Ingkung Mbah Kentol dan Honda Mega Pro yang Jadi Saksi Larisnya Warisan Leluhur

Ilustrasi Ingkung Mbah Kentol dan Honda Mega Pro yang Jadi Saksi Larisnya Warisan Leluhur. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Kisah perjalanan Mbah Dalijan ini seperti Kolonel Sanders, pencipta Kentucky Fried Chicken (KFC). Ia baru membuka usaha kuliner di usianya yang tidak muda lagi. Meski baru berdiri 8 tahun, Ingkung Mbah Kentol laris manis. Saksinya, sebuah motor Honda Mega Pro yang gagah terpampang di teras rumah.

***

Pertengahan September lalu, saya bertemu dengan kawan di daerah Pajangan, tepatnya di Kalurahan Guwosari. Kami ketemuan di Ingkung Mbah Kentol. Namanya unik. Belakangan saya tahu nama itu berasal dari nama kampung di lokasi warung itu, Kentolan Lor. 

Awalnya saya menilai pemilik warung ini cukup narsis. Buktinya, di dinding warung terpampang foto-foto dirinya bersama pejabat atau artis. Namun, saya menilai dia bukan narsis, tapi juga cerdas dan nyentrik.

Foto-foto bersama tokoh itu sama seperti yang saya lihat di warung-warung soto legendaris di Yogyakarta. Selain sebagai strategi marketing, juga ingin menunjukkan bukti kalau soal rasa, mereka juara. 

Namun, sebuah motor Mega Pro di teras warung membuat saya penasaran. Di keremangan malam, jelas motor itu hanya menjadi pajangan. Apa hubungannya Honda Mega Pro dengan sebuah warung ingkung yang ramai?

Empuk dan gurih…

Saya kembali mengunjungi Ingkung Mbah Kentol di Sabtu pagi pada 30 September 2023 sekitar pukul 09.30, atau tiga puluh menit setelah jam buka agar lebih leluasa ngobrol dengan sang pemilik, Mbah Dalijan (67). Namun, saya kecelik, justru pagi ini dia sedang sibuk-sibuknya. Ada puluhan orang-orang berbaju safari warna khaki berbaret merah dengan emblem Kopassus.

Rupanya mereka purnawirawan prajurit komando yang tengah membuat acara kaitannya dukungan pada salah satu bakal calon presiden. “Mas, nanti ya saya sedang repot,” katanya saat saya meminta izin untuk melakukan wawancara. Saya sudah kesana beberapa hari sebelumnya, hanya saja saat itu situasi juga ramai tidak memungkinkan.

Sambil menunggu Mbah Dalijan, saya memesan satu ingkung utuh dengan sayur daun pepaya dan lalapan. Ingkung itu disajikan dengan tampah dan ingkungnya berada di dalam kreneng atau anyaman bambu. 

Sengaja saya ajak seorang teman untuk makan bersama. Ini karena satu ingkung utuh biasanya untuk empat orang. Kalau cuma saya habiskan sendiri, kok rasanya kemaruk. Meski, ya saya yakin akan habis.

Ingkung utuh Mbah Kentol yang dimasak dan disajikan dengan kreneng. MOJOK.CO
Ingkung utuh Mbah Kentol yang dimasak dan disajikan dengan kreneng. (Agung P/Mojok.co)

“Dagingnya empuk, sambelnya menurutku enaak. Pedes tapi ada manis-manisnya,” kata Rasya (23), teman yang saya ajak makan. 

Meski ayam kampung, tekstur alot tidak ia temukan. Bahkan menurut Rasya, level empuknya melebihi daging ayam kampung di gudeg yang belum lama ini ia makan.

Motor Honda Mega Pro jadi saksi

Saya mencoba mencari Mbah Dalijan, tapi ia terlihat sedang ngobrol asyik dengan para purnawirawan. Mbah Dalijan beberapa waktu sebelumnya pernah bilang, kalau Honda Mega Pro yang ada di teras rumahnya adalah milik anaknya. Saya lantas mendekat ke seorang laki-laki yang sedang bermain dengan anak kecil.

“Iya, mas itu memang motor saya, dulu bapak belikan waktu SMA, sekitar 2005-an,” kata Anna Yahya (35). Rupanya laki-laki yang sedari tadi bermain dengan anak kecil di halaman warung merupakan anak Mbah Dalijan. Maka saya menebak kalau dia adalah pemilik Honda Mega Pro.

Yahya mengatakan, motor itu menjadi saksi hidupnya sekaligus saksi usaha yang ayahnya rintis. “Saksi hidup saya waktu SMA, kuliah, dan sempat saya bawa ke Jakarta untuk kerja,” kata Yahya.

Saat kembali di Jogja tahun 2015-an motor itu jarang ia pakai. Namun, ia tak berencana menjual motor itu. Olah ayahnya motor itu kemudian dimodifikasi sedemikian rupa dengan menambah box di kanan kiri dan bagian belakang.

“Dulu itu dikasih stiker dan bendera Ingkung Mbah Kentol, terus sama bapak dibawa muter-muter buat jualan ingkung, ya buat promosi juga,” kata Yahya.

Mbah Dalijan di atas motor yang jadi saksi larisnya menu ingkung resep dari leluhur. (Agung P/Mojok.co)

Ide bisnis dari Grebeg Selarong

Ide bisnis jualan ingkung itu sebenarnya berasal dari Yahya. Semula berawal dari peristiwa 18 tahun silam, saat ayahnya, Mbah Dalijan dan Pak De-nya membuat acara Grebeg Selarong di sekitar Goa Selarong. Lokasi yang pernah menjadi markas Pangeran Diponegoro dan pasukannya. 

Masyarakat menyambut antusias kegiatan tersebut, Mbah Dalijan kemudian memberi ide dengan membuat 1000 tumpeng dengan 17 ingkung, 17 nasi gurih yang kemudian disajikan ke tamu. Rupanya menu tersebut sangat berkesan bagi masyarakat. Hingga kemudian bermunculan warung-warung yang berjualan ingkung. 

Masyarakat kemudian berinisiatif membuka warung makan ingkung. Kini ada sekitar 15 warung makan ingkung di Pajangan. 

“Habis dari Jakarta, saya berpikir kok bapak nggak buka juga ya. Dia kan bisa masak dan tahu resepnya,” kata Yahya. Ide itu lantas ia sampaikan ke ayahnya. Ia juga memberikan masukan agar ayahnya tetap berpakaian seperti saat Grebeg Selarong, dengan beskap dan blangkon.

“Bapak setuju, malah seneng karena melestarikan tradisi leluhur. Keluarga bapak kan masih ada garis keturunan dengan Sri Sultan HB III,” kata Anna Yahya.

Motor Honda Mega Pro miliknya yang tak lagi ia gunakan kemudian diambil alih oleh Mbah Dalijan untuk kendaraan operasional.

Baca halaman selanjutnya… 

Sejarah Ingkung Mbah Kentol

Sejarah Ingkung Mbah Kentol

Mbah Dalijan akhirnya selo juga untuk bercerita. Ia kemudian menghampiri saya dan minta maaf karena tidak bisa melayani wawancara sejak awal.

Ia bercerita sedikit tentang masa lalunya. Lulus SMA ia merantau ke Jakarta menyusul kakak-kakaknya. Dalijan muda kemudian jualan sayuran di Pasar Kramat Jati. Di sisi lain, ia kemudian mendaftar menjadi polisi. Namun, rupanya ibunya yang ada di Bantul tahu dan menyusul ke Jakarta dan mengancam kakak Dalijan yang sudah menjadi polisi. 

“Kalau sampai Dalijan jadi polisi, itu sama saja kalian membunuh Ibu. Kalau semua anak-anak ibu di Jakarta, siapa yang menemani ibu,” kata Mbah Dalijan menirukan omongan ibu kepada kakaknya. Kakaknya yang seorang polisi pun terpaksa meminta pihak kepolisian untuk mencoret nama Dalijan sebagai peserta yang lolos. Itu tanpa sepengetahuan Dalijan.

Setiap hari rata-rata Warung Ingkung Mbah Kentol memasak 10-20 ekor ingkung. (Agung P/Mojok.co)

Tahu gagal, Dalijan sempat depresi. Depresi karena malu dengan teman-teman dan tetangganya di Jakarta karena ada saudaranya yang polisi kok dia tidak lolos ujian. Baru setelah mendengar alasan dari kakaknya, kalau ibu mereka menyampaikan pesan agar ia tak lolos, akhirnya ia menerima.

Memulai bisnis kuliner di usia 60 tahun

Dalijan akhirnya pulang kampung ke Jogja sekitar tahun 1993. Ia kemudian merintis usaha menanam sayur di daerah Bantul. Tahun 2015 atau 23 tahun kemudian, ia mendirikan warung Ingkung Mbah Kentol saat usianya menginjak 60 tahun.

Baginya tidak ada kata terlambat dalam memulai bisnis kuliner. Apalagi ia tahu betul resep membuat ingkung warisan leluhurnya. Namun, meski itu resep keluarga ia tidak pelit untuk berbagi rahasia resep ingkung buatannya.

Ia menggunakan bumbu rempah-rempah seperti ketumbar, jahe, lengkuas, bawang merah, bawang putih, daun salam, sere, garam, dan gula merah. Tidak ada bumbu micin di ingkung buatannya.

“Sereh sama jahe itu untuk menghilangkan amis. Ayamnya, pakai ayam umbaran,” kata Mbah Dalijan. Baginya, resep adalah ilmu, dan baginya pantang ilmu itu disembunyikan, harus ia bagi. Soal takaran bumbu-bumbunya, Mbah Dalijan secara jujur mengatakan, semua berdasar feeling.

Namun, ia percaya dalam hal masak memasak, ada istilah “tanganan” artinya meski bumbu sama, cara masak sama, belum tentu akan punya cita rasa yang sama.

Asal usul nama Mbah Kentol

Mbah Dalijan kemudian berpikir, warung ingkung sudah banyak di Pajangan sehingga harus ada pembeda di warung yang akan ia buka. Termasuk dari sisi namanya. Ia kemudian memberi nama warungnya Warung Ingkung Cancut Tali Wondo Mbah Kentol. 

Cancut Tali Wondo dalam budaya Jawa diartikan sebagai bekerja dengan segenap kemampuan yang dimiliki dan tidak berpangku tangan. Mbah Dalijan mengartikan sebagai pengingat dari zaman perjuangan dulu. Lokasi tempat warungnya berdiri adalah tempat perjuangan Pangeran Diponegoro yang terhitung masih leluhurnya. Dalam konteks kekinian, warung ingkung yang ia dirikan membawa misi  perjuangan untuk melestarikan budaya Jawa. 

Tempat yang luas, outdoor maupun indoor jadi salah satu daya tarik Ingkung Mbah Kentol. (Agung P/Mojok.co)

Mbah Kentol, selain menjadi nama dusun ternyata ada hubungannya dengan leluhur Mbah Dalijan. “Nama ingkungnya saya ambil dari nama mbah saya, yang jadi nama Dusun Kentolan. Jadi saya itu keturunan atau buyut ke-6 dari Brotojoyo Joyokentol,” katanya.

Selain nama, hal lain yang membedakan dengan ingkung lain adalah penggunaan kreneng atau anyaman bambu sebagai alat memasak dan untuk menyajikan. Kreneng itu selain fungsional juga memiliki filosofi tentang persatuan.

Ciri lain yang terlihat mencolok di warung tersebut dan membedakan dengan warung lain adalah dekorasi interior warung yang ramai dengan foto-foto. Di dinding warungnya banyak pajangan foto Mbah Dalijan dengan tokoh-tokoh publik mulai dari artis hingga menteri.

“Kebak Mas, bahkan jendela ya dipasangi foto,” kata Yahya menambahkan. Foto-foto yang Mbah Dalijan pasang memang rata-rata memiliki ukuran jumbo. Bagi Mbah Dalijan, tak mengapa ia keluar modal yang penting selain beda dengan warung ingkung lain, itu jadi sarana promosi.

Honda Mega Pro di teras rumah

Saya lantas menanyakan kepadanya, tentang Honda Mega Pro di teras rumahnya. Ia mengiyakan kalau motor itu merupakan milik anaknya yang ia belikan saat putra kesayangannya itu sekolah di SMAN 1 Yogyakarta. Motor itu ia beli setahun sebelum gempa. “Pas gempa motor ini jatuh, ini sampai bengkok,” kata Mbah Dalijan menunjukkan tuas rem di stang motor.

Ia mengingat, saat merintis usaha ingkung untuk pertama kalinya, motor itu sangat berjasa karena jadi sarana untuk mengantar pesanan ingkung. “Ada tiga boks, bisa muat sampai 5 ekor ingkung,” kata Mbah Dalijan.

Ia ingat karena modifikasi motornya yang ia lengkapi dengan bendera Ingkung Mbah Kentol, membuat anak-anak di kampungnya heboh. Bahkan setiap kali ia melintas ia mendapat sorakan, “Mbah Kentol…mbah Kentol…”

Namun, lama kelamaan ia merasa motor itu semakin berat. Sedangkan anaknya tidak mau menjual motor tersebut. Maka ia berinisiatif untuk menjadikan semacam monumen, yang mengingatkan perjuangan anaknya dari SMA hingga kerja. Juga mengingatkan perjuangannya membesarkan Ingkung Mbah Kentol hingga terkenal sekarang.

Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA Gudeg Koyor Mbak Tum Membuktikan, Kuliner Malam di Semarang Itu Enak 

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version