Momen wisuda memang menjadi momen haru dan membanggakan bagi orang tua. Apalagi jika sang anak menjadi wisudawan di kampus selevel Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogja.
Di sisi lain, Mojok menemukan cerita bahwa wisuda UGM juga bisa menjadi momen bagi orang tua untuk mengobati rasa kecewa lantaran sang anak tak mau kuliah. Mereka mengobati rasa kecewa itu dengan ikut mengantarkan keponakan wisuda di kampus bergengsi tersebut.
***
Mobil-mobil berjajar di sekitaran Gedung Grha Sabha Pramana (GSP) UGM. Di belakangnya, di bawah deretan pepohonan, beberapa kelompok keluarga menggelar tikar untuk selonjoran kaki.
Kira-kira begitulah pemandangan yang terlihat dalam momen Wisuda Program Sarjana dan Sarjana Terapan Periode II Tahun Akademik 2023/2024 UGM pada Rabu, (21/2/2024) pukul 09.38 WIB, saat saya tiba di lokasi.
Di antara deretan keluarga yang tengah berteduh tersebut, ada satu keluarga yang menarik perhatian saya. Mereka duduk lesehan di salah satu sudut di sebelah barat Gedung GSP, sepasang suami istri dengan seorang anak perempuan yang masih kecil. Yang kemudian saya tahu adalah keluarga Pak Suparno (59).
Saya memutuskan menghampiri mereka. Karena di antara keluarga-keluarga yang tengah duduk lesehan di bawah pohon, keluarga Pak Suparno lah yang, dalam hemat saya, tampak begitu sederhana. Tak ada dress yang mencolok sebagaimana keluarga-keluarga lain.
Bangga melihat ponakan wisuda UGM
“Kami dari Kulon Progo, Mas. Tadi berangkat jam lima (pagi) apa ya? Pagi-pagi banget pokoknya,” ujar Suparno dengan sangat ramah usai mempersilakan saya duduk bersama mereka.
Usut punya usut, Suparno ternyata tidak sedang mengantarkan anaknya, melainkan ikut mengantarkan keponakannya wisuda.
Saat mendengar kabar dari sang kakak (ibu dari si keponakan), Suparno pun langsung antusias untuk ikut berangkat ke UGM. Ia langsung libur kerja sejak beberapa hari sebelumnya. Meski toh di UGM nantinya mereka juga tak bisa masuk ke gedung GSP, lokasi prosesi wisuda berlangsung.
“Sekalian ajak jalan-jalan cucu,” ungkapnya.
Ternyata bocah perempuan yang tengah menggelendot pada Suparno adalah cucunya, anak dari anaknya sendiri.
“Ya walaupun ponakan, artinya bukan anak sendiri yang wisuda di UGM, tapi tetap bangga lah, Mas. Maksudnya, punya keluarga yang bisa jadi sarjana di kampus besar,” katanya.
Terharu dengan perjuangan sang keponakan
Rasa bangga Suparno pada sang keponakan pun tak berhenti hanya sebatas pada karena ia jadi wisudawan UGM. Sebab, lebih dari itu, keponakannya tersebut bisa kuliah hingga lulus lantaran hasil jerih payahnya sendiri, biayanya sendiri.
“Orang tuanya (kakak Suparno) itu PNS. Dua-duanya guru SD,” jelas Suparno.
“Ada yang beranggapan kalau PNS pasti sejahtera. Cukup ya cukup, tapi untuk kuliah S1 Keperawatan UGM, pasti kan butuh biaya besar,” lanjutnya.
Karena tahu biaya S1 Keperawatan di UGM tak murah, keponakan Suparno itu lantas bertekad untuk menyelesaikan kuliah tanpa meminta biaya ke orang tua. Baik untuk UKT maupun untuk uang jajan sehari-hari.
Alhasil, keponakannya yang perempuan itu memutuskan kuliah sambil kerja hingga akhirnya wisuda. Itulah yang membuat Suparno merasa ikut terharu.
“Anak cewek tapi berjuang sampai seperti itu, sebagai orang tua pasti bangga,” tuturnya.
Apalagi di menjelang akhir masa kuliahnya, sebelum akhirnya ikut wisuda UGM, keponakan Suparno itu memutuskan untuk menikah hingga kemudian memiliki seorang anak.
Alhasil, keponakannya tersebut pun bekerja makin keras lagi. Sebab, selain untuk membiayai kuliahnya sendiri, ia juga harus membantu suami untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Baca halaman selanjutnya…
Anak sendiri malah tak mau kuliah
Obati rasa kecewa karena anak sendiri tak mau kuliah
“Kalau putra Jenengan, kuliah juga?,” tanya saya mencoba memastikan. Suparno tersenyum sebelum akhirnya menggeleng tipis.
Suparno hanya memiliki satu anak, seorang laki-laki. Yang mana dari anaknya tersebut ia kemudian mendapat seorang cucu perempuan yang pagi itu ia bawa serta untuk menyaksikan prosesi wisuda UGM.
Suparno sendiri sempat berharap bisa menguliahkan sang anak, dengan harapan, selain punya ilmu banyak juga kelak punya peluang besar mendapatkan pekerjaan layak.
“Nggak harus UGM. Pokoknya mau kuliah dulu aja. Tapi anaknya nggak mau,” beber Suparno.
Suparno bahkan akan bekerja lebih keras untuk mencari-carikan uang, agar anaknya tersebut bisa kuliah dan menjadi sarjana.
Sebagai tambahan informasi, Suparno sendiri saat ini bekerja sebagai sopir truk muatan lintas provinsi.
Ia menjadi sopir sebenarnya sudah sejak tahun 1988. Namun di masa itu, ia hanya merupakan sopir pick up untuk area Jogja saja.
Lalu pada 1991, Suparno beralih menjadi sopir bus pariwisata, hingga akhirnya berhenti sejak pandemi Covid-19 tengah parah-parahnya pada 2020 silam.
“Bus nggak bisa jalan, to. Pariwisata mandek. Nggak ada pemasukan. Terus akhirnya tahun 2021 akhir mulai jadi sopir truk,” terangnya.
Sayangnya, sang anak yang hobi othak-athik motor tak mau melanjutkan kuliah setelah lulus dari SMK. Kata Suparno, anaknya tersebut ingin membuka bengkel.
“Alhamdulillah, bengkelnya lancar. Terus nikah, punya anak satu ini,” ucap Suparno.
Usaha bengkel sang anak memang menghasilkan cuan. Namun, pada awalnya Suparno juga ingin agar sang anak memiliki nilai lebih jika menjadi sarjana.
Suparno memang bangga karena sang kenponakan hari ini wisuda di UGM. Namun, ia tetap tak mempermasalahkan keputusan anaknya sendiri yang memilih dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Kendatipun di satu sisi juga seringkali muncul rasa eman.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News