Kabar tutupnya belasan restoran cepat saji ayam goreng KFC di Indonesia, mengingatkan diri pada masa-masa silam. Dulu, karena kondisi ekonomi, hanya bisa ngiler menyaksikan orang kaya menikmati seember ayam goreng. Bahkan menggadonya—tanpa pakai nasi. Ingin minta malah cuma dikasih “rontokan krispi”.
***
Restoran cepat saji KFC—dengan menu andalan ayam goreng—memang tampak makin sepi dalam beberapa tahun ke belakang. Saya sendiri, tiap melintasi beberapa restonya (baik di Jogja, Surabaya, Jombang, atau Semarang misalnya) sering hanya mendapati satu atau dua mobil yang terparkir di parkiran restoran.
Wajar saja. Makin ke sini, makin banyak pilihan restoran cepat saji. Apalagi dengan menu ayam goreng, malah banyak bertebaran gerai-gerai kecil yang jualan. Banyak orang tentu memilih restoran atau gerai-gerai kecil itu. Asal murah saja pokoknya. In this economy og.
Pergeseran pasar tak pelak membuat KFC di Indonesia tumbang satu persatu. PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), pengelola restoran cepat saji KFC, menutup 19 gerai per September 2025. Penutupan gerai ini berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK) 400 karyawannya.
KFC: ayam goreng orang kaya
Sekelompok orang berusia 25-30 tahunan saling tertawa-tawa di ruang tengah sebuah remah. Mereka berkumpul sambil menikmati “seember” ayam goreng KFC, sembari minum minuman bersoda.
Salah satu orang di sana lalu menunjukkan bagaimana mulutnya menggigit dan mengunyah paha ayam goreng. Bunyi “kres-kres-kres” atau “kriuk-kriuk-kriuk” terdengar.
Begitulah kira-kira salah satu tayangan iklan ayam goreng KFC di layak televisi tempo dulu, yang kerap Naiman kecil saksikan di televisi kecil di rumahnya. Naiman hanya bisa menatapnya tanpa berkedip. Lalu tanpa sadar ilernya menetes.
Tidak ada KFC di tempat asal Naiman, Rembang, Jawa Tengah. Jangankan ayam goreng rintisan Harland Sanders itu, ayam goreng biasa—yang dibeli dari pasar saja—jarang-jarang bisa dia makan.
Hanya momen tertentu saja Naiman bisa menikmati ayam goreng. Misalnya kalau di rumah sedang ada hajatan. Atau saat dia mendapat nasi berkat dari tetangga. Itu pun jarang-jarang. Karena ayam goreng, bagi orang-orang desanya dulu, masuk dalam kategori makanan mewah—dan tentu saja mahal.
Menanti kalimat “Nanti dibelikan” oleh orangtua yang tak kunjung jadi nyata
Naiman kini sudah 28 tahun. Kepada saya dia bercanda: Hingga saat ini, dia masih menanti kalimat semaya dari orangtuanya—perihal ayam goreng dari restoran cepat saji KFC—benar-benar terealisasi.
“Itu gambaran aja. Saking nggak bisa jangkaunya kami dengan ayam goreng itu. Maklum lah, karena masih kecil, dulu itu kalau kepengin minta ke orangtua. Ya aku sering minta KFC ke bapak atau ibu. Bilangnya nanti pasti dibelikan kalau ke pasar,” ungkap Naiman, Kamis (2/10/2025).
Dulu, sering kali Naiman nitip agar dibelikan ayam goreng KFC tiap ibunya ke pasar. Dia masih belum tahu kalau di Rembang tidak ada restoran cepat saji itu.
Alhasil, ketika ibunya pulang dan hanya memasak ayam goreng sekadarnya, Naiman protes. Tapi ibu Naiman selalu bilang: ayam biasa lebih enak. Dagingnya banyak. Kalau ayam KFC itu lebih banyak tepungnya.
Seiring waktu, ya Naiman tahu lah, kalau itu adalah siasat sang ibu untuk mengelabuhi Naiman. Lebih tepatnya, mungkin untuk menyadarkan Naiman kalau KFC sejatinya jauh dari jangkauan—baik jangkauan jarak maupun uang.
Tetangga kaya beli seember ayam goreng KFC, cuma pamer tapi tak bagi-bagi
Iklan televisi bukan satu-satunya yang membuat Naiman ngiler. Ada satu momen lagi yang masih Naiman ingat-ingat sampai sekarang.
Dulu ada teman Naiman yang bapaknya bekerja di Malaysia. Keluarga temannya itu punya kebiasaan: tiap tiga tahun sekali, saat sang bapak pulang ke Indonesia, maka keluarga teman Naiman akan rombongan satu mobil menjemput di Bandara Juanda, Sidoarjo.
Nah, suatu kali, dari Surabaya itu, si temannya itu ternyata dibelikan “satu ember” ayam goreng KFC (menu satu cup ayam goreng KFC). Bedebahnya, kata Naiman, saat itu si teman mengotong-otong satu ember ayam goreng itu ke sana ke mari. Walaupun hanya sisa beberapa potong saja di dalamnya.
“Dia memang nggak niat bagi-bagi. Cuma pamer, sambil makan, dia sambil cerita soal rasanya seenak apa. Pas ada teman yang minta, dia bilang kalau bapaknya melarang bagi-bagi,” ujar Naiman.
“Asem tenan og. Apalagi dia digado, nggak pakai nasi,” sambungnya.
Si teman baru menyerahkan ember KFC itu ketika potongan-potongan ayamnya sudah habis. Alhasil, Naiman dan teman-temannya—anak desa yang lain—saling berebut serpihan tepung (krispi)-nya. Ngenes tenan.
Kini beli ayam krispi Rp5 ribuan sudah syukur
Hingga umur 28 tahun, Naiman masih belum pernah mencicipi ayam goreng KFC. Itu masih menjadi salah satu aspriasi hidupnya.
Naiman akhirnya bisa melihat restoran-restoran KFC asli sejak kuliah di Semarang, Jawa Tengah. Hanya melihat. Tapi masih belum mampu membeli.
“Mahasiswa pas-pasan, jadi nggak bisa makan mahal-mahal. Cari warung murah. Kalau lagi pengin ayam kripsi ya yang dijual Rp5 ribuan,” ujar Nuaiman. “Itu sudah syukur.”
Setelah lulus dan bekerja di Semarang, Naiman akhirnya untuk pertama kali makan menu restoran cepat saji. Itu berkat dua hal: Gaji yang lumayan dan ajakan pacar.
“Misalnya di Richeese. Nggak tahu kenapa pacarku suka sekali di situ. Tapi karena belum pernah sama sekali di KFC, aku sering lah bilang ke pacar, ayo lah kapan-kapan ke KFC. Pengin nyoba dan ngobati ngilernya masa kecil,” kata Naiman sambil tertawa.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Pertama Kali Makan All You Can Eat (AYCE) Berakhir Kapok: Habis Rp250 Ribu, tapi Pulang dalam Keadaan Malu dan “Tetap Lapar” atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
