Sejarah Ingkung Mbah Kentol
Mbah Dalijan akhirnya selo juga untuk bercerita. Ia kemudian menghampiri saya dan minta maaf karena tidak bisa melayani wawancara sejak awal.
Ia bercerita sedikit tentang masa lalunya. Lulus SMA ia merantau ke Jakarta menyusul kakak-kakaknya. Dalijan muda kemudian jualan sayuran di Pasar Kramat Jati. Di sisi lain, ia kemudian mendaftar menjadi polisi. Namun, rupanya ibunya yang ada di Bantul tahu dan menyusul ke Jakarta dan mengancam kakak Dalijan yang sudah menjadi polisi.
“Kalau sampai Dalijan jadi polisi, itu sama saja kalian membunuh Ibu. Kalau semua anak-anak ibu di Jakarta, siapa yang menemani ibu,” kata Mbah Dalijan menirukan omongan ibu kepada kakaknya. Kakaknya yang seorang polisi pun terpaksa meminta pihak kepolisian untuk mencoret nama Dalijan sebagai peserta yang lolos. Itu tanpa sepengetahuan Dalijan.
Tahu gagal, Dalijan sempat depresi. Depresi karena malu dengan teman-teman dan tetangganya di Jakarta karena ada saudaranya yang polisi kok dia tidak lolos ujian. Baru setelah mendengar alasan dari kakaknya, kalau ibu mereka menyampaikan pesan agar ia tak lolos, akhirnya ia menerima.
Memulai bisnis kuliner di usia 60 tahun
Dalijan akhirnya pulang kampung ke Jogja sekitar tahun 1993. Ia kemudian merintis usaha menanam sayur di daerah Bantul. Tahun 2015 atau 23 tahun kemudian, ia mendirikan warung Ingkung Mbah Kentol saat usianya menginjak 60 tahun.
Baginya tidak ada kata terlambat dalam memulai bisnis kuliner. Apalagi ia tahu betul resep membuat ingkung warisan leluhurnya. Namun, meski itu resep keluarga ia tidak pelit untuk berbagi rahasia resep ingkung buatannya.
Ia menggunakan bumbu rempah-rempah seperti ketumbar, jahe, lengkuas, bawang merah, bawang putih, daun salam, sere, garam, dan gula merah. Tidak ada bumbu micin di ingkung buatannya.
“Sereh sama jahe itu untuk menghilangkan amis. Ayamnya, pakai ayam umbaran,” kata Mbah Dalijan. Baginya, resep adalah ilmu, dan baginya pantang ilmu itu disembunyikan, harus ia bagi. Soal takaran bumbu-bumbunya, Mbah Dalijan secara jujur mengatakan, semua berdasar feeling.
Namun, ia percaya dalam hal masak memasak, ada istilah “tanganan” artinya meski bumbu sama, cara masak sama, belum tentu akan punya cita rasa yang sama.
Asal usul nama Mbah Kentol
Mbah Dalijan kemudian berpikir, warung ingkung sudah banyak di Pajangan sehingga harus ada pembeda di warung yang akan ia buka. Termasuk dari sisi namanya. Ia kemudian memberi nama warungnya Warung Ingkung Cancut Tali Wondo Mbah Kentol.
Cancut Tali Wondo dalam budaya Jawa diartikan sebagai bekerja dengan segenap kemampuan yang dimiliki dan tidak berpangku tangan. Mbah Dalijan mengartikan sebagai pengingat dari zaman perjuangan dulu. Lokasi tempat warungnya berdiri adalah tempat perjuangan Pangeran Diponegoro yang terhitung masih leluhurnya. Dalam konteks kekinian, warung ingkung yang ia dirikan membawa misi perjuangan untuk melestarikan budaya Jawa.
Mbah Kentol, selain menjadi nama dusun ternyata ada hubungannya dengan leluhur Mbah Dalijan. “Nama ingkungnya saya ambil dari nama mbah saya, yang jadi nama Dusun Kentolan. Jadi saya itu keturunan atau buyut ke-6 dari Brotojoyo Joyokentol,” katanya.
Selain nama, hal lain yang membedakan dengan ingkung lain adalah penggunaan kreneng atau anyaman bambu sebagai alat memasak dan untuk menyajikan. Kreneng itu selain fungsional juga memiliki filosofi tentang persatuan.
Ciri lain yang terlihat mencolok di warung tersebut dan membedakan dengan warung lain adalah dekorasi interior warung yang ramai dengan foto-foto. Di dinding warungnya banyak pajangan foto Mbah Dalijan dengan tokoh-tokoh publik mulai dari artis hingga menteri.
“Kebak Mas, bahkan jendela ya dipasangi foto,” kata Yahya menambahkan. Foto-foto yang Mbah Dalijan pasang memang rata-rata memiliki ukuran jumbo. Bagi Mbah Dalijan, tak mengapa ia keluar modal yang penting selain beda dengan warung ingkung lain, itu jadi sarana promosi.
Honda Mega Pro di teras rumah
Saya lantas menanyakan kepadanya, tentang Honda Mega Pro di teras rumahnya. Ia mengiyakan kalau motor itu merupakan milik anaknya yang ia belikan saat putra kesayangannya itu sekolah di SMAN 1 Yogyakarta. Motor itu ia beli setahun sebelum gempa. “Pas gempa motor ini jatuh, ini sampai bengkok,” kata Mbah Dalijan menunjukkan tuas rem di stang motor.
Ia mengingat, saat merintis usaha ingkung untuk pertama kalinya, motor itu sangat berjasa karena jadi sarana untuk mengantar pesanan ingkung. “Ada tiga boks, bisa muat sampai 5 ekor ingkung,” kata Mbah Dalijan.
Ia ingat karena modifikasi motornya yang ia lengkapi dengan bendera Ingkung Mbah Kentol, membuat anak-anak di kampungnya heboh. Bahkan setiap kali ia melintas ia mendapat sorakan, “Mbah Kentol…mbah Kentol…”
Namun, lama kelamaan ia merasa motor itu semakin berat. Sedangkan anaknya tidak mau menjual motor tersebut. Maka ia berinisiatif untuk menjadikan semacam monumen, yang mengingatkan perjuangan anaknya dari SMA hingga kerja. Juga mengingatkan perjuangannya membesarkan Ingkung Mbah Kentol hingga terkenal sekarang.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Gudeg Koyor Mbak Tum Membuktikan, Kuliner Malam di Semarang Itu Enak
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News