4 Tradisi Ospek yang Dianggap Tak Perlu Ada Lagi bagi Mahasiswa Baru, Tak Nemu Apa Pentingnya

4 Tradisi Ospek Kampus yang Dianggap Mahasiswa Surabaya dan Semarang Sudah Tidak Perlu Ada Lagi MOJOK.CO

Ilustrasi - 4 tradisi ospek kampus yang menurut mahasiswa Surabaya dan Semarang sudah tidak diperlukan lagi. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagaimanapun ospek tetap menjadi bagian penting untuk mengenalkan mahasiswa baru terhadap kehidupan kampus. Namun, ada beberapa tradisi ospek yang menurut beberapa mahasiswa sebaiknya tak perlu dipakai lagi. Misalnya yang diungkapkan oleh mahasiswa kampus Surabaya dan Semarang berikut.

***

Belum lama ini, ospek UGM atau yang memiliki nama resmi PPSMB Pionir mendapat respons sangat positif oleh para mahasiswa baru.

Saya mencoba mengetik “ospek UGM” di kolom pencarian X. Hasilnya, mayoritas menyebut bahwa ternyata ospek UGM terasa menyenangkan dan humanis. Tak menyeramkan yang mereka bayangkan atas dasar seringnya ospek menjadi semacam ajang senior “menindas” junior.

“Maaf lebay, tapi aku suka deh gimana Pionir ini konsepnya berjalan untuk merangkul gamada supaya gak takut sama dunia kuliah yang mengerikan itu. Bener-bener di-treat dengan baik sama kakaknya especially cofass dan pemandu fakultas,” tulis seorang warganet.

“Ospek UGM tuh ospek paling friendly itu ASLI BUKAN SCAM,” sambung yang lain. Selebihnya, rata-rata menyuarakan keseruan ospek di UGM.

Namun, di luar para mahasiswa baru UGM tersebut, ada beberapa mahasiswa yang menyebut kalau ada tradisi-tradisi dalam ospek di universitas yang sebaiknya ditiadakan karena bikin tak nyaman.

Bikin name tag dari kardus

Misalnya keluh kesah dar Agustin (19), seorang mahasiswa di salah satu kampus negeri di Surabaya. Ia mengikuti ospek di kampusnya pada 2022 silam.

Agustin meresahkan perihal tugas dari para senior kampus untuk membuat name tag yang ia sendiri bingung apa urgensinya. Kalau sebagai tanda pengenal, tentu saja ia tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika name tag tersebut harus menggunakan kardus.

“Dulu di kampusku, itu njelimet banget. Dari kardus atau kertas asturo gitu, terus bentuknya harus aneh-aneh. Misal bentuk bintang, bentuk apa lagi lah yang rumit. Bahkan harus detil pula, dalam membuat itu berapa cm-nya dan lain-lain. Kalau nggak sesuai, bisa disobek,” keluh Agustin, Rabu (7/8/2024).

“Maksudku, apa urgensinya membuat yang serumit itu untuk sekadar menulis nama?,” sambung mahasiswa semester 5 kampus Surabaya tersebut.

Menurutnya, konsep semacam itu sebenarnya merupakan konsep usang. Di era sekarang, seharusnya senior berpikir lebih kreatif perihal pembuatan name tag. Jangan hanya terpaku pada kardus yang kemudian dibentuk-bentuk.

“Kalau mau simpel ya sudah bikin id card biasa aja. Tapi itu diserahkan ke si mahasiswa, mau kreasinya bagaimana. Misalnya ada yang mau bikin pakai Canva,” beber Agustin.

Maksudnya, kreativitas melalui perangkat digital. Sehingga hasilnya pun sekeren yang para mahasiswa baru inginkan. Alhasil berangkat ospek kesannya tidak “norak” karena berkalung kardus atau kertas asturo tadi.

Tradisi ospek pakai hitam putih sudah nggak relevan

Lebih lanjut, Agustin juga mengaku tak bebgitu sreg dengan tradisi ospek—sejauh penemuannya—yang mengharuskan mahasiswa seragam dalam berpakaian: seluruhnya memakai kemeja putih dan bawahan hitam.

“Penyeragaman itu kan, kalau omong kritis, bagian dari upaya merampas hak berekspresi. Dan itu tradisi lama juga,” tutur Agustin.

Oleh karena itu, menurutnya, kenapa nggak dibebaskan aja? Sebagaimana nantinya mahasiswa kalau berangkat ngampus ya dengan pakaian bebas (tentu dalam koridor norma sosial yang berlaku).

Kalau takut tidak enak dipandang karena terkesan blonteng-blonteng (warna busana yang berbeda-beda), cukup disiasati dengan mengenakan jas almamater kampus.

Lebih-lebih, dalam pengalamannya ospek, Agustin juga tak menemukan urgensi apa dari penggunaan seragam hitam putih selain upaya penyeragaman semata.

Latihan demonstrasi saat ospek

Keluhan lain saya dengar dari Harris (24), alumnus salah satu kampus negeri Surabaya yang menjalani ospek pada 2018 silam.

Pada hari kedua ospeknya (dari total empat hari), Harris merasa kaget karena tiba-tiba selepas istirahat makan siang para senior mengumpulkan mahasiswa baru agar berkumpul untuk melakukan konsolidasi aksi. Begitu kira-kira narasi yang para senior bawa.

Baru ia tahu kemudian kalau para senior tersebut ternyata merupakan petinggi-petinggi ormek di kampusnya tersebut.

“Iya tahu kalau itu anggap saja pengenalan. Bahwa kehidupan kampus nanti tak lepas dari demonstrasi semacam itu. Tapi masalahnya waktu itu nggak jelas aja isunya yang mau didemokan di depan rektorat. Demo soal fasilitas ospek seingatku. Perasaan, nggak ada masalah juga soal itu sebenarnya,” tutur Harris.

Terlebih, di tengah-tengah demonstrasi tersebut sempat terjadi ketegangan yang nyaris memicu aksi kurang terpuji dan cenderung anarkis.

“Ada senior yang berteriak pakai kata-kata kasar. Terus ada juga senior yang sok jago maju buat ngajak gelut. Begitu-begitulah,” jelas Harris.

Bagi Harris, hal semacam itu sudah tidak bisa lagi dimasukkan dalam materi ospek. Demonstrasi di satu sisi memang penting. Tapi, bagi Harris, sudah tidak zamannya lagi demonstrasi dengan huru-hara.

Harusnya senior bisa memberi contoh demonstrasi yang lebih menggambarkan seorang civitas akademika kampus. Misalnya bagaimana si senior tersebut berdialog secara argumentatif—syukur-syukur secara akademik intelektual—pada pihak yang didemo.

“Hal itu malah akan membuat mahasiswa tertarik buat masuk organisasi. Entah ormek atau organisasi intra ya. Karena melihatnya, keren ya mereka (para senior yang ikut organisasi). Nalar akademiknya mengagumkan, nggak cuma modal anarkisme dan kata-kata kasar,” ujar Harris.

Sejauh pandangan Harris, setidaknya di kampusnya sendiri, tingkat minat dan kepercayaan mahasiswa pada aktivis atau organisatoris kampus Surabaya tempatnya kuliah cenderung menurun. Salah satu sebabnya disinyalir karena organisasi di kampus, khsusunya ormek, tidak menjawab kebutuhan para mahasiswa perihal aktivisme yang bermartabat.

Memaksakan bikin koreografi tapi nggak punya ide

Sementara Mustakim (23) tak begitu sreg dengan kampus yang saat ospek terkesan memaksakan untuk membuat koreografi, padahal tidak punya perencanaan matang.

Mustakim kuliah di salah satu kampus kecil dan tak terlalu diperhitungkan di Semarang. Ia ospek persisnya pada 2019 silam. Pada masa itu juga masih gemar-gemarnya kampus di berbagai daerah membuat koreografi yang kemudian akan difoto atau direkam dari udara.

Beberapa kampus di Semarang pun tak luput ramai-ramai membuat koreografi. Termasuk juga kampusnya.

“Nah, saat itu aku ingat juga ada beberapa kampus kecil yang ikutan. Tapi mentok cuma bikin tulisan nama kampus aja. Nggak lebih. Termasuk kampusku,” tutur Mustakim.

Mustakim agak “terganggu” lantaran ada beberapa teman dari kampus Semarang lain yang menyindir halus. Menyebut bahwa koreografi saat ospek di kampus Mustakim sangat estetik dan rumit. Padahal kenyataannya hanya tulisan nama kampus belaka.

Berbeda misalnya di kampus temannya atau kampus-kampus besar lain (baik di Semarang atau di kota-kota lain) yang bikin koreografi estetik, yang kemudian membuatnya viral di media sosial hingga banjir pujian.

“Aku bilangnya bukan nggak usah ada ya. Tapi jangan memaksakan. Misalnya memang nggak punya ide atau punya ide tapi kemungkinan terkeskusinya dengan baik kok sulit, ya nggak apa-apa nggak ada aja,” ucap alumnus kampus Semarang tersebut.

“Karena kalau dipaksakan, jatuhnya ya kayak kasusku, malah dihina. Walaupun secara halus ya,” tutupnya.

Poin-poin di atas adalah tradisi ospek yang di satu sisi ternyata membuat beberapa mahasiswa nggak nyaman dan dirasa tidak perlu ada lagi. Tapi bukan serta merta menganggap bahwa ospek tidak penting sama sekali. Mojok sedang mencoba mengulik sudut pandang dari para dosen dan aktivis untuk merespons anggapan perihal beberapa tradisi ospek yang dianggap tidak diperluakan lagi.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA: 4 Persiapan agar Tak Jadi Sarjana Pengangguran ala UNAIR Surabaya, Kalau Lulus Nganggur biar Nggak Salahkan Ijazah Kampus

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

 

 

Exit mobile version