Kisah Patah Hati di Warung Pecel Cepu Blora, Racik Bumbu yang Dirindukan di Amerika hingga Rusia

Ilustrasi - Warung Pecel Sunti, warung legendaris di Cepu Blora yang punya pelanggan di Amerika dan Rusia. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Tugas lapangan di Cepu, Blora, membawa saya pada sebuah warung pecel legendaris. Namanya Warung Pecel Sunti, lokasinya di Jl. St. Kota. Warung yang kerap mengirim bumbu hingga ke Amerika dan Rusia.

***

Baru pukul 06.00 WIB, tapi suasana Warung Pecel Sunti sudah berjejal para pembeli, Kamis (5/9/2024). Saya baru bisa masuk tak lama kemudian. Itu pun saya masih harus antre dengan pembeli-pembeli lain yang rata-rata memilih membungkus.

Hanya ada satu-dua orang laki-laki berseragam kerja (sepertinya pekerja di pertambangan minyak Cepu, Blora) yang tampak makan di tempat.

Telas napa mboten, Bu? (Habis apa nggak, Bu?)” Karena nasi dalam boran sudah tinggal sedikit, saya mencoba memastikan.

“Tenang, Mas, masih ada,” jawab ibu-ibu paruh baya itu, yang kemudian saya tahu bernama Tatik (52), sebelum akhirnya lanjut meladeni pembeli-pembeli yang sudah lebih dulu antre.

Pemilik Warung Pecel Sunti grapyak seperti Lek Damis

Tatik terlihat sangat grapyak dengan para pembeli. Tak jarang dia melempar gojlokan ke mereka yang berujung saling gojlok dan gelak tawa.

Kalau teman-teman pernah melihat konten-konten Lek Damis, ya kurang lebih seperti itu lah sosok Tatik. Bagi orang luar Cepu, mungkin akan agak kaget dan mengiranya sebagai ibu-ibu jutek.

Sampai tiba lah giliran saya. Pengelola Warung Pecel Sunti di Cepu, Blora, itu menyodorkan sepiring nasi pecel dengan lauk telur dan tempe.

Warung Pecel Sunti, Warung Legendaris di Cepu Blora yang Kirim Bumbu hingga ke Amerika dan Rusia MOJOK.CO
Suasana Warung Pecel Sunti di Cepu, Blora. (Aly Reza/Mojok.co)

“Mau diguyur lodeh nggak, Mas? Kalau di sini biasanya begitu. Saya tawari dulu barang kali Masnya nggak cocok,” tawar Tatik.

Saya mengangguk, tidak ada salahnya. Karena pada dasarnya saya “bisa makan apa saja”. Yang penting halal dan kenyang. Dia lantas meraih piring saya, mengguyurnya dengan sayur lodeh.

Rasa pecelnya gurih, tak terlalu manis. Apalagi lokasi Warung Pecel Sunti berada di bawah pohon. Sepoi-sepoi angin dari pohon sungguh menyegarkan. Sebab, sepagi itu, suasana di Cepu, Blora, bahkan sudah terasa sangat sumuk.

Warung Pecel Sunti bisa ludes hitungan jam

Sekitar pukul 06.30 WIB, hanya tersisa beberapa lauk di etalase. Nasi dan bumbu pecel pun sudah ludes.

“Untung sampeyan, Mas, karena biasanya jam 6 sudah habis,” kata Tatik setelah dia longgar. Beruntung juga saat memesan sebelumnya, saya sekalian memesan beberapa bungkus untuk teman-teman saya yang masih tertidur di penginapan.

Tatik akan mulai memasak dari pukul 01.00 WIB, dibantu dengan seorang keponakan dan satu adiknya. Warung legendaris di Cepu, Blora, itu lantas akan buka mulai pukul 04.00 WIB.

Persis saat buka itu, kata Tatik, pembeli akan langsung berdatangan. Tak putus-putus. Maka wajar saja kalau jam 6 pagi pecelnya sudah ludes des.

“Wah kalau sehari saya nggak ngitung ya berapa kilogram beras yang saya masak. Tapi pokoknya, sehari bisa habis 10 sampai 12 boran nasi,” terang Tatik.

Di bulan Ramadan, Tatik biasanya akan buka di waktu sahur, kira-kira mulai pukul 02.00 WIB. Itu pun akan langsung diserbu oleh pembeli. Sehingga berapa kilogram beras pun yang ia masak, pasti jaminan habis.

Meracik bumbu sejak SMP

Warung Pecel Sunti buka di Cepu, Blora, sejak 1982, oleh seorang perempuan bernama Sunti, ibunya Tatik.

Dulu Sunti masih jualan di rumahnya sendiri, tidak jauh dari lokasi warung sekarang. Pada 1985, baru lah Sunti pindah ke lokasi sekarang karena memang lebih strategis: berada persis di pinggir jalan raya. Bisa dibilang masih di area Cepu kota.

“Hitungannya sejak kecil saya sudah bantu-bantu Ibu. Sejak SMP saya malah bantu jual di sekolah. Jadi bawa dari warung itu 10 sampai 15 bungkus. Banyak guru-guru saya yang beli,” ungkap Tatik dengan ekspresif.

Seporsi nasi pecel sayur lodeh di Warung Pecel Sunti. (Aly Reza/Mojok.co)

Dari SMP itu pula Tatik mulai diajari sang ibu dalam meracik bumbu pecel agar tercipta cita rasa gurih dan tidak kemanisan. Oleh karena itu, lulus SMA dia sudah mulai bantu-bantu sang ibu. Tidak hanya dalam melayani pembeli, tapi juga sejak proses di dapur.

Pada 2003, Sunti jatuh sakit. Alhasil, kendali warung pecel legendaris itu jatuh di tangan Tatik. Lalu ketika Sunti meninggal pada 2005, Warung Pecel Sunti pun secara otomatis diteruskan oleh Tatik.

“Saya kan anak keempat dari delapan bersauadara. Tiga kakak saya sudah meninggal. Jadi itungannya saya jadi yang tertua, maka saya yang meneruskan sama satu adik saya,” jelas Tatik. Sementara tiga adik Tatik sisanya sudah memiliki pekerjaan lain.

Pelanggan turun-temurun, hingga jual bumbu ke Amerika dan Rusia

Tatik mengaku mengenal hampir semua pelanggan di Warung Pecel Sunti. Sebab, pelanggan-pelanggannya ternyata turun-temurun: pelanggan saat ini adalah anak atau bahkan cucu dari pelanggan di era Sunti.

Ada bahkan beberapa pelanggan, yang meskipun sudah pindah daerah, tapi kerap memesan bumbu pecel ke Tatik. Misalnya yang saat ini domisili di Jakarta.

“Pelangganku yang di Jakarta itu malah sering pesen bumbu pecel untuk dikirim ke anaknya yang kuliah di Amerika. Ada juga yang di Rusia. Ya buat obat kangen rasa pecel saja, kan anaknya suka pecel. Dulu pas masih di Cepu juga makannya di sini,” beber Tatik.

Selain itu, Tatik mengaku pelanggannya juga berasal dari beberapa kampus yang kerap melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Cepu, Blora. Misalnya yang paling sering adalah Institut Teknologi Surabaya (ITS) dan UPN Veteran Yogyakarta.

“Jadi mungkin mereka juga turun-temurun ceritanya. Karena kalau ada mahasiswa KKN dari dua kampus itu, pasti kok ke sini,” kata Tatik.

Tentang cinta yang patah

Sebelum tahu kalau seorang laki-laki humoris yang membantu Tatik meladeni pembeli adalah adiknya, saya sempat mengira laki-laki itu adalah anak Tatik.

Tatik mengaku tidak punya anak. Sebab, hingga sekarang berumur kepala lima, Tatik memutuskan untuk tidak menikah.

“Dulu lulus SMA sempat mau nikah, tapi nggak jadi,” ujar Tatik. Dia lantas menceritakan bagaimana momen itu terjadi. Namun, mohon maaf, tidak bisa saya tulis detilnya di sini.

Umumnya pengelola sebuah warung legendaris akan mewariskan warung pada sang anak. Akan tetapi, karena Tatik tidak memiliki anak, besar kemungkinan warung pecel legendaris di Cepu, Blora itu kelak akan diteruskan oleh adik-adiknya.

Saya sudah ajari adik saya membuat bumbu pecelnya, misalnya nanti dia akan neruskan warung ini,” tutur Tatik.

***

Saat kami hanyut dalam obrolan, adik Sunti sudah tampak beres-beres. Artinya, sebentar lagi warung pecel legendaris di Cepu, Blora, itu sudah harus tutup. Saya lalu menyodorkan nominal uang untuk pesanan saya.

Untuk seporsi nasi pecel+sayur lodeh dengan lauk telur dan tempe harganya Rp10 ribu. Sementara untuk lauk-lauk lain menyesuaikan jenis lauk apa yang dipilih: ada ayam, lele, dan lain-lain.

“Oh bungkusnya pakai daun jati,” gumam saya saat menerima nasi bungkus yang sudah saya pesan di awal.

“Hooh, Mas. Itu ciri khasnya di Cepu, kalau bungkus-bungkus makanan masih banyak pakai daun jati. Karena lebih gurih,” timpal Tatik.

Saat berpamitan, Tatik meminta agar lain waktu saya mampir lagi ke warung pecel legendaris di Cepu, Blora, itu lagi. Dia menegaskan bahwa Warung Pecel Sunti buka setiap hari. Hanya libur saat Tatik sedang capek saja.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Pengalaman Pertama Saya Mencoba Kuliner Ekstrem di Jogja, Rasa Tongseng Ular Tak Semenyeramkan Wujudnya

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version