2024 ini menjadi tahun terbaik bagi Alfian Andhika Yudhistira lantaran berhasil menyelesaikan tesisnya di Jurusan Kebijakan Publik, sembari bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Jakarta. Dia pun menjadi wisudawan tunanetra pertama yang mendapat gelar S2 di Universitas Airlangga (Unair), setelah pernah menolak kuliah S1 di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
***
November 2024 lalu, saya menghubungi Alfian soal triknya berhasil lolos Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) hingga berkantor di pusat Jakarta. Di sela-sela obrolan tersebut, pemuda asal Surabaya itu bilang jika dirinya sedang menunggu wisuda S2. Dia juga bercerita soal perjuangannya kuliah, termasuk alasannya menolak kuliah S1 di Unesa.
Rupanya, Desember ini menjadi penutup akhir tahun yang membahagiakan untuk dirinya. Dia kembali mengenakan toga di Airlangga Convention Center (ACC), Kampus MERR-C pada Minggu (22/12/2024).
“Jujur momen kemarin itu nggak terduga. Jadi, apa yang kusampaikan kemarin benar-benar spontanitas, nggak ada persiapan untuk speech,” ucapnya kepada Mojok, Senin (30/12/2024).
Dalam suatu cuplikan video, Alfian tampak tak kuat menahan air matanya saat berpidato di hadapan teman-temannya yang juga lulus wisuda periode 245 Universitas Airlangga (Unair) 2024. Di hadapan wisudawan, para dosen, dan juga Rektor Unair Mohammad Nasih, Alfian bercerita mengenai kondisi keluarganya hingga bisa berkuliah.
Dia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Dari semua saudaranya, dia menjadi anak pertama yang berhasil meraih gelar S2. Itu bukan pencapaian yang mudah bagi Alfian, mengingat kondisi keluarganya yang kurang berkecukupan.
“Ibu saya ibu rumah tangga dan bapak saya tukang tambal ban, tapi saya bangga menjadi bagian dari mereka,” ujar Alfian menahan haru, dikutip dari akun resmi Unair di TikTok, Senin (30/12/2024).
Di momen itu, Alfian berterima kasih kepada keluarganya yang selalu mendukung jalan kariernya. Berkat dididikan dari orang tuanya, Alfian berhasil menempa diri. Kini, dia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Desa.
Sosialisasi inklusivitas di Universitas Airlangga (Unair)
Ketika lulus SMA, Alfian berpikir akan sulit mencari kerja dengan ijazahnya, apalagi tak banyak perusahaan yang mau menerima pegawai seorang difabel. Akhirnya, dia memutuskan untuk kuliah.
Tahun 2016, Alfian mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi lewat jalur prestasi tapi gagal. Dia tak patah arang dengan mencoba Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) ke Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan Universitas Airlangga (Unair). Seleksi itu menggunakan ujian tulis berbasis komputer (UTBK).
Sebetulnya, pilihan pertama Alfian adalah Unair tapi dia malah diterima di Unesa. Padahal dia merasa tidak kesusahan saat mengerjakan tes, sehingga dia cukup percaya diri dengan nilainya jika dibandingkan peserta lain. Dari situ, Alfian ragu dan mulai curiga jika alasannya ditolak bukan karena nilai.
Keresahan itu akhirnya dia sampaikan kepada temannya yang juga alumni Unair (almarhum). Temannya itu mengajak Alfian untuk berdiskusi bersama dosen-dosen di Unair. Mulanya, mereka hanya berbincang soal inklusivitas dan pembelajaran untuk difabel. Namun, dugaan Alfian terbukti.
“Ternyata benar. Aku berjumpa dengan salah satu dosen di sana, beliau cerita ‘Mas, bukan apa-apa, kami itu bingung kalau menerima (difabel)’. Mereka saja bangun perpustakaan bagus, harus keluar uang sampai Rp800 juta,” kata Alfian.
“Akhirnya aku harus konfirmasi ke sana kemari. Sampai sekarang aku ingat banget dengan dosen-dosen Unair yang membantuku,” lanjut Pegawai Negeri Sipil (PNS) itu.
Pertemuan itu Alfian jadikan kesempatan untuk sosialisasi tentang kebutuhan difabel, khususnya tunanetra. Dia bahkan sampai presentasi cara menggunakan laptop, membaca buku, serta mendengarkan perkuliahan.
Daftar ke Universitas Airlangga (Unair) lewat Jalur Mandiri
Setelah berdiskusi soal kebutuhan dan hak difabel dalam menempuh pendidikan, para dosen Unair menawarkan Alfian untuk mendaftar ke Unair menggunakan jalur Mandiri yang tesnya tinggal satu hari lagi.
Alfian sempat menolak masuk Unair lewat jalur Mandiri karena biayanya terbilang mahal. Namun, salah satu dosen menyuruhnya mendaftar dengan memasukkan nomor Bidikmisi yang sudah dia miliki sebelumnya.
Bidikmisi merupakan beasiswa yang diberikan pemerintah Indonesia untuk membantu calon mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Dulu, kata Alfian, pendaftar jalur Mandiri masih bisa menggunakan bidikmisi. Begitu juga di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, sehingga berangkatlah Alfian ke Unair sekali lagi untuk mengikuti tes Jalur Mandiri bersama dua orang temannya yang juga difabel. Dia pun lolos sebagai mahasiswa Jurusan Antropologi tahun 2016 dengan nilai yang memenuhi standar.
Pamit ke Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
Kabar itu tak membuat Alfian lupa bahwa dia juga sudah diterima di Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Alfian pun sowan langsung kepada rektor Unesa. Dia bercerita soal prosesnya mendaftar ke Universitas Airlangga (Unair).
“Aku bilang ke rektor bahwa saya juga daftar di Unair. ‘Oh iya kalau bisa memang nggak semua disabilitas di sini. Kalau bisa mencari ke yang lain,’ kata rektor Unesa dulu,” ujar Alfian.
Sebagai informasi, Unesa menjadi salah satu kampus penggagas yang berupaya menciptakan kampus ramah difabel. Kampus yang dulunya bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan itu bahkan membuat pemeringkatan sendiri untuk mewujudkan lingkungan ramah bagi penyandang disabilitas, yakni Unesa-Dimetric.
Sambutan hangat dari rektor Unesa saat dirinya mengundurkan diri, membuat Alfian lebih semangat dalam menjalani perkuliahan. Dia pun berhasil menyelesaikan S1 Jurusan Antropologi di Unair pada tahun 2020 dengan IPK sekitar 3,4.
Tak berhenti di situ, Alfian melanjutkan untuk kuliah S2 Jurusan Kebijakan Publik di Unair. Setelah menempuh studi selama dua tahun, dia berhasil lulus dengan IPK sekitar 3,7. Proses itu tidak mudah, karena dia kuliah sembari bekerja sebagai PNS di Jakarta.
“Semoga dengan ilmu budaya dan kebijakan yang saya miliki, ke depan saya dapat berkontribusi lebih banyak untuk membuat Indonesia yang lebih inklusif,” ucap PNS yang bekerja di Kementerian Desa itu.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Sulitnya Penyandang Tunanetra Ikut Seleksi CPNS, Akses Dipersulit padahal Punya Kemampuan Lebih atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.