Sebenarnya hanya tinggal skripsi. Tapi kuliah PTN (sekaligus langkah mengejar gelar sarjana) terpaksa harus terhenti—karena memilih DO—lantaran tak mampu lagi membayar biaya (UKT). Mati-matian perjuangkan kuliah dari hutang ke hutang, akhirnya terasa menyesakkan.
Nekat kuliah PTN meski tak punya biaya karena impian
Banyak dari teman-teman seangkatan SMA Ababil (27), panggil saja begitu, yang meneruskan kuliah di PTN. Persis setelah lulus sekolah. Sementara Ababil memilih mengabdi barang satu tahun di pesantrennya.
Setelah satu tahun masa pengabdian, Ababil merasa perlu mendaftar kuliah PTN. Untuk bekal menyongsong masa depan. Dan itu dia lakukan. Pada 2017, dia kuliah di sebuah PTN di Jawa Timur.
“Cuma dari awal aku sudah tahu, aku nggak akan dapat dukungan biaya dari orangtua. Bapakku sakit-sakitan, ibuku berjuang sendiri dari jual jajanan untuk anak-anak sekolah,” ungkap laki-laki asal Tulungagung, Jawa Timur tersebut, Kamis (28/8/2025).
Ababil mendapat UKT di angka Rp2,8 juta. Angka yang tidak kecil memang. Tapi Ababil nekat saja mengambil kuliah tersebut demi mengejar impiannya: menjadi sarjana pertama di keluarganya. Karena kakaknya dulu tidak sarjana. Sementara adiknya masih SMP.
Tapi, Ababil toh sudah siap akan memeras energinya demi bisa kuliah PTN. Kuliah nyambi kerja apapun. Yang penting bisa ditabung buat biaya UKT. Urusan makan, gampang lah dipikir belakangan.
Makan sehari sekali hingga pakai lauk cabai
Kuliah di PTN sambil kerja ternyata tak semudah yang Ababil bayangkan. Ababil punya keterampilan memasak. Itu dia dapat sejak di pesantren karena dia bertugas menjadi juru masak di dapur pesantren.
Oleh karena itu, sejak awal masuk kuliah dia bekerja di sebuah warung makan. Gajinya Rp1,8 juta. Terpotong sewa kos di harga Rp400 ribu. Rp1 juta dia simpan: tabungan untuk UKT dan kalau ada lebih akan dikirim ke rumah. (Jadi setiap masa pembayaran UKT, jika ada uang sisa dari hasil tabungannya, berapapun akan dia kirim ke rumah untuk uang saku sang adik).
Lalu Rp400 ribu sisanya dia gunakan sebagai pegangan. Misalnya untuk keperluan beli bensin, nge-print tugas kuliah, dan lain-lain.
“Kalau makan, untungnya aku kan dapat jatah makan dari warung. Tapi itu pershift ya sekali aja. Karena aku shift malam terus, sehari aku cuma makan sekali pas malem. Selebihnya tahan lapar,” katanya.
Namun, tak jarang dia tidak tahan dengan lapar yang merongrong perutnya. Itulah kenapa dia juga jaga-jaga beli beras untuk dimasak di kos. Tapi hanya mampu masak beras, tak pakai lauk. Paling sering ya pakai lauk cabai biar ada sensasi pedas-pedasnya. Yang penting bisa untuk ganjal perut.
“Kadang kalau di warung makan ada sisa-sisa, daripada dibuang, aku bawa ke kos. Buat rasa-rasa di nasi yang kumasak. Walaupun udah agak basi,” katanya.
Baca halaman selanjutnya…
Dari hutang ke hutang, tinggal skripsi malah di-DO
Biaya UKT kuliah PTN dari hutang ke hutang
Ababil bekerja dari pukul 17.00 WIB-02.00 WIB. Awalnya dia masih mampu memanajemen rasa lelahnya. Akan tetapi, seiring waktu, dia mulai keteteran. Tapi dia tak punya pilihan lain.
Memasuki semester 4, kondisi kesehatan bapaknya makin turun. Itu membuat sang ibu harus sering-sering membawanya ke rumah sakit.
“Ibuku kan nggak punya uang banyak, akhirnya aku sering kirim uangku. Urusan biaya kuliah, bayar UKT, pikir nanti,” ungkap Ababil.
Situasi itu membuat Ababil sempat harus hutang untuk membayar UKT semester 5. Untungnya, PTN tempat Ababil kuliah memiliki koperasi yang diperuntukkan meminjami mahasiswa yang kesulitan finansial.
Di semester 5 akhir, sang bapak berpulang. Uang yang Ababil punya pada akhirnya dia gunakan untuk memulasara sang bapak. Habis. Tak ada lagi untuk biaya UKT lagi di semester 6. Alhasil dia pinjam lagi.
“Tapi batasnya memang cuma bisa pinjam dua kali. Setelah itu nggak bisa,” ungkap Ababil.
Tinggal skripsi tapi kena DO
Sejak semester 2 Ababil sebenarnya sudah mencoba mengikuti pendaftaran beasiswa Bidikmisi (sekarang KIP Kuliah). Sayangnya, dia tidak keterima. Begitu juga saat dia mengajukan di semester 3. Tetap nihil.
Menjelang semester 7, Ababil makin kesulitan menabung uangnya. Adiknya sudah SMA. Sehingga dia kerap harus membantu sang ibu dalam aspek biaya. Walhasil, ketika memasuki semester 7 dia memilih cuti karena tak sanggup lagi bayar biaya kuliah (UKT).
“Walaupun aku nyambi kerja, aku kuliah masih bisa jalan secara semestinya. Tugas-tugas selalu kukerjakan, pinjam laptop teman. Di semester 7 itu sebenarnya tinggal skripsi,” kata Ababil.
“Untungnya pas masa KKN itu ada Corona. Jadi tugas KKN-nya diganti, nggak turun ke desa-desa pelosok. Waktu itu aku sudah ketar-ketir. Kalau KKN, otomatis aku harus keluar kerja. Punya duit dari mana kan,” sambungnya.
Karena terus tak sanggup bayar UKT hingga semester 9, maka Ababil tak bisa ambil cuti lagi. Jatahnya cuma tiga kali cuti. Jika dia tak membayar UKT lagi, maka statusnya menjadi “DO”. Dan itulah jalan yang akhirnya dia pilih: DO.
Iri melihat teman sarjana…
Ababil akhirnya fokus bekerja demi menghasilkan pundi-pundi rupiah. Tentu ada perasaan iri, karena setiap tahun selalu ada teman-teman kuliahnya yang wisuda: menjadi sarjana.
Tentu nyesek sekali. Apalagi dia sebenarnya hanya tinggal skripsi. Tapi Ababil merasa tak berdaya dihantam keadaan.
“Tapi ya sudah lah. Jalan orang beda-beda. Mungkin jalanku sudah harus gini, DO pas tinggal skripsi,” ungkap Ababil.
Cerita ini Ababil bagikan dengan harapan: agar para pembaca, yang punya kemewahan bisa kuliah PTN atau PTS tanpa ketakutan soal biaya, tanpa tanggungan lain di rumah, bisa memaksimalkan kesempatan kuliah sebaik-baiknya.
“Kalau buat teman-teman yang senasib, kalian nggak sendiri. Di dunia ini memang nggak semua orang jadi pemenang. Ada juga wong kalahan seperti kita. Tapi kalau berjuang untuk orangtua, rasa-rasanya nggak perlu ada yang disesali,” tutup Ababil.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Balas Dendam usai Dapat Beasiswa S1 KIP Kuliah, Manjakan Diri Sendiri dan Abaikan Ortu yang Tak Pernah Beri Hidup Enak Sejak Kecil karena Pemalas atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
