Kecenderungan “adu outfit” di kalangan mahasiswa belakangan membuat seorang mahasiswa baru miskin penerima KIP Kuliah nyaris memilih DO. Pasalnya, dia makin merasa ciut dengan penampilannya yang sekadarnya. Merasa mengalami diskriminasi sosial.
***
Outfit pada awalnya bukan persoalan yang mengganggu bagi Mudzil (20) ketika awal menjadi mahasiswa baru di sebuah universitas negeri di Surabaya. Biaya pun tidak. Sebab, dia beruntung menerima beasiswa KIP Kuliah.
Yang Mudzil khawatirkan adalah: Apakah nanti dia bisa bersaing dalam konteks intelektual? Apakah nanti dia bisa konsisten meraih IPK selalu di angka 3? Sebab, yang Mudzil tahu, dunia kuliah adalah dunia adu gagasan. Pertemuan orang-orang pintar denga berbagai level.
Kemeja lusuh saat PBAK
Mudzil sebenarnya mulai merasa agak ciut ketika momen Pengenalan Budaya Akademik (PBAK) pada 2023 lalu. Di antara ribuan mahasiswa baru yang kesemuanya berkemaja putih, Mudzil menjadi mahasiswa dengan kemeja putih lusuh.
Hanya saja, dia tidak terlalu ambil pusing karena toh masih ada beberapa mahasiswa yang tampak berkemaja putih lusuh, sama seperti dirinya.
“Aku juga langsung kenal dengan beberapa orang. Teman sejurusan. Ada mahasiswa KIP Kuliah juga. Jadi aku merasa ada yang senasib,” tuturnya, Senin (19/5/2025) malam WIB.
Mahasiswa KIP Kuliah jadi ceng-cengan karena outfit
Pada awal perkuliahan, Mudzil merasa percaya diri. Lebih-lebih, dia termasuk salah satu mahasiswa baru yang cukup menonjol di kelasnya. Dia aktif bertanya dan tampak betul menguasai materi tiap kali presentasi.
Bahkan, kalau ada tugas kelompokpun, teman sekelompoknya selalu memercayakan konsep atau pengerjaan tugas pada Mudzil.
Namun, seiring waktu, setelah melewati satu semester, beberapa teman kelasnya mulai kebablasan menyinggung soal outfit yang Mudzil kenakan.
“Cok bajumu loh kayak baju 90-an.”
“Sekarang ada yang namanya Uniqlo. Biar kamu nggak kayak orang tua pakai batik mulu.” Begitulah ucapan teman-temannya.
Mudzil mengakui, dia memang kerap memakai kemeja seadanya. Kemeja yang dia beli adalah kemeja murah-murahan di toko pakaian. Dia juga terbilang kelewat sering memakai batik, karena hanya itulah pakaian yang menurutnya bagus dan layak untuk kuliah.
“Tapi mereka memang lebih mbois. Pakai pakaian bermerek. Gayanya skena. Sepatunya juga. Aku kan sepatu hitam New Era sejak zaman SMA,” ucap mahasiswa KIP Kuliah itu.
Jadi tertawaan saat nongkrong di coffee shop
Seumur hidup, Mudzil memang tidak pernah nongkrong di coffee shop. Pilihan nongkrongnya tentu saja di warung kopi yang menjual kopi di harga Rp3 ribu-Rp4 ribuan.
Baru ketika makin akrab dengan teman-teman kuliahnya itulah dia mencicipi ngopi di sebuah coffee shop di Surabaya. Itupun berlangsung tidak menyenangkan.
“Ya karena ngopinya habis magriban, di jam-jam setelah kuliah, aku masih pakai batik. Aku nyusul mereka. Langsunglah jadi bahan tertawaan,” kata Mudzil.
“Asu og kamu. Ngopi pakai batik kayak kondangan.”
“Yang modis dikit Lek, kalau gini terus nggak ada cewek mau sama kamu.” Begitu ucapan-ucapan yang Mudzil terima.
Mudzil hanya meringis. Memesan kopi. Lalu pura-pura antusias menyimak obrolan teman-temannya. Sementara batinnya berkecamuk.
Jarang kuliah dan nyaris pilih DO
Awalnya Mudzil memang mencoba tutup telinga. Tapi, lambat laun dia merasa nyesek juga. Kapasitas pengetahuannya ternyata terdegradasi hanya karena persoalan outfit.
Seiring itu, dia mulai jarang mendapat ajakan nongkrong. Itu membuatnya merasa terdiskriminasi.
“Semester 2 semester 3 itu mulai bolong-bolong (kuliah). Bukan karena males, tapi malu aja,” ungkapnya.
Sering ketika bangun pagi dan bersiap hendak berangkat ke kampus, dia menatap cermin lekat-lekat. Mengamati dirinya dari atas hingga bawah. Lama menimbang-nimbang pakaian yang dia kenakan.
Lalu keputusannya, dia memilih kembali ke kasur, meringkuk sembari meratapi nasib. Kalau tidak ya memacu motor bututnya ke warung-warung kopi kecil.
“Warung kopi terasa lebih tulus. Nggak ada orang adu outfit di sana. Nggak ada penghakiman. Adanya orang-orang yang tulus menjalani hidup dan takdir masing-masing. Orang-orang yang berusaha bahagia atas hal-hal sederhana dalam hidup mereka,” beber mahasiswa KIP Kuliah itu.
“Sempet juga berpikir, berhenti kuliah aja (DO) lah. Rasanya nggak diterima apa adanya soalnya,” ucapnya.
Mahasiswa KIP Kuliah tak mau “salahgunakan” uang
Atas “diskriminasi sosial” gara-gara adu outfit, sebagai mahasiswa KIP Kuliah, Mudzil sempat terbersit menggunakan uang beasiswanya untuk memoles diri: Membeli outfit dan barang-barang bermerek terkenal agar dia tidak lagi jadi bahan ceng-cengan.
“Bahkan sempet juga pengin kredit iPhone. Soalnya waktu itu mereka sudah adu iPhone. Sementara hp-ku hp Rp2 jutaan. Itu ya beli hasil nabung,” tutur Mudzil.
Namun, Mudzil mencoba meneguhkan kembali niatnya kuliah. Bukan untuk gagah-gagahan outfit dan atribut fisik lain. Itu hanya artifisial belaka. Baginya, pembuktiannya—seseorang sukses atau tidak—bukan sekarang, tapi kelak.
“Aku nggak bergantung sama orangtua. Jadi uang KIP Kuliah itu bener-bener kugunakan untuk hidup dan keperluan yang primer banget. Kalau outfit, nomor sekian lah,” tegasnya.
Apalagi di saat-saat itu dia makin sering main di kosan salah satu mahasiswa yang dia kenal sejak PBAK. Bukan teman sejurusan, tapi masih satu fakultas.
Teman Mudzil itu bernasib kurang lebih sama seperti Mudzil: penerima KIP Kuliah, berasal dari keluarga miskin, dan kuliah dengan outfit seadanya. Tapi teman Mudzil itu sudah memutuskan “tak punya malu” jika outfit-nya dianggap lusuh dan sejenisnya.
Karena baginya, kuliah bukan ajang adu outfit. Tapi kalau memang mau bersaing, ya bersainglah secara intelektual.
“Gara-gara dia aku menemukan gairah kuliah lagi. Aku ngurang-ngurangi kumpul sama temen sekelas yang suka adu outfit. Kalau jadi ceng-cengan ya kubalas guyon,” tutur Mudzil.
“Selebihnya aku lebih sering nongkrong sama temenku sesama mahasiswa KIP Kuliah. Kami bisa diksusi banyak hal. Tentang ilmu, tentang cita-cita, dan tentang hidup. Selain lebih produktif, itu lebih membuatku percaya diri dan bersyukur,” tutupnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cerita Mahasiswa Unair Tinggal di Gang Sempit di Tengah Kemewahan Surabaya, Makan dengan Bau Comberan hingga Mandi Air Kuning atau liputan Mojok lainnya Liputan
