Tahu Gimbal Pak Yono di Yogyakarta ini selalu ramai pengunjung. Terbilang legendaris karena pemiliknya mulai jualan tahu gimbal di tahun 1974 atau 49 tahun yang silam. Belajar langsung dari ayah penjual tahu gimbal legendaris di Semarang.
Di Jogja, makanan khas Kota Semarang yang memakai memakai gimbal udang atau semacam bakwan goreng berisi udang sebagai lauk utamanya ini tidak lantas berubah rasa. Makanan ini tetap mengusung autentik cita rasa asin gurih. Mojok berbincang dengan pemilik warung tahu gimbal yang selalu ramai di Jogja, Tahu Gimbal Pak Yono.
***
Dulu, hampir setiap hari saya melewati simpang empat lampu merah Pingit di Jogja saat jam-jam makan siang. Saking lamanya menunggu durasi lampu kembali hijau, saya sering celingak-celinguk mengamati setiap aktivitas di pinggir jalan. Yang menarik perhatian, ada sebuah warung berspanduk biru dengan gerobak cokelat di depannya yang selalu ramai, namanya Tahu Gimbal Pak Yono.
Namun beberapa waktu belakangan, pemandangan itu sudah tidak pernah lagi saya dapati. Rupanya tahu gimbal yang terkenal dan super ramai di dekat perempatan lampu merah pingit itu telah pindah selama satu tahun terakhir. Lokasinya di Jl. Tentara Rakyat Mataram No.35, jika kita dari arah selatan hanya selisih beberapa meter sebelum Universitas Janabadra, tepatnya di kiri jalan. Gerobaknya masih sama, hanya spanduknya saja yang berubah warna.
Dari mie kopyok ke tahu gimbal
Jam menunjukan pukul dua siang ketika saya sampai pada sebuah warung makan bertulis “Tahu Gimbal Pak Yono” dengan gerobak berwarna cokelat di depannya. Warung ini bisa dibilang masih cukup ramai mengingat jam makan siang seharusnya sudah lewat. Terlihat gimbal udang yang biasanya tertata rapi dan penuh dibalik kaca gerobak, kini tinggal seperempatnya saja.
Saya menghampiri seorang pria berbadan cukup gempal yang duduk di meja kasir. Ia selalu tersenyum ramah kepada seluruh pengunjung yang baru saja masuk ke dalam warungnya, termasuk saya. Namanya adalah Yono (66), sang pemilik Tahu Gimbal Pak Yono yang sudah berjualan kurang lebih selama 49 tahun.
Semenjak memasuki usia remaja, Yono selalu berpikir tentang usaha apa yang akan ia geluti nanti. Maklum, daerah kelahirannya, salah satu desa di Klaten, memiliki kebiasaan untuk mulai merantau dan menjadi pedagang jika sudah memasuki usia bujang. Pada akhirnya di tahun 1973, ia datang ke Semarang untuk mencari peruntungan.
“Awalnya ke Semarang buat jualan mie kopyok,” ucap Yono terkekeh.
Sayangnya, walaupun saat itu sudah berkeliling kota dari pagi hingga sore, hasil yang ia dapat tak seberapa. Yono putar otak, mencari alternatif lain.
Belajar dari ayah Tahu Gimbal Pak Edi
Sebagai seorang pedagang, Yono kala itu punya beberapa kenalan sesama pedagang makanan. Kebetulan, ia kenal cukup dekat dengan ayah Pak Edi, pemilik warung Tahu Gimbal yang hingga saat ini paling terkenal di Kota Semarang.
“Tau kan Tahu Gimbal Pak Edi?” tanya Yono
Saya mengangguk, tapi ragu, lalu menggeleng. Saking terkenalnya, sampai sekarang saya sebagai warga Semarang tidak tahu, imana warung Pak Edi yang asli. Sebab, banyak warung-warung tahu gimbal di Semarang yang memakai nama Pak Edi.
“Saya juga nggak tau warung yang asli di mana sekarang, kalau orangnya masih ingat,” Yono tertawa ringan sambil merapikan buku nota yang ada di hadapan mejanya.
Laki-laki itu lalu bercerita, sejak memilih untuk berhenti dari mie kopyok. Ia mendekati ayah Pak Edi dengan beberapa kali makan di tempatnya, lalu sering mengobrol. Lama-kelamaan, ayah Pak Edi mengajari Yono untuk membuat tahu gimbal agar bisa sama-sama berjualan.
Hingga sekitar tahun 1974-1975, Yono memberanikan diri untuk mulai beralih menjadi pedagang tahu gimbal. “Dulu masih pikulan, Mbak,” ujarnya.
Mirip saat berjualan mie kopyok, setiap pagi hingga sore Yono berkeliling. Bedanya, setiap malam ia bisa mangkal di salah satu ruas jalan yang cukup ramai di Kota Semarang.
Hari-hari telah Yono lewati, tapi rasa-rasanya ia merasa kurang puas dan ingin mencari peruntungan lain lagi. Akan tetapi, Yono tidak ingin berganti menu seperti yang sebelumnya sudah ia lakukan. Entah kenapa, ia tetap ingin berdagang tahu gimbal namun tidak di Semarang.
“Udah banyak banget yang jualan tahu gimbal di sana,” ucap Yono ketika saya tanya mengapa. Jawaban itu sekaligus membuat Yono mulai menceritakan tentang awal mula tahu gimbalnya bisa berada di Jogja.
Memilih Jogja untuk jualan tahu gimbal
Waktu itu sambil tetap berjualan dari pagi hingga malam, Yono mulai survei kecil-kecilan tentang bagaimana berjualan ke kota lain. Dan akhirnya, ia mengerucutkan pilihan kepada dua kota yang sama-sama tak jauh dari kota kelahirannya, yaitu Solo dan Jogja. Jujur saja, ia pun tak punya alasan khusus, hanya berpikir bahwa kota itu cukup ramai dan murah.
“Tapi saya lebih sreg sama Jogja. Kayaknya kalau jualan disana asalkan murah, pasti laku. Kan kota pelajar,” ia terkekeh.
Tahun 1990-an, Yono pelan-pelan mulai pindah ke Jogja. Katanya, mencari kontrakan di Jogja gampang-gampang susah. Terutama bagi seseorang seperti Yono yang belum punya pekerjaan tetap di Jogja, ia kurang dipercaya oleh para pemilik kontrakan.
Akan tetapi, bukan Yono namanya jika ia mudah menyerah. Sebuah strategi brillian muncul dalam benaknya. Ketika sampai di Jogja, Yono mencari sewaan becak. Selama empat hari itulah, ia pura-purak narik becak. Padahal sebenarnya, ia sedang menyiapkan dagangan. Yono terkekeh mengingat masa-masa itu, sambil sesekali melempar senyum pada pembeli yang menyapa dirinya.
Walau saat ini ia sudah memiliki sekitar empat karyawan, Yono selalu berusaha untuk tetap berada di warung ketika buka. Setiap harinya ia memang menyukai menyapa para langganannya. Ia selalu ingat orang-orang yang sering membeli tahu gimbal miliknya.
Trik promosi selebaran Tahu Gimbal Pak Yono
Tidak tau pasti apakah Tahu Gimbal Pak Yono menjadi tahu gimbal pertama yang ada di Jogja atau bukan. Tapi yang jelas, warung yang saya datangi ini merupakan tahu gimbal yang terkenal di Jogja dan selalu ramai. Ditanya asal muasal kenapa warungnya bisa seramai sekarang, ternyata Yono punya cerita sendiri.
Setelah memiliki warung permanen, ia tak langsung punya pembeli yang banyak. Warung miliknya pun belum banyak yang tahu. Entah bisikan dari mana, tiba-tiba Yono memiliki ide untuk membuat selebaran. Selebaran sederhana, intinya mengumumkan bahwa ada warung di Jogja bernama Tahu Gimbal Pak Yono. Rasanya enak, tentu juga murah.
Yang membuat saya kagum dengan idenya adalah, ia meminta tolong pada anak-anak sekitar untuk menyebarkan selebaran. Di sepanjang jalan, tempat-tempat parkir, lapangan, atau tempat mana saja yang mereka lewati. Seringnya, di kaca depan mobil-mobil yang sedang terparkir.
“Tolong tempelin di mobil-mobil parkir itu, nanti tak kasih lima ribu,” ujarnya meniru gaya bicaranya dulu ke anak-anak. “Mereka waktu itu malah seneng, karena dapet uang jajan,” sambil terkekeh.
Meski, Yono lupa berapa kali membagikan selebaran-selebaran itu, tapi yang jelas, pelan-pelan warungnya mulai dikenali. Walau pengaruhnya tak secepat promosi melalui internet seperti jaman sekarang, tapi cara tersebut cukup efektif bagi warung Yono dulu.
Pindah lokasi dan manfaatkan media sosial
Dengan cara tersebut, ekonomi keluarga Yono mulai stabil. Kalau tidak salah, sekitar tahun 1999 Tahu Gimbal Pak Yono sudah mulai banyak pengunjung.
Kalau sekarang sudah berbeda, media sosial semakin cepat dan hemat. Sekarang, warung Tahu Gimbal Pak Yono juga memiliki akun Instagram yang dikelola oleh anaknya. “Ya sekarang promosi dari situ Mbak, masa mau selebaran terus,” ucap Yono.
Meski sudah ramai, Yono juga pernah memiliki pengalaman tidak enak. Beberapa hari setelah warung miliknya pindah ke tempat saat ini, ia pernah kena tipu dengan jumlah cukup banyak. Suatu hari, ada seseorang yang memesan tahu gimbal via telepon sebanyak 100 porsi. Yono kaget, tapi juga senang. Pembelinya pun langsung mengirimkan bukti transfer saat itu juga.
Namun sayang, setelah pesanan jadi, ia baru sadar jika tidak ada sepersen pun uang yang masuk ke rekening.
“Sedih Mbak. Tapi daripada mubazir, saya coba jual laku 40 porsi. Sisanya, saya bagi aja ke kampung,” ujarnya.
Rahasia jualan kuliner ala Pak Yono
Ada yang unik dari tahu gimbal milik Yono ini. Jika saya sering berjumpa dengan warung-warung yang menyesuaikan rasa masakannya dengan cita rasa manis khas Jogja, Yono tidak demikian. Padahal bagi saya -yang sudah tinggal di Jogja selama enam tahun-, cita rasa masakan Jogja dengan Semarang cukup jauh berbeda.
Yono tertawa sambil mengangguk-angguk, katanya saya benar juga. Tapi sejak awal berjualan, Yono tidak ada niatan untuk mengubah atau menyesuaikan rasa tahu gimbal buatannya. Bagi Yono, menjadi unik dan berbeda adalah nilai jual lebih.
“Nyatanya, masakan saya bisa diterima dengan baik sama orang-orang sini. Gak semuanya harus manis, toh?” ucap Yono, “Tahu gimbal buatan saya, betulan asli Semarang,” tambahnya berbangga.
Pria itu melanjutkan ceritanya lagi. Katanya, prinsip ini membuat Yono kedatangan orang-orang Semarang yang ingin mencari makanan khasnya di Jogja. “Banyak loh orang Semarang yang dateng. Cocok di lidah, khas Semarang katanya. Ya kayak Mbak ini kan, orang Semarang kesini,” ujarnya.
Saya terkekeh. Cukup saya akui, sebagai orang berlidah asin-gurih, sejak saya merantau di Jogja cari makanan yang betul-betul pas di lidah saya cukup sulit. Dan Tahu Gimbal Pak Yono ini, saya akui memang memiliki cita rasa khas kota kelahiran saya.
Walaupun tak sedikit juga pelanggannya yang protes karena kurang manis. Tapi Yono tetap kekeuh mempertahankan rasa asli dari tahu gimbal yang pernah ia pelajari dulu sebelum berjualan. Toh, pada akhirnya bisa diterima.
Selain rasanya yang khas, tahu gimbal Pak Yono juga terkenal akan ukuran udangnya yang besar-besar. Sejak awal berjualan di Jogja, Yono memang memiliki langganan penjual udang dari Semarang yang berjualan di Pasar Beringharjo. Tak tanggung-tanggung, di minggu awal belanja, ia bisa membeli udang hingga satu juta rupiah. “Satu kilo 60 ribu Mbak, coba dikalikan aja,” Yono nyengir.
Yang tarik Tahu Gimbal Pak Yono selain rasanya yang enak
Tak hanya soal rasa dan kualitas, ada rahasia lain di balik kesuksesan usaha kuliner milik Yono ini, yaitu bersih. Menurutnya, kebersihan malah jadi daya tarik pertama bagi para pelanggan. Sesederhana gerobak bersih, orang yang jualan juga bersih, tempat bersih, pokoknya kebersihan buat orang merasa senang dan tidak risih.
Apalagi jika berjualan rapi, nyenengke. Zaman keliling dulu, Pak Yono selalu pakai sepatu. Tak ada alasan lain selain ingin terlihat rapi. “Dulu ada pelangganku yang bilang: udah pake sepatu, besok pake dasi ya Pak,” ungkap Yono.
“Selain itu, kita juga harus jujur. Jujur mujur, pokokmen,” ia terkekeh. Di warungnya, sering ada barang-barang tertinggal. Entah ponsel, tas, hingga dulu pernah sekotak berisi kunci-kunci bengkel. Bahkan, pernah barang yang tertinggal itu baru tiga bulan kemudian pemiliknya mengambil. Prinsip yang dipegang Yono hingga sekarang adalah kalau bukan haknya ya jangan mengambil.
Hal-hal sederhana itulah yang membuat para pengunjung Tahu Gimbal pak Yono sering kembali lagi dari awal mencoba hingga sekarang.
Reporter: Rahma Ayu Nabila
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Rahasia Larisnya Warung Soto Bu Kini, Langganan Utang Mahasiswa UIN Jogja
Cek berita dan artikel lainnya di Google News