Nyatanya, gelar sarjana yang sedianya diimpikan bakal menjadi bekal untuk membahagiakan orangtua, malah tidak lebih dari lembaran kosong tanpa guna. Label lulusan universitas tak membuat seseorang mudah mencari kerja. Sehingga terpaksa harus terus menjadi beban orangtua karena lama jadi pengangguran.
***
Isu sarjana susah cari kerja alias pengangguran sebenarnya bukan isu lama di RI. Kendati belakangan ini terdengar begitu riuh usai rilisnya data BPS yang menyebut sebanyak 1 juta lulusan universitas menjadi pengangguran dan membeludaknya peserta job fair di sejumlah daerah.
Dalam situasi seperti ini, narasumber Mojok hanya bisa tercenung merutuki diri sendiri. Mengutuk negara toh aparatnya tetap bebal juga.
Sarjana pengangguran: hari-hari seperti gombal
Menjadi lulusan sebuah universitas di Solo pada 2024, Juna (23), bukan nama asli, mengaku sampai saat ini masih menjadi sarjana pengangguran.
Juna bukannya tanpa usaha. Sudah tak terhitung lamaran kerja dia lemparkan ke berbagai perusahaan di berbagai daerah. Tapi tak kunjung ada pertanda baik—sekalipun hanya sekadar panggilan wawancara kerja.
Juna yang frustrasi mengistilahkan dirinya seperti gombal (kain lap atau pel): klumbrak-klimbruk. Padahal, sejak memutuskan kuliah, Juna sudah memimpikan bakal bisa kerja kantoran. Seminimal-minimalnya menjadi ASN.
Saat kuliah orangtua pontang-panting cari biaya
“Bapakku satpam hotel. Ibuku guru SMP, tapi memang sudah ASN. Aku punya dua adik yang masih SMP dan SMA. Jadi kebayang bagaimana mereka pontang-panting waktu aku kuliah dulu,” ungkap Juna, Sabtu (19/7/2025).
Saat kuliah Juna mengaku mendapat UKT yang terbilang tinggi. Sementara dia agak kesulitan mencari beasiswa. Sehingga biaya hidup dan kuliahnya ditanggung penuh oleh orangtua.
Yang kini Juna sesali, kenapa dulu dia tidak “berlatih” bekerja saja sambil kuliah? Biar beban biaya orangtuanya berkurang. Dulu dia hanya fokus mengejar gelar sarjana agar bisa lulus tepat waktu.
Setelah itu, label lulusan universitas yang melekat pada dirinya akan dia gunakan untuk mencari pekerjaan formal sebagaimana yang dia impikan. Dari situlah dia berniat untuk membantu keuangan di rumah: mengingat dua adiknya masih sekolah.
“Dulu ibu sampai bikin jajanan, dijual di sekolah, buat tambah-tambahan,” ujar Juna.
Baca halaman selanjutnya…
Pas lulus bukannya bahagiakan orangtua malah makin merepotkan minta dicarikan kerja
Lulusan universitas jadi sarjana pengangguran, orangtua pontang-panting carikan pekerjaan
Tak sekali pun orangtua Juna menyinggung situasi Juna yang menjadi sarjana pengangguran. Bagi orangtua Juna, toh juga baru setahun lulus.
Lagipula, situasi susah cari kerja tidak hanya Juna yang mengalami. Tapi mayoritas masyarakat Indonesia kini mengaku hidup makin serba susah.
“Tapi aku tahu itu omongan untuk menenangkan saja. Aslinya mereka juga prihatin dengan kondisiku,” kata Juna.
Juna menyimpulkan demikian karena dia tahu, orangtuanya diam-diam mencarikannya pekerjaan melalui beberapa kenalan. Walaupun hasilnya tetap saja nihil.
“Di hotel kapan lalu ada posisi jadi petugas kebersihan. Tapi pas baru mau nembung ke pihak hotel, kata bapak, sudah terisi,” kata Juna.
Begitu juga sang ibu yang sempat menawari Juna bekerja sebagai staf TU di SMP tempat sang ibu mengajar. Hanya saja, ibu Juna urung menyarankan Juna mengambil karena gajinya yang jauh lebih rendah dari mahalnya label lulusan universitas.
Kini Juna masih terjebak dalam kamarnya. Hari-hari memantau loker demi loker. Jika dulu dia agak pemilih, kini apapun loker yang tersedia akan dia kirimi lamaran pekerjaan.
Lulusan universitas jadi simbol kegagalan (1)
Situasi serupa juga dialami Ratih (26), bukan nama sebenarnya, lulusan sebuah universitas di Malang, Jawa Timur.
Lulus pada 2021, Ratih dengan gelar S. Hum-nya sempat mengejar banyak potensi profesi yang selaras dengan jurusan yang dia ambil. Sayangnya, hasilnya nihil.
Akhirnya, karena tak tega dengan sang anak yang menjadi sarjana pengangguran, bapak Ratih yang merupakan guru ASN SMA mencari-carikan lowongan ke sekolah tempatnya mengajar. Ratih pun ikut saja, daripada tidak kerja sama sekali.
“Nggak enak juga sama bapak sebenarnya. Dulu waktu aku kuliah dia susah payah. Pokoknya harus menyediakan uang tiap tanggal kiriman dan pas bayar UKT. Eh setelah jadi sarjana, masih tetap merepoti beliau, beliau yang harus mencari-carikan kerja,” ungkap Ratih.
Tak pelak jika Ratih merasa gagal. Label lulusan universitas yang dia sandang bahkan tetap saja gagai dia gunakan untuk mendaftar ASN hingga PPPK.
Jadi simbol kegagalan (2)
Ratih tak bertahan lama ikut mengajar di sekolah. Dia memutuskan berhenti karena merasa: pekerjaannya tidak mengurangi beban apapun dari sang bapak.
Bayangkan, berada di sekolah dalam enam hari seminggu, dari pagi sampai sore, tapi sebulan dia hanya menerima upah Rp300 ribu. Ratih sebenarnya menyadari, memang begitulah nasib guru honorer di Indonesia.
Akan tetapi, Rp300 ribu itu nominal yang terlampau kecil bahkan untuk sekadar mencukupi diri sendiri. Alhasil, kendati sudah ada pemasukan, nyatanya dia tetap masih harus meminta uang dari bapaknya untuk kebutuhan.
“Ada lah gosip-gosip tetangga, kalau lulusan universitas itu bakal jadi sarjana pengangguran. Cuma buang-buang uang. Jadi banyak orangtua di tempatku nggak pengin anaknya kuliah. Lulus SMK kalau bisa langsung cari-cari kerja,” ucap Ratih.
Karena nyatanya memang demikian. Banyak lulusan SMA/SMK di tempatnya yang lulus sekolah bisa bekerja. Seminimal-minimalnya menjadi karyawan minimarket. Tapi gajinya tentu jauh lebih mendingan ketimbang guru honorer yang kebanyakan diisi oleh fresh graduate perguruan tinggi.
Kerjaan jadi tukang sapupun diambil
Merujuk laporan Pemerintah Provinsi Jakarta, saking susahnya sarjana mencari kerja, kini banyak lulusan universitas yang melamar sebagai petugas prasarana dan sarana umum (PPSU). Menjadi pasukan oranye alias tukang sapu.
Untuk pertengah 2025 ini, Pemprov Jakarta sebenarnya membuka kuota sebanyak 1.100 untuk disebar di beberapa tempat. Namun, nyatanya pendaftarnya membeludak lebih banyak dari itu.
Bahkan, kendati syarat jenjang pendidikan untuk mendaftar minimal ijazah SD, tapi pendaftar dengan ijazah S1 pun tak kalah banyak.
Ini adalah gambaran betapa susahnya mencari pekerjaan bagi lulusan universitas di masa sekarang—atau mungkin sudah sejak dulu label lulusan universitas di Indonesia sebenarnya tidak menjamin apapun, selain sekadar bukti pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Lulusan Universitas Jadi Sarjana Pengangguran, Langsung Dituntut Bapak Ganti Rugi Biaya Besar Semasa Kuliah sampai Hidup Kebingungan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
