Kedai Kopi TEKO.SU Sleman: Dari Vespa dan Stigma Jadi Rumah untuk Tumbuh, Pulang, dan Menampung Mimpi Banyak Orang

TEKO.SU, kedai kopi jalanan atau street coffee Sleman Jogja sebagai rumah untuk tumbuh dan pulang MOJOK.CO

Ilustrasi - Mengunjungi TEKO.SU, kedai kopi jalanan atau street coffee di Sleman Jogja sebagai rumah untuk tumbuh dan pulang. (Ega Fansuri/Mojok.co)

TEKO.SU, sebuah street coffee di Sleman, Jogja, yang tak mau sekadar menjual kopi. Lahir atas banyak keresahan hingga stigmatisasi, kedai kopi jalanan itu menjadi tempat tumbuh dan pulang. Ruang bersama untuk belajar.

***

“Kamu kayaknya perlu ketemu dengan Bang Freddy.” Begitu kata seorang teman dari Klub Filosotoy pada suatu malam saat kami berkumpul di Akademi Bahagia, Sleman, Jogja.

Bang Freddy adalah pemilik dari street coffee tempat anak-anak Klub Filosotoy biasa nongkrong dan diskusi: TEKO.SU. Bang Freddy, kata mereka, adalah sosok pendengar yang antusias dan pencerita yang seru. Sepertinya sosok menarik.

Setelah dua pekan berlalu sejak obrolan itu, akhirnya saya bisa berkunjung ke TEKO.SU pada Sabtu (10/8/2024) malam WIB, membersamai Mas Puthut (begitu saya memanggil Puthut EA). Sebuah kunjungan yang sepertinya sudah direncanakan dengan apik oleh semesta.

Bagaimana tidak. Sudah lewat dua pekan dan saya masih tak kunjung bisa ke TEKO.SU. Malam itu, tanpa banyak bertanya hendak ke mana, Mas Puthut ternyata membawa saya ke street coffee milik Bang Freddy di Kledokan, Caturtunggal, Sleman. Kedai kopi dengan deretan tanaman dan hiasan barang-barang antik.

Tanpa janjian sebelumnya, ndilalah-nya Bang Freddy kok tepak sedang santai di keda kopi jalanannya tersebut. Karena dengar-dengar, Bang Freddy cukup sering keluar-keluar.

Bagian depan kedai kopi milik Freddy. (Aly Reza/Mojok.co)

Meninggalkan Atambua

“Boleh aja, Mas. Nggak apa-apa, saya malah seneng. Cari duduk dulu kita,” jawab Bang Freddy antusias saat saya mintai waktu untuk berbincang, sekira pukul 20.00 WIB. Benar, pria 30 tahun itu ternyata sosok menyenangkan.

Bang Freddy lahir di Timor Timur. Namun, ketika referendum pada 1999, keluarganya memilih pindah ke Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT). Keluarganya menetap di sana hingga sekarang.

Pada 2010, Bang Freddy memutuskan merantau ke Jogja untuk sekolah (SMK). Menyusul sang kakak yang sudah lebih dulu kuliah di Jogja.

“Sekolah di (Indonesia) Timur itu kan beda sama di Jawa dan Jogja. Di tempatku dulu keras sekali. Guru main pukul sudah biasa. Mangkanya aku pilih saja ke Jogja,” ujarnya.

Freddy pemuda asal Atambua pemilik TEKO.SU. (Aly Reza/Mojok.co)

Lulus SMK, Bang Freddy lalu melanjutkan kuliah di salah satu kampus swasta di Jogja pada 2014. Hanya saja memang tidak sampai lulus.

“Ada gap usia sama temen-temenku di kampus. Aku lebih tua empat tahun. Obrolan jadi nggak nyambung,” tutur Bang Freddy.

Selain itu, ia merasa bahwa mahasiswa di kampusnya tersebut memang serius disiapkan sebagai pekerja kantoran. Ia merasa tidak cocok. Oleh karena itu, ia—dengan nekat—memilih putus kuliah daripada buang-buang uang orang tua.

Mengambil keputusan tersebut bukannya tanpa risiko. Momen putus kuliah itu menjadi titik awal petualangan Bang Freddy untuk survive di Jogja.

Bermula dari Vespa dan stigma

Persis di meja pesan TEKO.SU, ada sebuah Vespa lawas yang diparkir sebagai monumen. Itulah saksi perjalanan street coffee milik Bang Freddy di Sleman.

Vespa yang menemani perjalana Freddy membangun street coffee di Sleman. (Aly Reza/Mojok.co)

Ketika masih SMK, Bang Freddy mengaku sudah mencari pengalaman dengan bekerja sampingan di sebuah kedai susu di Jogja. Kemudian di masa-masa kuliah hingga akhirnya ia memutuskan untuk DO, ia jualan kopi di jalanan dengan menggunakan Vespa lawas tersebut.

Ia dulu jualan kopi pindah-pindah di beberapa titik di Sleman. Awalnya di sekitar UGM, lalu geser ke Selokan Mataram, lalu sempat jualan juga di Babarsari.

“Ketika terjadi kerusuhan Babarsari (2022), aku pindah ke tempat yang sekarang, buka kedai kopi jalanan di sini,” ungkap Bang Freddy.

Perjalanan Bang Freddy dari SMK hingga menjual kopi dengan Vespa memang tak lepas dengan stigma. Sebagai orang Timur, ia—dan beberapa temannya—kerap mendapat label sebagai tukang mabuk hingga tukang rusuh. Stigma itulah yang coba ia “lawan” dengan caranya.

“Dulu aku jualan kopi sambil bawa buku, buka ruang diskusi juga di jalanan. Biar stigma buruk nggak terus melekat pada kami. Karena stigmanya sudah parah,” beber Bang Freddy.

Misalnya, pernah ketika jualan di Selokan Mataram, sampai ada banner besar (Bang Freddy lupa teks persisnya bagaimana) yang terang-terangan menyindir tabiat orang Timur. Bang Freddy legawa saja. Bukannya sakit hati, tapi itu menjadi motivasi tersendiri baginya untuk membuktikan bahwa orang Timur tak seburuk yang ada dalam bayangan banyak orang di Jogja selama ini.

Kedai kopi di Sleman sebagai rumah untuk tumbuh dan pulang

Rumah untuk tumbuh & pulang”, demikian bunyi dalam bio Instagram TEKO.SU. Itu adalah dua misi utama dari kedai kopi di Sleman milik Bang Freddy tersebut.

Sejak jualan dengan Vespa, Bang Freddy mengaku punya banyak pelanggan dari kalangan broken home. Baik anak-anak Timur sendiri maupun teman-teman dari daerah lain.

Kepada Bang Freddy, mereka bisa sangat nyaman bercerita banyak hal. Bang Freddy dengan senang hati menjadikan street coffee Vespa-nya sebagai “tempat pulang” bagi mereka. Hingga akhirnya, pasca kerusuhan Babarsari pada 2022, ia bisa menyewa sebuah tempat di Caturtunggal, Sleman, sebagai sebuah kedai kopi yang kemudian ia beri nama TEKO.SU.

“TEKO.SU kemudian jadi tempat buat mereka yang punya mimpi besar (sebagai ruang untuk tumbuh),” jelas Bang Fredi.

TEKO.SU tumbuh tidak hanya sebagai kedai kopi. Tapi juga sebagai ruang kolektif. Menjadi ruang untuk orang-orang belajar dan mengasah skill.

Misalnya yang sangat menarik. Kepada karyawannya, Bang Freddy memberi mereka pilihan, mau serius belajar apa? Belajar kopi atau belajar hospitality? Jika ingin serius belajar kopi, maka Bang Freddy akan betul-betul mengawalnya belajar tentang kopi secara spesifik. Kalau ingin belajar hospitality, maka akan ia latih juga dengan serius.

“Jadi ruang juga untuk pemula. Kami ada event namanya Sewulan. Itu mem-branding seniman pemula dalam waktu sebulan lewat banyak instrumen di TEKO.SU. Salah satu yang pernah kami branding lewat Sewulan ada band namanya The Philantrophist,” beber Bang Freddy.

Karena Bang Freddy percaya, seniman hebat selalu berawal dari seorang pemula. Jika fokus kita adalah memberi ruang hanya pada seniman yang namanya sudah moncer, maka seniman-seniman hebat dan besar yang baru tak akan pernah lahir.

Orangnya boleh mati, tapi mimpinya harus tetap menyala

Di sela-sela obrolan, Bang Freddy menunjukkan satu sudut berisi rak buku. Katanya, itu adalah toko buku yang baru buka belum lama ini. Toko buku itu ia buka atas obrolan dengan teman-teman dari Klub Filosotoy yang ingin membuka toko buku di sana.

“Toko buku ini juga sebagai janjiku pada almarhum adikku, Toni Tokan, yang bermimpi menjadi sastrawan besar,” tutur Bang Freddy. Menceritakannya, ada kesedihan yang terbaca dari matanya.

Toni Tokan berasal dari Adonara, NTT. Sebenarnya bukan adik kandung. Tapi ikatan persaudaraan sebagai orang Timur membuat Bang Freddy menganggapnya laiknya adik kandung sendiri.

Ia meninggal di awal-awal bukanya TEKO.SU. Kata Bang Freddy, Toni Tokan adalah pemuda dengan banyak mimpi. Salah satunya menjadi sastrawan besar, karena ia suka menulis sastra. Membuka toko buku di TEKO.SU adalah bagian dari upaya Bang Freddy untuk menjaga agar mimpi Toni Tokan tetap menyala.

“Toni Tokan itu menulis satu novel modal flashdisk. Nulisnya nebeng laptop teman kampus terus dimasukkan ke flashdisk. Bukunya sudah terbit, judulnya Maya,” terang Bang Freddy.

“Teknis menulisnya nggak sempurna. Tapi ini bukan soal sempurna atau tidak, tapi tentang seorang anak dari latar belakang kurang sempurna yang punya mimpi besar,” sambungnya.

Itulah kenapa Bang Freddy tak mau menyepelekan mimpi orang. Ia justru ingin memberi ruang pada mereka untuk mewujudkan mimpi-mimpinya dengan bantuan TEKO.SU. Karena di kedai kopi Sleman itu juga kerap ada workshop: menulis, melukis, fotografi, videografi, dan lain-lain.

“Prinsip di sini: apapun output bisnis nggak boleh cuma terimakasih. Sesimpel tulisan harus deal harga, ada nominal yang disepakati.” Bang Freddy menunjukkan sebuah kain dengan quotes yang ditaruh di bagian atas meja pesan.

Bukan untuk cari uang

Lebih menarik lagi, ternyata Bang Freddy tak mengambil keuntungan dari TEKO.SU untuk kantongnya pribadi. Laba dari TEKO.SU ia putarkan memang untuk kegiatan kolektif di kedai kopinya tersebut.

Lalu hidup dari mana Bang Freddy? Sambil menjalankan TEKO.SU, ia ternyata juga memiliki agensi fotografi. Dari situlah ia murni menyambung hidup.

“Omku kan wartawan. Nah, dulu ngasih hadiah pernikahan ke ibu itu kamera,” kenang Bang Freddy.

“Jejak kamera itu ada, berupa foto-foto di album foto ibu. Dari album itu ibu sering cerita. Itu melekat di aku, mangkanya aku coba latihan memfoto,” ucapnya.

Bang Fredi belajar dan mengasah skill fotografinya secara ototidak. Hingga kini ia punya lima karyawan dan memiliki banyak klien.

Kedai kopi di Sleman khusus untuk ngobrol

“Kenapa TEKO.SU?”

“Dulu itu akronim dari Teh Kopi Susu, jadi TEKO.SU. Kalau sekarang, itu perpaduan antara bahasa Jawa dan Timur. TEKO itu bahasa Jawa, artinya datang. Kalau SU itu ambil dari bahasa Timur yang suka penggal kata, maksudnya sudah. Jadi, TEKO.SU itu maksudnya datang sudah (teko ae wis),” terang Bang Freddy diiringi tawa khasnya yang renyah. Menunjukkan kalau ia memang sangat ramah.

Tak ada WiFI di sana. Karena kedai kopi di Sleman itu memang sengaja Bang Freddy desain sebagai ruang untuk ngobrol. Malam ketika saya datang ke sana, kursi-kursi sudah penuh dengan anak muda. Rata-rata memang sedang asyik berbincang.

Orang-orang yang datang untuk ngobrol di TEKO.SU street coffee Sleman. (Aly Reza/Mojok.co)

Restu ibu di balik kedai kopi TEKO.SU

Ketika sedang ada job memotret di Bali belum lama ini, Bang Freddy entah kenapa tiba-tiba resah. Sudah sembilan tahun terakhir ia tak pulang kampung ke Atambua.

Tiba-tiba ia merasa sangat berdosa pada orang tuanya di rumah. Atas kesalahan-kesalahan di masa lalu, atas kelemahannya belum bisa memberi sesuatu pada orang tuanya setelah sekian lama merantau.

“Aku dulu kan bisa dibilang anak nakal,” akunya.

Bang Freddy belum lama ini pulang ke Atambua. Ia bersujud di kaki orang tuanya. Minta maaf atas kesalahannya yang lalu-lalu, sekaligus minta restu juga atas setiap langkahnya di perantauan.

“Restu orang tua mujarab banget buat kehidupan. Aku merasa kehidupanku jadi dipermudah,” katanya dengan senyum terkembang.

Cerita dengan Bang Freddy masih sangat panjang. Kami berbincang hingga pukul 22.00 WIB. Tulisan ini mungkin tak bisa menampung semua cerita dari sosok pencerita yang sangat antusias itu.

Pukul 22.00 WIB saya, mengikuti Mas Puthut, berpamitan dengan Bang Freddy. Ia menyalami kami dengan harapan agar kami tak kapok main-main lagi ke TEKO.SU. Sementara kami berlalu, Bang Freddy lalu mengambil duduk bersama sekelompok anak muda. Buka sedari pukul 10.00 WIB, kedai kopi jalanan di Sleman itu masih akan buka dan melayani pengunjung hingga pukul 01.00 WIB.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA: Jungkir Balik Kedai Kopi Jogja Hadapi Mahasiswa, Pesan Kopi Harga Rp5 Ribu Nggak Mau Disuruh Bayar Seikhlasnya Ogah, Tak Malu Nongkrong Pakai iPhone

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version