Warteg memang menjadi warung makan yang akrab (khususnya) dengan kalangan kelas menengah ke bawah. Karena dengan harga terjangkau, seseorang bisa makan enak dan mengenyangkan. Mengingat menu warteg yang memang beragam.
Namun ternyata, ada saja orang kelas menengah bawah yang awalnya asing dengan warteg. Pengalaman pertama makan di warung makan tersebut akhirnya memberi cerita lucu yang sulit dilupakan.
Takut makan di warteg, dikira restoran
Di tempat asal Gandika (24), Rembang, Jawa Tengah, tidak ada warteg. Adanya warung makan-warung makan sederhana. Biasanya menunya sudah tertulis di banner: Misalnya nasi pecel, rames, soto, lodeh, atau lain-lain.
Gandika mengaku baru tahu ada warung makan bernama warteg saat merantau—untuk bekerja—di Surabaya, Jawa Timur.
Saat awal-awal merantau di Surabaya, Gandika agak kebingungan dalam mencari makan. Alhasil, dia biasanya cari warung makan yang menunya terpampang jelas di warung: Pecel, soto, bakso, atau nasi goreng.
“Maksudnya kan tinggal bilang ke penjaga warung, Bu/Pak pecel satu. Atau Bu/Pak pesen soto satu. Jadi gampang,” ungkap Gandika, Minggu (13/7/2025) siang WIB.
Di dekat kosnya—dan ternyata di banyak titik di kampung-kampung Surabaya—ternyata banyak warung-warung makan dengan label “warteg”. Jujur, Gandika tidak tahu warung makan jenis apa itu.
Tapi kalau melihat etalase berisi aneka macam lauk dan sayur, Gandika agak “takut-takut” makan di sana. Dia mengira warteg itu semacam restoran, sehingga mematok harga mahal.
Pertama kali makan di warteg, mendadak goblok saat ditanya “Mau makan menu apa?”
Dari teman kerjanya, akhirnya Gandika tahu kalau warteg adalah akronim dari “Warung Tegal”: sebuah warung makan sederhana dengan konsep rumahan, buka 24 jam, dan tentu memasang harga terjangkau.
Teman Gandika awalnya juga heran, kok bisa Gandika tidak tahu kalau di dunia ini ada warung makan bernama warteg. Ya bagaimana lagi, karena memang di Rembang tidak ada.
Akhirnya, untuk menjawab rasa penasaran, suatu hari Gandika diajak oleh temannya untuk mencoba makan di warteg dekat kosnya. Apalagi, selama ini teman kerjanya tersebut memang sering membeli makan di warteg. “Karena lebih kenyang,” begitu kata si teman.
Ketika masuk ke dalam warteg, Gandika mengaku langsung takjub dengan etalase berisi sajian menu di sana: aneka jenis lauk dan sayur. Tentu semua menggiurkan bagi Gandika. Lebih-lebih tumis kangkung, sambal terong, dan telur baladonya.
“Tapi kan aku nggak tahu cara pesannya. Waktu ditanya mau makan apa? Wah langsung bingung aku. Mendadak goblok. Maksudnya, kan selama ini aku kalau makan ya tinggal bilang, nasi pecel, soto, begitu lah. Kalau di warteg belum tahu nyebut jenis menunya bagaimana. Aneh? Ya memang aneh sekali aku ini,” tutur Gandika sambil terkekeh.
Baca halaman selanjutnya…
Kenyang tapi menyesal, tebus nasib miris masa kecil












