Kuliah UIN: Awalnya Merasa Keren Pinter Teori, Lulus Baru Nyesel karena Nol Keterampilan Kerja hingga Usul Jurusan UIN yang Baiknya “Dihapus Saja”

Penyesalan UTBK SNBT daftar UIN. Kuliah cuma dijejali teori, lulus bingung kerja karena tidak punya keterampilan MOJOK.CO

Ilustrasi - Penyesalan UTBK SNBT daftar UIN. Kuliah cuma dijejali teori, lulus bingung kerja karena tidak punya keterampilan. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Dalam masa seleksi mahasiswa baru seperti UTBK-SNBT, ada yang dengan sadar memilih kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN). Biasanya dari kalangan siswa madrasah aliyah atau pesantren.

Ada pula yang “terpaksa” karena tidak keterima di kampus-kampus negeri umum yang diincar. Alhasil, daripada tidak kuliah (gap year), keluar uang banyak jika kuliah jalur mandiri, atau gengsi jika masuk swasta, maka UIN menjadi pelarian.

Tentu saja ada banyak orang yang tidak menyesali keputusan tersebut, dengan argumen: kuliah di manapun sebenarnya sama saja. Tergantung orang yang kuliah. Tekun dan serius atau tidak, jika orientasinya adalah lulus jadi orang sukses. Namun, tetap ada juga yang menyesali keputusan kuliah di UIN.

Kuliah UIN karena “terlanjur”

Bagi Amran (26), tidak banyak pilihan bagi lulusan madrasah aliyah sekalius pesantren sepertinya.

Di luar sana, barangkali ada pesantren yang sudah mengadopsi metode pendidikan umum. Misalnya, memasukkan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) hingga Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam mata pelajaran harian.

Dengan begitu, ketika lulus, para siswanya punya opsi untuk daftar di kampus-kampus negeri di bawah Kemendikbudristek. Tapi berbeda dengan Amran.

Pesantrennya di Blitar, Jawa Timur, hanya membekalinya dengan pendidikan keagamaan. Pengetahuan umum tidak terlalu jadi prioritas. Karena sudah terlanjur begitu, pilihannya di UTBK-SNBT (dulu untuk seleksi masuk UIN namanya UM-PTKIN) adalah kuliah di UIN.

“Ngambilnya Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT). Aku merasa, sebagai santri, itu jurusan keren. Dan mungkin lebih kukuasai karena udah terbiasa dengan ngaji tafsir di pondok,” ungkapnya, Sabtu (12/4/2025).

Semua baik-baik saja sampai akhirnya wisuda

Amran lulus pesantren 2017. Akan tetapi, dia harus gap year lebih dulu karena harus menjalani masa pengabdian. Barulah pada 2018 dia memutuskan kuliah di UIN lewat jalur UTBK-SNBT, mengambil jurusan IAT.

Tidak ada kendala berarti bagi Amran. Dia pun terbilang aktif dalam diskusi di kelas. Karena mempelajari tafsir kitab suci membuatnya semakin banyak mengeksplorasi pesan-pesan tersirat dari kalam-kalam Tuhan. Amran juga lulus tepat waktu: empat tahun.

“Usai wisuda, banyak temanku yang lanjut S2. Baik di dalam negeri maupun luar negeri. Di titik ini, aku menyadari, ternyata jurusan ini memang cocok buat lanjut S2. Tapi kalau buat nyari kerja, aku baru sadar kalau selama ini aku terlalu banyak dijejali teori,” ucap Amran.

Amran mengaku kesulitan mencari kerja. Untuk konteks jurusannya, misalnya untuk daftar CPNS, pilihannya juga minim.

Untuk mendaftar pekerjaan di sektor lain—yang non PNS, ijazahnya barangkali juga dianggap sebelah mata. Sehingga susah tembus.

“Pilihannya, sekarang aku dagang di Blitar,” imbuhnya.

Baca halaman selanjutnya…

Jurusan-jurusan yang baiknya dihapus saja karena cuma ngajari teori

Jurusan-jurusan di UIN hanya menjejal teori

Dalam pengamatan Amran, ada sejumlah jurusan di UIN yang alumninya bernasib tidak jauh berbeda dengan Amran. Khususnya jurusan-jurusan yang cenderung teoretis. Misalnya, Perbandingan Agama-Agama, Ilmu Hadits, Sejarah Peradaban Islam, Tasawuf, dan sejenisnya.

“Rata-rata berakhir menjadi guru honorer. Karena kalau semasa kuliah nggak punya inisiatif ngembangin keterampilan, fokus pada kuliah yang hanya teoretis, walhasil lulus susah cari kerja,” sambung Amran.

Tidak cuma Amran, sejumlah temannya yang kuliah di UIN pun mengaku menyesal. Pertama, menyesal kuliah di UIN. “Salah jurusan” pula: jurusan yang hanya bicara perihal pengetahuan, tapi tidak dengan keterampilan.

“Di kelas pun nggak ada obrolan soal kelak lulus bakal gimana persaingan kerjanya. Menurutku, kampus sekarang juga harus fair. Harus peduli pada alumnusnya kelak bakal bagaimana. Jangan hanya banyak-banyakan meluluskan,” kata Amran.

Sebab, sepengetahuannya, ada banyak kampus swasta yang begitu: mempersiapkan betul pada mahasiswanya agar setelah lulus tidak lantas bingung mencari kerja.

Kedua, menyesal karena tidak mengasah keterampilan secara mandiri. Alhasil, lulus hanya berbekal ijazah yang nyatanya juga tidak membantu dalam urusan mencari pekerjaan.

Hapus saja jurusan nggak guna

“Di titik paling kesel, aku dan beberapa temen sering rasan-rasan, kayaknya jurusan-jurusan UIN yang nggak guna buat cari kerja dihapus saja. Daripada nambah pengangguran,” gerutu Amran.

“Di UIN, jurusan-jurusan yang masih diperhitungkan ya Hukum, Ekonomi Syariah, Ilmu Komunikasi. Ada juga UIN yang udah punya kedokteran. Itu masih dipertimbangkan,” lanjutnya.

UIN memang kampus berbasis Islam. Namun, bagi Amran, jika menilik sejarahnya, Islam adalah agama yang sebenarnya identik dengan kemajuan peradaban.

Namun, dalam konteks Indonesia hari ini, hal-hal yang berlabel Islam justru terkesan pinggiran, tradisional, dan tertinggal. Maka, bagi Amran, sepertinya UIN perlu melakukan pembaharuan. Tidak hanya berhenti di tataran teoretis, tapi juga beranjak ke tataran yang lebih praksis.

“Di titik ini, aku kagum dengan kampus-kampus Muhammadiyah. Kampus Islam, tapi adaptif dengan perkembangan zaman,” tutup Amran.

Jenuh hingga pengin DO

Hal senada diungkapkan Kamal (28), asal Kediri, Jawa Timur. Dia melihat banyak di antara temannya alumni UIN kesulitan mencari kerja, sehingga berakhir jadi guru honorer.

Kuliah UIN sebenarnya tidak masuk dalam daftar rencananya. Di SNBP (dulu SNMPTN), Kamal mengincar kampus negeri di bawah Kemendikbudristek.

Karena tidak lolos, maka dia mencoba menyiapkan dua sekoci. Kamal daftar UTBK-SNBT (SBMPTN) untuk kampus Kemendikbudristek, sekaligus UTBK-SNBT untuk UIN (UM-PTKIN). Hasilnya, ternyata dia hanya keterima di UIN.

“Ambil Sejarah Peradaban Islam (pada 2016). Tapi benar-benar full teori. Beda seperti di kampus negeri lain. Ilmu Sejarah-nya itu lebih banyak praktik di lapangan ketimbang presentasi di kelas,” ungkapnya.

Kamal mengaku jenuh. Bahkan di semester 2, dia sempat berpikiran untuk DO saja.

Akan tetapi, dia coba untuk menahan diri. Mengulang kuliah rasa-rasanya kok bakal berat. Maka, dia mencoba menikmati saja proses perkuliahannya.

Susah cari kerja salah siapa?

Beruntung, Kamal dulu sering mengambil kursus di luar kampus. Terutama yang berkaitan dengan desain grafis dan fotografi. Selain juga aktif berorganisasi guna memperluas relasi.

Bekal keterampilan itulah yang akhirnya dia bawa setelah lulus dari UIN. Kamal merintis usaha wedding photography.

“Banyak temanku lulus nggak bekerja sesuai jurusan. Ada yang jadi kurir ekspedisi. Sales. Jualan bakso. Ada juga yang melanjutkan bisnis keluarga,” ungkap Kamal.

“Kalau cewek rata-rata jadi guru kalau nggak akhirnya jadi ibu rumah tangga karena lulus langsung nikah,” sambungnya.

Susahnya mencari kerja di kalangan sarjana memang persoalan kompleks. Lapangan pekerjaan yang tersedia sedikit. Itupun dengan kualifikasi ketat.

Di sisi lain, Kamal menyoroti kurangnya inisiatif mahasiswa dalam mengembangkan keterampilan dirinya sendiri. Yakni mahasiswa yang menganggap ijazahnya akan serta merta membuatnya bisa kerja apa saja setelah lulus.

Alhasil, banyak sarjana yang gagap ketika berhadapan dengan dunia kerja, karena sering kali tidak memenuhi kualifikasi dari si pemberi lowongan.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Gagal UTBK Maksa Kuliah Mahal Jalur Mandiri, Tolak Gap Year demi Cepet Pakai Jas Kampus Berujung Nyesel setelah Lulus atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

 

 

 

 

Exit mobile version