Kiat Merintis Bisnis Thrift Shop: Baju Bekas yang Bisa Berharga Jutaan Rupiah

Thrift shop menjamur dimana-mana. Thrifting atau nge-thrift jadi tren di kalangan anak muda. Tren berbelanja busana impor bekas kini tak lagi dipandang sebelah mata.

***

Pernah dengar soal thrift? ya, barang atau pakaian second impor. Meskipun second, pakaian thrift dipandang punya value yang berbeda bahkan lebih tinggi daripada busana baru. Karena keuntungannya yang menggiurkan, tren thrifting melahirkan banyak thrift shop baik online maupun offline. Banyak anak muda mulai merintis binis ini.

Namun, bukan lagi rahasia jika bisnis thrift shop timbul tenggelam. Sebagai bisnis yang berbasis anak muda, banyak yang memandang sepele dan menganggap thrift shop sebatas seru-seruan. Karena tidak dikerjakan secara profesional, akhirnya bisnis thrift shop hanya bertahan beberapa bulan saja.

Untuk menghindari jadi bisnis sesaat, bagaimana kiat memulai dan menjalani bisnis thrift shop? Apakah bisnis thrift shop bisa menghasilkan profit jika dikerjakan dengan serius? Apa yang membedakan thrift shop dengan awul-awul yang pernah berjaya? Untuk menjawab semua itu, saya berbincang dengan owner dari NO BAD DAY (NBD), thrift shop dan vintage shirt shop.

Memulai bisnis thrift shop

Mahessa Yogya (24) saat ini sedang sibuk menyelesaikan kuliah sekaligus bekerja di sebuah perusahaan digital marketing di Yogyakarta. Di tengah kesibukannya, Mahessa juga aktif menjalankan NO BAD DAY. Tidak hanya dijalankan sebagai pengisi waktu luang, namun dengan serius dan profesional.

“Bapakku memang jatuh hati sama Yogya. Makanya namaku ada Yogya-nya,” ujar Mahessa ketika saya mempertanyakan nama Yogya tersebut asli atau gimmick.

Pria jangkung kelahiran Cilacap ini memang suka dengan fashion. Mahessa sering berbelanja busana seperti kaos, hoodie, dan crewneck. Karena kecintaan pada dunia fashion ini, Mahessa tertarik untuk mengikuti thrift auction alias lelang thrifting.

“Salah satunya adalah auction-nya Tely Sarendra,” imbuh Mahessa sambil membenarkan posisi duduknya.

Tely Sarendra adalah salah satu kiper terbaik futsal Indonesia. Tely juga owner dari @throwbacktime.id. Mahessa adalah fans dari Tely Sarendra. “Kan aku juga kiper futsal, jadi ngefans sama Bang Tely,” kata Mahessa.

Mahessa dan kaos thrift jualannya. (Dok. pribadi Mahessa)

Awalnya Mahessa sering membeli busana thrift. Pertama memang satu sampai dua baju saja. “Nggak apa-apa beli sedikit dulu untuk dipakai sendiri, yang penting punya dulu,” ujarnya. Menurut pandangan Mahessa, meskipun baju bekas tapi tetap ada value tersendiri.

“Misal dari brand apa yang sudah tidak keluar lagi, dia punya value lebih,” kata Mahessa. Selama busana thrifting tersebut bagus dan layak pakai, Mahessa tidak memandang rendah busana tersebut sebagai busana bekas.

Dari satu dua potong baju thrift ini, Mahessa punya cukup rezeki untuk membeli 1 bal pakaian. Bal ini berarti satu plastik besar yang berisi banyak pakaian bekas. Isi satu bal biasanya sekitar 30 potong pakaian. Ia membelinya dari seorang pedagang online di Lampung. “Dulu awalnya aku beli yang paket usaha, harganya Rp2,5 juta waktu itu,” imbuhnya.

Dari membeli 1 bal paket usaha ini, Mahessa memulai merintis bisnis thrift shop dengan nama NO BAD DAY (NBD). Awalnya bisnis ini dijalankan Mahessa bersama dua temannya. Namun karena kesibukan masing-masing, kini hanya Mahessa yang tetap fokus dan konsisten menjalankan NO BAD DAY.

“Awalnya ada dua temenku yang sudah mengenal thrifting lebih lama. Mereka aku mintai tolong untuk memasarkan barang thrift-ku. Jadi diawali dari mulut ke mulut,” ujar Mahessa. Setelah itu, Mahessa membuat akun Instagram NO BAD DAY dan konsisten mengunggah foto produknya. Pelan-pelan, banyak yang mulai tertarik dan mengirim DM dan pesan WhatsApp.

“Awal dulu aku nggak ambil untung gede, sekitar Rp300 ribu-Rp400 ribu dari modal awal,” ungkapnya. Ia memang tidak berniat mengambil untung besar, fokusnya pada cepatnya perputaran uang dari thrift shop yang ia kelola. Salah satu alasannya adalah NO BAD DAY yang masih baru pada waktu itu. Dari keuntungan ini, Mahessa kembali memutar uang tersebut untuk membeli bal paket usaha lagi.

Klasifikasi produk

Dalam 1 bal tidak semua berisi pakaian dengan brand dengan kualitas yang prima. “Di thrifting-an istilahnya ada brand kepala, badan, dan kaki,” terang Mahessa sambil meminum kopi susu gula aren.

Brand kepala adalah brand busana yang memang sedang dicari atau rare collection. Brand badan adalah brand standar busana yang kualitasnya di bawah brand kepala. “Kalau brand kaki bisa dibilang awul-awul lah,” ujarnya sambil terkekeh.

Untuk brand kepala, Mahessa biasa menjual di akun Instagram. “Itu sebelum kenal live Instagram dan Tiktok,” imbuh Mahessa. Setelah mengenal model lelang di live Instagram dan Tiktok ini, ia lantas menjajakan produk brand kepala ini secara live. Brand kepala menurut pengakuannya lebih mudah laku di pasaran.

“Untuk brand badan, aku punya strategi sendiri. Aku pakai teknik bundling,” ujar Mahessa. Teknik bundling ini membuat produk brand badan ini tidak terkesan mahal. Dengan membeli langsung 3 potong pakaian dalam satu paket ini, maka pelanggan merasa lebih untung. Teknik ini dipakai Mahessa untuk mempercepat perputaran barang di NO BAD DAY.

Mahessa saat sedang live di Instagram. (Dok. pribadi Mahessa)

Brand kaki yang dibilang awul-awul ini tidak dijual oleh Mahessa. Brand kaki menjadi alat promosi sekaligus memuaskan pelanggan. “Kalau tidak jadi giveaway, ini jadi bonus. Misal ada yang beli tiga sampai empat pieces, No Bad Day kasih 1 pieces barang kaki ini,” ujar Mahessa. Mahessa juga menekankan bahwa awul-awul disini bukan berarti baju tidak layak pakai.

“Aku seringnya kalau beli yang paket usaha. Barangnya dijembreng dulu dan ‘pilihan’. Nanti baru dijadikan satu bal buat dikirim,” ujar Mas Mahessa. Barang “pilihan” dari paket usaha ini juga meminimalisir barang yang rusak dan tidak layak pakai. Ada banyak “pilihan” bal yang sesuai dengan kebutuhan. Dari paket usaha sudah digolongkan menjadi paket usaha kepala, badan, dan kaki seperti definisi sebelumnya.

“Ada juga paket usaha gemoy tuh. Jadi isinya adalah baju-baju cewek yang gemoy gitu,” imbuh Mahessa. NO BAD DAY juga mulai melebarkan sayap di kaos vintage. “baru mulai bulan lalu lah NO BAD DAY main di (kaos) vintage,” ujar Mahessa.

Baju vintage sendiri tidak berbeda dengan thrift pada umumnya. Tapi memang lebih berumur dan langka. “Sama-sama bekas sih. Tapi vintage tuh value-nya lebih,” ujarnya. Ia mengatakan memang ada barang thrift yang rare seperti hoodie dan crewneck. Namun kaos vintage memang punya rare value yang lebih tinggi. “Kalau hoodie sama crewneck ada yang dari tahun 2000-an. Tapi kalau kaos vintage bisa dari tahun 1990,” imbuh Mahessa.

Produk pakaian thrift NO BAD DAY milik Mahessa yang laris dibeli pelanggan. (Dok. pribadi Mahessa)

Bicara kendala, menurut Mahessa adalah perkara lapak. Tanpa memiliki lapak atau toko offline, cukup susah untuk memasarkan barang ini. “Kalau tidak punya lapak, harus siap live setiap hari,” ujar Mas Mahessa. Kendala ini dialami oleh NO BAD DAY. Karena Mahessa tengah kuliah dan bekerja, maka ia belum bisa memiliki lapak. “Awalnya udah niat buka lapak, tapi terkendala oleh sumber daya manusia,” imbuhnya.

Untuk live, Mahessa juga menemukan kendala. Karena tuntutan pekerjaan dan perkuliahan, Mahessa tidak bisa melakukan live di Instagram dan Tiktok lebih sering. “Sekarang biasanya cuma live dari jam 8 sampai 12 malam,” ujar Mahessa.

Menjual baju thrift memang tidak seperti menjual baju baru di marketplace. Penjual harus memiliki pengetahuan lebih dan bisa menyampaikan ke pembeli. “Misal nih ada crewneck, kalau dipajang aja nanti pembeli tidak paham. Aku harus menjelaskan lewat live kalau bahannya masih bagus, karet-karetnya masih kencang, tag masih ada gitu,” ungkapnya. Edukasi ini terutama untuk brand badan.

Konsumen nakal

Soal pembeli juga beragam dan harus hati-hati. Mahessa pernah hampir ditipu calon pembeli. Sang calon pembeli tersebut berniat membeli busana di NO BAD DAY sampai Rp1 juta. Setelah deal, si calon pembeli mengirimkan bukti transfer. Untungnya, Mahessa rajin melihat mutasi di rekening. Ternyata tidak ada transfer yang masuk. Setelah di-follow up, calon pembeli yang ternyata penipu itu langsung memblokir kontaknya.

“Alhamdulillah sih, aku masih diselamatkan dari akun tipu-tipu gitu,” ujar Mahessa sambil meregangkan badan. Mahessa menekankan ketelitian dalam menjalankan usaha thrift shop. Dari teliti pada produk, sampai teliti dalam mengawasi mutasi dan pembayaran dari pembeli.

Pembeli yang menawar dengan ngawur juga sering ditemui oleh Mahessa. Terutama ketika bicara brand kepala yang memang punya value. Mahessa sering menjual brand kepala ini dengan harga modal demi mempercepat perputaran. Tapi ketika sudah dijual dengan murah, masih saja ada yang menawar jauh di bawah harga tersebut. “Dari harga Rp250 ribu bisa ditawar sampai Rp75 ribu bahkan Rp50 ribu.”

Studio sederhana Mahessa untuk berjualan online. (Dok. pribadi Mahessa)

Dalam memilih dan menentukan market, Mahessa juga menekankan kecermatan. NO BAD DAY sendiri mengalami pergeseran market. Pada awal berdirinya, NO BAD DAY menyelipkan satu dua kaos vintage di antara barang thrift yang lain. Ternyata banyak yang tertarik dan meminta review dari kaos vintage yang dipajang.

Mahessa melihat peluang ini dan mulai ambil resiko dengan menambah produk kaos vintage. Ternyata perputaran kaos vintage ini cukup cepat. Akhirnya Mas Mahessa menjadikan kaos vintage sebagai ujung tombak NO BAD DAY dalam satu bulan ini. Perbedaan selain perputaran yang cepat, kaos vintage juga membutuhkan modal yang lebih besar. “Ada kaos yang harga modalnya saja sudah Rp750 ribu,” imbuh Mas Mahessa.

Mahessa juga membagikan tips untuk para pemula yang ingin berbisnis thrift shop. Jika ingin cuan, thrift shop harus dijalankan sepenuh hati. “Kalau bisnis thrifting, kita harus sepenuh hati di sana. Thrift store tidak bisa dijalankan dengan sampingan. Kita harus rajin live (Instagram dan Tiktok) dan membuka lapak offline,” ujar Mahessa. Ia juga menyarankan untuk memperkerjakan pegawai jika belum bisa 100% terjun langsung di thrift shop.

Tapi menjalankan thrift shop berbeda dengan menjual brand baru. Menurut Mahessa, saat menjual brand baru atau brand pribadi perlu memperkenalkan dengan masif. Tapi thrift shop lebih minim effort memperkenalkan brand karena sudah dikenal terlebih dahulu. Kaos vintage juga telah memiliki konsumen loyal sendiri.

“Kalau kalian mau bisnis thrift, kalian harus benar-benar ditekuni dan dilakoni. Harus mau terjun langsung dan fulltime di thrifting-an. Ibaratnya thrift store itu kerja 24 jam. Pagi kerja, sore kerja, malam harus live,” katanya.

Mahessa juga menekankan untuk membeli barang yang sesuai selera pribadi dulu. Karena dengan sesuai selera pribadi, akan mempermudah untuk membentuk market dan memasarkan. “Pengalamanku dulu kan memang nurutin market, jadi aku kayak terombang-ambing. Aku pikir nggak bisa nih aku nurutin market terus,” ujar Mahessa.

Ketika terbentur masalah, Mahessa juga mengingatkan untuk fokus pada solusi. “Kebetulan akun Tiktok NO BAD DAY kena banned barusan. Nah aku berusaha buat fokus cari solusi dan bukan menyesal atau marah karena akunnya kena banned,” ucapnya.

Mahessa juga menunjukkan beberapa produk NO BAD DAY, terutama produk kaos vintage. Ada satu kaos yang memang menarik minat saya: Kaos The Undertaker, salah satu pegulat legendaris idola saya. Tapi setelah dibisiki harganya yang hampr Rp1 juta, sepertinya saya redam dulu mimpi membeli kaos ini.

Saya juga tidak habis pikir, kaos bekas ternyata bisa berharga jutaan. Tapi meskipun bernilai tinggi, bukan berarti bisa dijual semudah membalikkan telapak tangan. Seperti apa yang disampaikan Mahessa: teliti, all-out dalam bisnis, dan fokus pada solusi daripada masalah.

Reporter: Prabu Yudanto
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Ketika Salak Pondoh Tak Lagi Istimewa dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version