Bakso memang menjadi salah satu makanan favorit bagi mayoritas orang Indonesia. Namun, ada saja orang yang justru trauma makan bakso, terutama bakso daging sapi. Pemicunya adalah karena mengetahui sisi lain dari oknum pedagangnya yang melenyapkan nafsu makan seketika. Dari isu daging tikus hingga jin penglaris.
***
Hingga saat ini, bakso memang menjadi salah satu makanan yang sering Yunianto (26) santap. Meskipun sebenarnya ia tak memasukkannya ke dalam daftar kuliner favorit.
Hanya saja, Yunianto mengaku cukup selektif dalam memilih warung. Sebab, ia takut kejadian beberapa tahun silam terulang lagi, ketika sebuah warung bakso daging sapi membuatnya mual-mual. Yunianto hanya akan makan di warung-warung rekomendasi dan memiliki ulasan baik dari pelanggan.
Oknum penjual bakso daging terbukti pakai daging tikus
Tidak jauh dari rumah Yunianto di Wonogiri, Jawa Tengah, terdapat sebuah warung bakso daging sapi yang sudah ada sejak ia masih SD. Dari SD hingga kelas 2 SMA (sekitar tahun 2015-an), ia dan keluarganya memang kerap makan di warung tersebut.
Bertahun-tahun Yunianto mengaku tak ada yang aneh dari bakso daging di warung itu. Dari segi rasa maupun gerak-gerik penjualnya tidak ada yang mencurigakan.
Sampai suatu hari di tahun 2015 itu, Polisi menggrebek warung tersebut dan menemukan fakta mengejutkan.
“Si pemilik warung bakso terbukti menggunakan daging tikus dalam baksonya. Waktu itu refleks mual-mual lah karena aku sering makan di sana. Kebayang kalau selama ini yang kumakan adalah tikus,” ujar Yunianto dalam obrolan bersama Mojok belum lama ini.
“Cuma aku nggak tahu, sebenarnya orang itu pakai daging tikus baru di tahun itu atau dari tahun-tahun sebelumnya sudah pakai,” sambung pemuda asli Wonogiri yang saat ini berdomisili di Jogja tersebut.
Dari yang Yunianto dengar dari si pemilik warung, sebenarnya di masa-masa itu ada banyak oknum penjual bakso daging sapi di Wonogiri yang menggunakan campuran daging tikus. Si penjual dekat rumah Yunianto menjadi yang apes karena kena grebek petugas.
“Si pemilik warung masuk jeruji waktu itu. Aku nggak tahu ya berapa tahun, tapi sekarang udah nggak buka lagi,” terangnya.
Setelah Mojok telusuri, di tahun 2015 di Wonogiri memang tengah ramai-ramainya isu warung bakso dengan campuran daging tikus. Namun, tidak serta merta disimpulkan bahwa seluruh warung bakso daging sapi di Wonogiri melakukan aksi tak terpuji tersebut. Karena ada pemilik warung yang jadi korban tudingan tak berdasar.
Misalnya yang Sugianto alami. Pria asal Maros tersebut mengaku rugi besar karena sempat mendapat tudingan menggunakan daging tikus dalam baksonya. Sebelumnya ia bisa meraih omzet hingga Rp6 juta per hari, tapi setelah diterpa isu daging tikus, sehari ia hanya meraup Rp2 juta.
“Kalau dibilang bakso tikus, di mana saya harus ambil daging tikus itu sampai 15 kilogram per harinya? Kalau perlu pihak pemerintah selalu datang ke sini, untuk periksa bakso saya” katanya waktu itu seperti yang Mojok kutip dari Tribun Timur.
Mojok tak bisa mengulik lebih jauh perihal kondisi Sugianto pasca tudingan tersebut hingga hari-hari ini. Akan tetapi, menurut Yunianto sebagai warga asli Wonogiri, sejak kejadian tahun 2015 itu banyak warung bakso di Wonogiri yang—hingga saat ini—mempertegas diri dengan embel-embel “Daging Sapi Asli”. Tidak lain untuk meyakinkan pembeli bahwa mereka tidak menggunakan daging tikus.
Pengalaman buruk makan bakso dengan jin penglaris
Orang lain yang mengaku punya pengalaman buruk makan bakso adalah Gafar (25), pemuda asal Rembang, Jawa Tengah. Tidak hanya spesifik ke bakso daging, tapi nyaris semua bakso.
Di Rembang, Jawa Tengah, Gafar memiliki warung bakso daging sapi langganan yang buka sejak 2018 hingga sekarang. Karena selain murah, rasanya pun nikmat, porsinya juga memuaskan.
Hingga suatu kali pada 2021 ia mengajak teman nyantrinya di Gresik—yang kebetulan main ke rumahnya—untuk mencicipinya: mengajak temannya makan di warung tersebut.
“Waktu itu baru juga duduk, tapi temanku sudah langsung ngajak batalin makan di warung langgananku itu. Alasannya ia melihat hal menjijikkan. Bahkan saat kubonceng, ia mual-mual,” ungkap Gafar juga belum lama ini.
Gafar sebenarnya berpikir logis, barangkali cara pengolahan bakso di Rembang berbeda dengan di Gresik, sehingga si temannya merasa jijik.
“Tapi setelah kami pindah, temenku itu cerita, hal menjijikkan yang ia maksud itu ia melihat ada sosok menyeramkan yang lidahnya menjulur, air liurnya menetes ke kuah bakso sebelum dihidangkan. Ia menyebut itulah jin penglaris,” terang Gafar menceritakan apa yang teman indigonya lihat.
Gafar sebenarnya tak bisa memastikan apakah yang temannya lihat benar atau tidak. Karena ia bukan indigo, ia juga tidak bisa memastikan mana warung yang pakai penglaris dan mana yang tidak.
“Kalau makan masih makan sampai sekarang. Tapi aku punya langganan lain, aku nggak lagi di tempat yang kata temenku ada penglarisnya itu,” jelas Gafar.
Perihal warung bakso pakai penglaris, Detik Food pernah menulis cerita dari seorang mantan karyawan warung kuliner bulat itu di Surabaya, Jawa Timur.
Di balik 400 mangkuk per hari, ternyata warung bakso tersebut menggunakan penglaris yang sangat menjijikkan. Bukan air liur jin, tapi sempak yang dicelupkan di dalam kuali bakso.
Kalau bicara soal praktik penglaris, sepertinya memang tidak hanya terjadi pada warung bakso, tapi juga warung-warung lain. Hanya saja, karena memang tak kasat mata, kasus ini memang sangat sulit dibuktikan.
“Kalau aku baca-baca, ciri warung pakai penglaris itu kalau dibungkus nggak enak. Tapi itu nggak jadi acuan karena yang namanya dibungkus itu kan jeda waktu berapa menit dari proses awal. Jadi wajar kalau rasa berubah,” beber Gafar.
Baca halaman selanjutnya…
Pembuatan di kontrakan kumuh
Cara pandang Salsha (25) tentang bakso berubah saat ia melihat tiga tukang bakso daging memproses baksonya di sebuah kontrakan kumuh di Surabaya.
Salsha sendiri pada dasarnya tak begitu menjadikan bakso sebagai makanan favorit. Akan tetapi ia tetap menikmati kalau menyantap makanan yang konon dari Tiongkok tersebut.
Sampai kemudian sejak kuliah di Surabaya pada 2017, perempuan asal Trenggalek, Jawa Timur, itu mulai agak “aneh” dalam memandang bakso.
“Karena aku udah tiga kali lihat tiga tukang bakso berbeda, ngolah baksonya di kontrakan atau kos mereka yang tampak kumuh dan berantakan,” ujar Salsha.
Apakah Salsha jadi sama sekali tak makan bakso? Tentu masih. Hanya saja tak senafsu teman-teman kuliahnya waktu itu yang memang sangat menggemari makanan bulat tersebut.
“Temen-temenku ada yang bilang, bukan karena mereka (penjual) jorok. Tapi kos atau kontrakan murah di Surabaya ya kondisinya memang kayak kumuh banget. Tapi temen-temen yakin kalau dalam ngolah bakso sebenarnya para penjual itu juga jaga kebersihan,” ungkap Salsha.
Sebab, mengutip obrolan dengan teman-teman Salsha, kalau buatnya juga dengan cara jorok, mestinya rasanya tak enak. Tapi kenyataannya enak-enak saja.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.