Mahasiswa Kedokteran asal Jakarta memilih buat drop out (DO) dari kuliahnya karena takut memiliki pasien. Kuliah mahal-mahal sampai ratusan juta, kini dia memutuskan buat kerja di restoran saja meskipun tak mendapat restu orang tua hingga dapat ancaman diusir dari rumah.
***
Roni* (28), narasumber Mojok dalam liputan “Cerita Mahasiswa Kedokteran Surabaya Lulus Kuliah Enggak Jadi Apa-apa, Susah Kerja Karena Akreditasi Jurusan C“, bercerita ada banyak teman kuliahnya yang tak kuat belajar kedokteran.
Persoalannya macam-macam, meski kebanyakan mengaku kuliah kedokteran karena terpaksa; cuma menuruti kemauan orang tua. Alhasil, mereka memilih berhenti di tengah jalan, atau kalau lulus sekalipun memutuskan tak berkarier di dunia kedokteran.
Namun, kisah paling menarik datang dari salah satu temannya bernama Indra* (28). Menurut cerita Roni, Indra memilih mengundurkan diri dari kuliah kedokteran di kampusnya pada semester ke-6 karena takut memiliki pasien.
“Kita dulu satu kelas, tapi saya kuliahnya sampai selesai sedangkan Indra enggak. Seingatku dia DO semester 6,” kata Roni, menceritakan kisah temannya itu.
Berbekal infromasi dari Roni, saya pun berhasil terhubung dengan Indra. Eks mahasiswa kedokteran salah satu PTN di Jawa ini membenarkan cerita yang Roni sampaikan. Bahkan, ia mengaku kalau sudah sejak semester 5 kuliah ogah-ogahan dengan harapan nilai jeblok dan akhirnya di-DO.
“Sudah sejak semester 5 enggak niat kuliah. Jadi sembarangan aja biar nilai hancur-hancuran kemudian di-DO,” kisah Indra saat Mojok hubungi pada Jumat (5/4/2024) pagi.
“Tapi karena enggak di-DO, yaudah akhir semester berikutnya mutusin buat mengundurkan diri aja,” sambungnya.
Kuliah kedokteran ratusan juta, tapi memilih berhenti karena takut punya pasien
Indra mengakui, satu-satunya alasan dia masuk kedokteran adalah tuntutan orang tua. Sejak awal, dia tak berminat menjadi dokter. Namun, karena sejak SMA sudah “dikondisikan” buat kerja jadi dokter, tak ada opsi lain selain memilih jurusan kedokteran pada SBMPTN 2014 (sekarang SNBT).
Pun, totalitas orang tuanya dalam mendorong agar anaknya bisa menjadi dokter tak pernah dia ragukan. Buktinya, duit puluhan juta yang harus dibayar per semesternya tetap diusahakan–meski sejatinya orang tua Indra tak tajir-tajir amat.
“Orang tua memang berada, cuma enggak yang kaya banget apa aja bisa kebeli. Makanya kuliah puluhan juta per semester itu hitungannya mahal banget, tapi mereka tak masalah karena memang mau aku jadi dokter,” kata eks mahasiswa kedokteran itu.
Sayangnya, orang tua Indra tak pernah menyadari dua hal yang sudah pasti menghambat cita-cita anaknya tersebut. Pertama, soal passion sang anak yang sudah jelas tak minat di dunia kedokteran. Sayangnya, sejak awal orang tua tak pernah bertanya Indra mau jadi apa. Semua kudu sesuai keinginan mereka.
Kedua, Indra “takut memiliki pasien”. Dalam artian, karena merasa bukan passion-nya, Indra khawatir pekerjaannya nanti berjalan setengah hati. Ia tak siap berhadapan dengan tanggung jawab besar, apalagi yang berhubungan dengan nyawa.
“Aku pernah punya kenalan dokter, gagal menyembuhkan pasien sehingga meninggal. Berhari-hari menyalahkan diri sendiri sampai stres. Aku enggak siap mengalami kondisi kayak begitu,” akunya.
Baca halaman selanjutnya…
Orang tua marah, hidup dalam ancaman terusir dari rumah
Hidup dalam bayang-bayang usiran orang tua
Saat Indra memutuskan untuk berhenti kuliah kedokteran, orang tuanya marah besar. Terutama ayahnya, yang pada saat itu sampai mengancam akan mengusirnya dari rumah.
“Aku mau dicoret dari KK. Barang-barangku diminta, ATM, kartu kredit, sampai kunci motor kena sita ayah. Berhari-hari aku numpang hidup di kos teman kuliah,” jelasnya.
Eks mahasiswa kedokteran ini amat memaklumi kemarahan ayahnya. Namun, mau bagaimana lagi, ia merasa nasib memang tak akan pernah membawanya menjadi seorang dokter. Berkali-kali ia memberi penjelasan tapi tak pernah didengar.
Memang, beberapa bulan setelah kejadian sikap ayahnya mulai melunak. Tapi hubungan mereka tak bisa seperti sediakala. Bahkan, hingga Indra memutuskan kuliah jurusan manajemen di salah satu PTS Jakarta hingga lulus 2022 lalu, sekalipun ia tak pernah lagi mengobrol empat mata dengan sang ayah.
Indra kini bekerja sebagai manajer di salah satu restoran di Jakarta. Memang ini pekerjaan yang tak pernah diharapkan orang tuanya, tapi setidaknya Indra menikmatinya.
“Takdirku mungkin memang di sini. Karena kalau di kedokteran ada aja halangannya. Kalau sekarang walaupun enggak ada restu, tapi karier lancar-lancar aja,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News