Dalam setiap perhelatan pemilu, calon legislatif (caleg) yang gagal terpilih kebanyakan mengalami stres hingga gangguan jiwa. Kondisi itu menimpa salah satu caleg DPRD Kabupaten Wonogiri. Pada Pemilu 2009 silam, ia gagal terpilih dan membawa petaka bagi keluarganya, baik secara materiil maupun psikis.
Dino (24), bukan nama sebenarnya, punya pengalaman dengan caleg gagal di Wonogiri. Saya mengenal Dino dari organisasi mahasiswa daerah (Ormada) Wonogiri pada 2017 lalu. Pada awal perkenalan kami, Dino dengan entengnya bikin bercandaan soal pamannya yang mengalami gangguan jiwa.
Kami, yang mendengar leluconnya, tentu merasa tak tega untuk tertawa. Namun, Dino menyuruh kami buat bersikap santai, sebab ia sudah berdamai dengan masa lalunya itu.
Pun, kata dia, alasan pamannya mengalami gangguan jiwa pun cukup absurd. “Gila karena gagal nyaleg,” kata dia, yang waktu itu mengucapkannya sambil memiringkan bibir tanda nyinyir. Cerita soal caleg gagal Wonogiri yang tersemat di pamannya itu kerap ia ulang-ulang.
Memutuskan nyaleg karena modal coba-coba
Pada Rabu (7/2/2024), saya kembali menghubungi Dino untuk me-refresh ingatannya soal kisah pamannya. Dino juga mengaku senang hati membagikan kisah tersebut pada pembaca Mojok.
Semua bermula pada 14 tahun yang lalu. Kala itu, paman Dino, sebut saja Parman (55) maju sebagai kontestan pemilihan umum legislatif DPRD Kabupaten Wonogiri tahun 2009.
Parman maju sebagai caleg Partai Bulan Bintang (PBB)–salah satu parpol yang sebenarnya punya reputasi kecil di Kota Gaplek.
Pencalonan pamannya itu sebenarnya cukup aneh. Sebab, menurut pengakuan Dino, awalnya pamannya itu tak terlalu mengerti persoalan politik. Ngobrol soal isu politik pun hampir tidak pernah.
Satu keluarga besar pun sontak kaget waktu pamannya bilang mau nyaleg. “Kita waktu itu mengiranya bercanda saja. Tahunya beneran,” kata Dino kepada Mojok, Rabu (7/2/2024).
Berawal dari obrolan keluarga yang mereka kira bercandaan itu, petaka perlahan hadir di keluarga besar Dino.
“Gara-gara coba-coba malah jadi celaka.”
Hutang ratusan juta untuk modal kampanye
Beberapa hari setelah pamannya memutuskan nyaleg, satu keluarga masih terkesiap. Mereka masih belum percaya dengan keputusan yang Parman ambil. Namun yang jelas, saat itu rumah Dino mulai ramai orang datang.
“Orang-orang partai atau tim suksesnya mungkin,” kata Dino coba mengingat. Saat pamannya nyaleg, saat itu ia masih kelas 9 SMP, dan belum terlalu paham persoalan politik-politikan, katanya.
Sebagai informasi, keluarga besar Dino: keluarganya, pamannya, hingga kakek-neneknya, berada di satu atap. Artinya, tamu Parman adalah tamu Dino juga.
Dino ingat betul, selama berhari-hari setelah pamannya memutuskan nyaleg, keluarga besarnya tak pernah akur. Ada saja pertengkaran yang terjadi antara pamannya dengan orang tuanya dan kakek-neneknya. Saat itu ia belum memahami pokok permasalahannya.
“Setelah udah ngerti, akhirnya tahu kalau masalahnya pamanku mau jual sejumlah tanah dan gunung buat modal nyaleg,” kata dia.
Jelas keluarganya menolak. Aset keluarga tadi haram buat dijual, apalagi buat modal politik. Setelah mendapat penolakan, belakangan Dino tahu kalau pada akhirnya pamannya memutuskan berhutang untuk modal kampanye.
“Yang aku tahu Rp200an juta. Itu yang benar-benar aku lihat nominalnya. Sisanya enggak tahu lagi, mungkin lebih.”
Gagal terpilih, paman Dino kena mental
Hari-hari yang mereka tunggu, yakni hari pemungutan suara, akhirnya tiba. Dan benar saja, seperti kekhawatiran keluarga besar di awal, paman Dino kalah. “Aku enggak tahu pasti berapa angkanya, tapi yang kudengar pamanku ada di paling bawah.”
Pada Pemilu 2009 lalu, perolehan suara PBB memang amat kecil. Secara nasional, mereka berada di posisi 10 dari total 38 parpol kontestan.
PBB hanya memperoleh 1,8 juta suara (1,79 persen) yang sudah tentu belum cukup untuk mendapatkan kursi di Senayan.
Sementara di Kabupaten Wonogiri, tempat paman Dino bertarung, PBB juga gagal meraih satu pun kursi dari 50 yang tersedia. Wonogiri, yang memang terkenal sebagai “kandang Banteng”, memenangkan PDI Perjuangan dengan 19 kursi di parlemen DPRD saat itu.
“Belum juga ada pengumuman, waktu itu seingatku baru ada desas desus pamanku kalah. Tapi dia sudah ngamuk-ngamuk enggak kekontrol,” ingat Dino.
Satu hal yang paling ia ingat adalah saat pamannya mulai membakar satu per satu banner di basecamp tim pemenangan. Dia juga marah-marah ke hampir semua orang, termasuk tim kampanyenya, istrinya, anaknya, dan keluarga besar lain.
“Cuma didiamkan. Kalau pamanku marah, seram. Enggak ada yang berani nanggapin.”
Caleg gagal itu mulai terkena gangguan jiwa
Berhari-hari berikutnya situasi di rumah Dino amat muram. Hampir tak ada obrolan antaranggota keluarga. Sementara pamannya hanya menghabiskan waktu untuk melamun.
Kadang saat malam tiba, pamannya terus berteriak. Awalnya hanya terjadi saat berada di kamar. Namun, lama kelamaan ia mulai teriak-teriak di teras dan pekarangan rumah sampai mengganggu tetangga.
“Kita satu keluarga takut buat menghadang. Para tetangga juga enggak ada yang berani. Paman saya seram,” kata Dino.
Para tetangga mulai membisikkan ke bibi Dino agar membawa suaminya ke dokter atau rumah sakit jiwa. Tapi sekali lagi itu hanya menjadi wacana yang tak pernah terlaksana. Berbulan-bulan selanjutnya Dino sekeluarga hanya bisa membiasakan diri dengan perilaku aneh pamannya dan omongan miring para tetangga.
Dialami banyak caleg gagal di Wonogiri
Paman Dino bukan satu-satunya caleg gagal yang mengalami gangguan jiwa. Tiap selesai perhelatan pemilu, ada banyak “pasien kejiwaan” baru yang datang ke rumah sakit. Kebanyakan dari mereka adalah para caleg gagal.
Di Wonogiri, misalnya, sejak 2009 RSU Sudiran Mangun Sumarso (SMS) telah merawat banyak caleg gagal yang mengalami gangguan jiwa. Jumlahnya memang tidak mereka ketahui secara pasti, tapi yang jelas tiap tahun terus meningkat.
Selain RSU SMS, Pondok Pesantren (Ponpes) Sunan Gunung Jati di Desa Gesing, Kecamatan Kismantoro, Kabupaten Wonogiri juga membuka pelayanan bagi caleg stres di tiap pemilu. Mereka menawarkan konsultasi spiritual dan siap mendampingi pasien hingga pulih total.
Hampir mengakhiri hidup karena jerat utang
Sebenarnya, banyak psikiater bersepakat kalau gangguan mental yang dialami caleg gagal lebih karena rasa tidak ikhlas kalah. Kebanyakan dari mereka pada akhirnya membuat aksi-aksi spontan, seperti marah-marah, menarik bantuan yang pernah disumbang saat kampanye, hingga paling ekstrim berniat mengakhiri hidup.
Hal ekstrim terakhir, kata Dino, pernah pamannya alami. Pada 2010 lalu, utang duit kampanye yang tak kunjung terbayar, terus membebani pamannya. Alhasil, orang tuanya sering mendengar ucapan-ucapan pamannya yang bilang ingin mengakhiri hidup.
“Sampai udah sempat nulis surat, kayak surat perpisahan gitu. Tapi waktu itu bisa kita cegah,” kata Dino.
Akhirnya, keluarga besar memutuskan menjual tanah untuk menutup sebagian utang. Masih belum cukup, anggota keluarga lain juga bahu membahu membantu pamannya itu guna menyelesaikan perkara utang.
“Sekarang udah lunas, sih. Hanya saja dulu kalau enggak ngide nyaleg, mungkin hidupnya bisa lebih baik dari sekarang,” ujar Dino.
“Kalau enggak siap kalah, mending jangan nyaleg, deh. Mahal, Bro,” pungkasnya, sambil menunjukkan foto pamannya yang kini kesehariannya sibuk membantu berjualan di warung kelontong milik bibinya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono