Perasaan Adib* (25) tak menentu. Di satu sisi, hanya setengah hatinya yang niat buat lanjut kuliah. Tapi di sisi lain, sangat tak mungkin bagi mahasiswa Malang ini menolak hasil SNBP (dulu SNMPTN) karena sekolahnya bisa kena sanksi.
Adib, lolos SNBP di Jurusan Bahasa dan Sastra Perancis Universitas Brawijaya (UB) Malang pada 2017 lalu. Hasil ini sebenarnya sangat di luar dugaan, mengingat dalam menentukan pilihan jurusan maupun kampus, ia cuma ngawur. Lolosnya pun modal hoki.
Memilih Sastra Perancis UB karena tangan usil
Sebenarnya, Adib tak cukup percaya diri buat lanjut kuliah. Di SMA-nya yang berada di Cilacap, Jawa Tengah, ia termasuk siswa yang biasa-biasa saja.
Nilainya tak pernah yang benar-benar bagus. Peringkat kelasnya pun juga mentok di 10 besar. Ibarat kata, kalau mau disebut pintar masih belum, tapi kalau bodoh ya enggak juga.
Namun, pada SNBP 2017 ia memang punya kesempatan buat mengikuti seleksi penerimaan masuk PTN lewat jalur tanpa tes. Ia masih ingat betul, karena kuota siswa yang menenuhi syarat (eligible) SNBP di sekolahnya cukup banyak, maka Adib yang peringat 9 di kelas saat Ujian Sekolah pun bisa ikut daftar.
“Guru BK ngasih usul, pilih satu jurusan yang paling diharapkan itu di pilihan pertama, kalau bisa masih satu provinsi. Nah, pilihan kedua ini yang beda provinsi, kalau bisa prioritasnya gak sebesar yang pertama,” kenang Adib, menceritakan ulang awal kisahnya mendaftar SNBP UB pada Mojok, Selasa (3/3/2024).
Akan tetapi, Adib iseng. Ia justru membalik rekomendasi dari guru BK tadi. “Aku milih Sastra Perancis UB di pilihan pertama, dan Pendidikan Bahasa Inggris UNY di pilihan kedua. Pilihan kedua itu usulan guru BK, kalau yang Sastra Perancis aku asal aja milihnya.”
Guru Adib sebenarnya juga kaget dengan pilihannya. Sebab, selama konsultasi, nama jurusan Sastra Perancis tidak pernah sekalipun jadi pembahasan. Tapi pada akhirnya mereka tetap menghormati pilihan Adib. Toh, pilihan sudah telanjur diklik.
Lolos SNBP UB saat sudah kerja di tempat pencucian mobil
Adib tak terlalu memikirkan hasil SNBP UB tadi. Kalau lolos yang dijalani, kalau enggak ya sudah, enggak akan effort lagi buat cari jalur penerimaan lain.
Bahkan, di masa-masa menunggu hasil pengumuman tadi, Adib melamar pekerjaan di salah satu tempat pencucian mobil di kotanya. Ia malah sudah mulai kerja di sana.
Pukul 2 siang, saat siswa-siswa lain harap-harap cemas menunggu hasil pengumuman, Adib asyik dengan pekerjaannya mencuci beberapa mobil. “Sumpah ini ya, pas pengumuman aja aku enggak tahu kalau harinya yang waktu itu. Aku tahu lolos karena dapat kabar dari teman sekelasku via WA,” jelasnya.
Sore hari, Adib cukup kaget karena notifikasi WA-nya sangat ramai. Ada banyak chat datang dari gurunya. Belasan pesan juga dikirimkan oleh temannya yang kebanyakan soal hasil SNBP. “Pas aku buka ucapan selamat gitu lolos UB. Memang di sekolah ada buka hasil SNMPTN barenga-bareng jadi hasil langsung kelihatan saat itu juga.”
Jujur perasaan Adib saat itu campur aduk. Di satu sisi, ia hanya setengah hati buat kuliah. Tapi di sisi lain, kalau hasil SNBP tidak ia ambil, ada kemungkinan sekolah bakal kena blacklist selama beberapa tahun dari kampus yang bersangkutan.
“Akhirnya aku tanggung jawab aja, jalanin kuliah di UB,” ujar eks mahasiswa Malang ini.
Baca halaman selanjutnya…
Setelah lulus, merasa menyesal karena ternyata ijazahnya enggak laku di dunia kerja
Setelah lulus menyesal karena ijazah enggak laku
Selaiknya mahasiswa lain yang merasa “salah jurusan”, kuliah Adib pun juga serasa hambar. Nyaris tak ada hal-hal istimewa yang bisa ia rasakan. Selama kuliah pun ia menjadi mahasiswa yang biasa-biasa aja, enggak aktif di komunitas maupun organisasi apapun.
Namun, soal perkuliahan, mahasiswa Malang ini tanggung jawab betul. Meskipun kuliah modal “asal isi” di SNBP, ia tetap berusaha menyelesaikan kuliahnya. Tercatat Adib lulus kuliah setelah sembilan semester. Nilainya juga enggak bagus-bagus amat, tapi cukup buat bikin dia dan orang tuanya berbangga.
Sayangnya, kehidupan setelah lulus tak semudah yang ia bayangkan. Apalagi Adib lulus di masa-masa setelah pandemi Covid-19, saat di mana banyak orang berbondong mencari pekerjaan lagi setelah sebelumnya kena PHK.
“Jadi saingannya makin banyak waktu itu,” jelas Adib.
Celakanya, lulus dengan ijazah S1 Bahasa dan Sastra Perancis bikin dia kalah saing. “Bukan apa-apa, kalau cari kerja sesuai bidangnya sangat bisa, tapi lowongannya yang dikit. Sementara kalau mau bersaing di industri, pasti lulusan Sastra Perancis bakal kalah dengan lulusan lain.”
Meskipun kini sudah nyaman bekerja di salah satu perusahaan agen travel di Cilacap, Adib merasa menyesal karena membuang empat tahunnya untuk hal yang kurang ia minati. Seandainya saat SNBP ia tak usil, mungkin jalan hidupnya bakal lain.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News