kemudian mengunjungi Yogyakarta mengendarai mobil untuk melihat area lapangan tembak yang ternyata berada di Kampung Sendowo. Setelah merasa yakin bahwa lokasinya cocok, Pattist mengadakan audiensi dengan Residen Yogyakarta, Johan Ernest Jasper beserta jajarannya. Akhirnya persiapan untuk menggunakan landasan itu pun dimulai.

Hari pertama pesawat mendarat di Jogja

Saat itu status lapangan terbang Sekip adalah landingsterrein atau landasan rumput. Landasan itu punya dimensi sepanjang 620 meter dengan lebar 220 meter dengan alas tanah rata dan rerumputan. Kendati begitu, tetap cocok untuk sejumlah pesawat yang ML-KNIL gunakan saat itu.

Pendaratan pertama pesawat di Bandara Sendowo terjadi pada Jumat, 4 Agustus 1927 pagi. Tiga pesawat De Havviland DH 9 dengan nomor registrasi H.120, H.126, dan H.130 F resmi mendarat di sana. Aga berpendapat, hari itu menandai pertama kalinya ada landasan udara di Yogyakarta.

Dua bersaudara Henk dan Hans Japin didekat pesawat latih type De Havilland DH-9_HW di lapangan terbang militer Andir Bandoeng 1935. Pesawat seperti inilah yang pertama kali mendarat di Bandara Sendowo atau kini kawasan Sekip UGM. (Sumber: Pinterest)

Baca halaman selanjutnya…

Sebab berakhirnya Bandara Sendowo 

Sebab berakhirnya Bandara Sendowo

Belanda saat itu melakukan modernisasi peralatan tempurnya mengingat situasi di Eropa yang memanas. Salah satu kebutuhannya adalah pesawat tempur yang lebih canggih. Hal ini membutuhkan landasan pesawat yang lebih bagus dengan diaspal.

Pada 1939-1941, pemerintah kolonial akhirnya membuat landasan udara yang lebih mumpuni di Yogyakarta yakni Bandara Maguwo atau saat ini orang-orang mengenalnya sebagai Bandar Udara Adisutjipto. Bandara ini berdiri di tanah bekas perkebunan tebu milik Pabrik Gula Wonocatur yang bangkrut pada 1937.

“Memang saat itu Belanda sedang gencar membangun lapangan udara. Mendekati Perang Dunia Kedua dan adanya ancaman Jepang,” kata Aga.

Peresmian Bandara Maguwo ditandai penanaman pohon oleh Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 13 Agustus 1941. Sejak saat itu, aktivitas penerbangan berpindah dari Bandara Sendowo terpusat di Bandara Maguwo. Sampai kemudian Jepang datang dan menguasai bandara tersebut.

Lapangan tembak Sekip dan Bandara Sendowo tetap menjadi tanah lapang sampai akhirnya pembangunan gedung UGM mulai berlangsung pada 1951.

Ada satu lukisan menarik dari perupa Mohammad Toha yang menggambarkan sebuah pesawat sedang menjatuhkan bom di kawasan Sekip atau Sendowo saat Agresi Militer Belanda II. Toha memang terkenal dengan lukisan-lukisannya pada situasi kecamuk perang saat itu.

Toha merupakan murid dari pelukis legendaris, Dullah. Saat melukis momen-momen Agresi Militer Belanda II, ia tergabung dalam sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM).

Kendati begitu, Aga belum bisa memastikan kecocokan lukisan itu dengan fakta sejarah yang terjadi. Mengingat, sejumlah catatan yang ada hanya menyebut serangan udara terpusat di Bandara Maguwo saja. Beberapa akademisi sejarah dari UGM dan UNY yang saya hubungi juga belum bisa memastikan hal ini.

“Setahu saya memang terpusat di Maguwo saja serangannya. Mengingat saat itu pesawat Jepang ada di sana,” ujarnya.

Sekip UGM, jadi tempat uji coba Bapak Helikopter Indonesia

Melansir laman TNI, di Bandara Maguwo terdapat setidaknya 50 pesawat Yokusuka K5Y (Shinsitei) yang pascakemerdekaan sempat digunakan oleh AURI. Warga lokal menyebut pesawat itu dengan sebutan Cureng. Pesawat kecil ini bermesin tunggal, bersayap dua (atas dan bawah) yang dilapisi kain dengan dua tempat duduk (depan belakang). 

Sebelum akhirnya menghilang bersamaan dengan berdirinya gedung-gedung UGM, lapangan udara Sekip tercatat pernah menjadi tempat uji coba prototipe helikopter. Sosok yang mendapat julukan Bapak Helikopter Indonesia, Yum Soemarsono menguji coba helikopter yang ia beri nama YSH dan sempat bisa melayang, meski hanya 10 cm dari permukaan tanah.

Berlalu puluhan tahun, kini semua yang pernah ada di Sekip UGM tinggal kenangan. Abadi dalam beberapa catatan kecil dan cerita turun temurun yang berkembang di warga sekitar.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Kisah Penantian 3 Tahun Pedagang Sunmor UGM: Kami Baru Lega Setelah Lapak Kembali Buka

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version