Peserta UTBK di UNY mengaku tak mendapat restu orang tua buat kuliah. Ia pun memilih diam-diam saat mendaftar sampai mengikuti tes karena yakin tak bakal mendapat izin. Recehan sisa THR lebaran kemarin jadi modalnya buat bayar biaya pendaftaran, sekaligus jadi uang sakunya selama di Jogja.
Sore itu, sekitar pukul 16.30 WIB, ratusan peserta UTBK keluar dari gedung Digital Library UNY. Ada yang langsung pulang, sebagian lagi masih menunggu jemputan, dan tak sedikit yang masih berada di area kampus untuk bercengkerama dengan peserta yang lain.
Saat sedang berkeliling, saya berjumpa dengan Andini (18), salah satu peserta UTBK yang baru saja berpisah dengan teman-temannya.
“Taksi online mereka sudah datang, Mas, jadi balik duluan ke kos. Kalau aku masih mau keliling-keliling UNY dulu, soalnya baru pertama kesini,” ujarnya kepada Mojok, Sabtu (4/5/2024) lalu.
Andini adalah peserta UTBK asal Purworejo, Jawa Tengah. Ia memilih UNY sebagai lokasi tes karena memang sangat berkeinginan kuliah di sini.
Meski demikian, Jogja sama sekali baru baginya. Ia tak memiliki satu pun kerabat di kota ini. Alhasil, selama di Jogja, Andini ngekos bersama kenalan baru yang ia jumpai di grup Telegram.
“Ngekos 2 hari, sekamar bertiga di sekitaran UGM. Kebetulan memang kami peserta UTBK di UNY sini,” jelasnya.
Setelah lama mengobrol, saya akhirnya juga baru tahu kalau Andini mendaftar UTBK modal nekat. Ia mengaku tak dapat restu dari orang tuanya. Keberangkatannya ke Jogja pun juga nglimpe alias diam-diam. Mulai dari uang pendaftaran sampai akomodasinya, ia usahakan sendiri.
Mengaku nekat pilih UNY, uang kuliah bakal dipikir belakangan
Andini nyaris gagal berangkat ke UNY. Selain nggak dapat restu orang tua–yang memintanya langsung kerja saja–ia sama sekali tak pegang duit. Sisa-sisa THR dari saudara saat lebaran kemarin, sudah dia pakai buat bayar biaya UTBK sebesar Rp200 ribu.
“Jadi waktu mau ke Jogja bingung juga, Mas. Motor gantian sama adik, kalau minta uang ke ortu buat bus dan kos, pasti mereka curiga. Padahal duit pegangan tinggal sedikit,” kata Andini.
Untungnya, dalam grup UTBK UNY di Telegram, ada peserta lain yang mengajak joinan kos. Satu kamar bakal mereka tempati bersama dengan uang sewanya patungan. Jadi, pengeluaran bisa lebih hemat.
Akhirnya, Andini berkenalan dengan peserta lain yang mau joinan kos. Mereka memutuskan sewa kos harian di sekitaran UGM dengan biaya sewa Rp195 ribu sehari dibagi tiga orang.
“Punya pegangan 150 ribu moga saja cukup buat kos, transport bus, sama makan selama di sini, Mas,” ungkapnya.
Saya pun jadi heran, kalau buat ikut UTBK saja cukup struggle, lantas bagaimana cara dia membiayai kuliahnya nanti seandainya diterima di UNY. Orang tuanya pun juga tak memberinya lampu hijau buat kuliah.
“Belum kepikiran sih, Mas. Mungkin bakal cari beasiswa atau cari sampingan kerja. Sekarang bagaimana dulu caranya lolos UNY.”
Dalam UTBK kali ini, dua jurusan utama yang pilih semuanya dari UNY. Yakni S1 Administrasi Publik dan S1 Pendidikan Kewarganegaraan.
Mau tak mau kudu kuliah buat menghindari nikah muda
Ada alasan kuat mengapa Andini kekeuh buat kuliah. Selain karena memang sejak SMA sangat berambisi masuk UNY, perempuan asal Purworejo ini mengaku tak mau nikah muda.
Dengan demikian, mau tak mau, kuliah jadi satu-satunya cara buat menghindari hal yang tak ia inginkan itu.
“Pas baru lulus SMA, ortu berulang kali sudah bilang, ‘halah, mending langsung kerja, yang deket-deket saja sambil nunggu ada yang nikahin’. Sejak saat itu aku deg-degan banget, soalnya teman-teman satu angkatan beberapa sudah ada yang sebar undangan nikah,” jelasnya.
Di tempat Andini tinggal, fenomena nikah muda memang masih jamak ditemui. Kebanyakan adalah perempuan. Biasanya, setelah lulus sekolah, mereka langsung berumah tangga.
“Aku nggak mau nikah muda. Masih pengin nikmati masa muda,” tegasnya.
Secara umum, angka nikah muda di Indonesia memang masih sangat tinggi. Menurut data UNICEF, per 2023 lalu ada sebanyak 1,4 juta pengantin anak. Ini menempatkan Indonesia sebagai peringkat 8 dunia dan ke-2 di ASEAN dalam hal pernikahan anak.
Perbandingannya, 1:9 anak perempuan menikah di bawah umur 21 tahun. Sedangkan untuk anak laki-laki perbandingannya 1:100.
Padahal, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Sonny Dewi Judiasih, nikah muda dapat menimbulkan dampak negatif, baik dalam aspek pendidikan, kesehatan, psikologis, dan sosial.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News