Sengaja Gagal di Kampus Terkenal Pilihan Ibu demi Kuliah Kampus Swasta Jogja, Cuma Karena Pengin Punya Teman Kristen

Cerita Mahasiswa Sengaja Menggagalkan Diri biar Tak Tembus Kampus Terkenal Pilihan Ibu, Semua demi Kuliah di Kampus Swasta Jogja agar Punya Teman Kristen MOJOK.CO

Ilustrasi - Cerita mahasiswa sengaja menggagalkan diri agar tak lolos kampus terkenal pilihan ibu, semua demi kuliah kampus swasta Jogja biar punya teman kristen. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Sengaja menggagalkan diri biar tak tembus kampus negeri terkenal pilihan ibu demi bisa kuliah kampus swasta Jogja. Langkah “nekat” itu dilakukan oleh seorang mahasiswa asal Temanggung, Jawa Tengah, agar bisa “hidup liar” dan punya teman Kristen.

***

Beberapa bulan lalu, Udfi* (nama samaran), baru saja menjalani wisuda. Mahasiswa berumur 23 tahun tersebut lulus sembilan semester dari salah satu kampus swasta di Jogja. Tak telat-telat banget.

Melalui akun Instagram miliknya, Udfi sempat bercerita, sebenarnya sejak awal masuk kuliah pada 2019 silam ia punya target bisa lulus tepat waktu. Persis delapan semester.

“Tapi yang terjadi tidak begitu. Karena ada berbagai drama juga dicampur prioritas yang semrawut, saya harus mengulang semester lagi untuk menyelesaikan skripsi. Jujur mengerjakan skripsi ternyata sangat menyebalkan,” tulis Udfi.

Oleh karena itu, kelulusan kuliah tak menjadi perkara yang begitu ia banggakan. Terlalu banyak hal menyebalkan dalam perjalanannya menjadi mahasiswa di salah satu kampus swasta Jogja tersebut.

Hanya ada sedikit hal yang bisa ia banggakan. Satu di antaranya adalah memiliki beberapa teman Kristen. Sebuah resolusi yang sudah ia canangkan sejak lulus MAN di Temanggung.

Jenuh 12 tahun jadi siswa di sekolah Islam

Meski tidak berangkat dari keluarga pesantren, tapi simbah-simbah Udfi terbilang cukup relijius. Itulah kenapa sejak SD, simbah-simbahnya mendorong agar Udfi sekolah di MI.

“Ibuku guru di SD swasta di bawah yayasan Islam. Tapi aku mau masuk ke situ saja nggak boleh sama simbah. Di MI saja pintanya,” tutur Udfi seteleh terdiam beberapa jenak untuk menggali ingatannya jauh ke belakang, Kamis (1/8/2024) petang WIB, saat saya temui di tempat kerjanya di Ngaglik, Sleman, Jogja.

Begitulah hingga 12 tahun jenjang pendidikannya tidak lepas dari sekolah berbasis Islam. Selepas MI, ia masuk MTs. Setelah lulus MTs, ia lalu masuk MAN.

Nah, setelah lulus MAN pada 2019, pemuda yang dikenal energik itu mulai merasa agak jenuh jika harus kembali mengenyam pendidikan berbasis ke-Islaman.

“Bukan karena aku nggak suka Islam. Aku cuma pengin punya wawasan baru di lingkungan yang lebih heterogen. Pengin punya temen Kristen,” ujar Udfi. Itulah kenapa saat pendaftaran masuk kuliah, ia sama sekali tidak memasukkan UIN dalam list kampus incaran.

Incar kuliah di Jogja biar bisa “hidup liar”

Pada dasarnya Udfi tak punya gambaran mau kuliah di kampus mana. Sepengakuannya, lingkungannya di Temanggung memang tak begitu aware dengan pendidikan tinggi.

Namun, yang jelas, ia punya angan-angan kuliah di Jogja. Kampus apapun asal bukan UIN atau kampus-kampus Islam. Ada beberapa pertimbangan. Misalnya (yang ia ingat): pertama, Jogja sudah mendapat label sebagai Kota Pelajar. Ia membayangkan akan berada di lingkungan orang-orang yang menggemari ilmu. Tentu akan sangat menyenangkan.

Lalu kedua, ia sempat mendengar kalau pergaulan di Jogja cenderung liar. Udfi mengaku mengidam-idamkannya karena sudah jenuh juga hidup dalam kekangan keluarga.

“Bisa dibilang aku ini strict parents. Ya walaupun alasan ibuku agak ketat ke aku karena waktu SMP aku sempat berulah juga, sih (touring ke luar kota). Tapi pada intinya aku ingin coba hidup lebih bebas,” tuturnya disertai tawa.

Sengaja gagalkan diri di kampus pilihan ibu demi kuliah kampus swasta Jogja

Sayangnya, Udfi tak serta merta bisa langsung mendaftar kampus di Jogja. Ibunya mendorong agar Udfi mendaftar di salah satu kampus negeri di Semarang pada saat SBMPTN (sekarang UTBK SNBT) 2019. Kampus yang sebenarnya terbilang cukup terkenal.

“Karena SBMPTN bisa daftar dua (kampus), aku daftar juga kampus negeri di Jogja. Tapi kok dua-duanya nggak lolos,” kenang Udfi.

Saat SBMPTN untuk kampus negeri Semarang itu, Udfi memang sengaja menggagalkan diri. Ia tak mengerjakan soal-soal dengan serius. Toh ia memang tidak berniat kuliah di Semarang. Sementara untuk kampus negeri di Jogja, ia tak lolos karena memang tidak beruntung.

Namun, dorongan sang ibu agar Udfi kuliah di Semarang tetap berlanjut di Jalur Mandiri. Hanya saja tetap berakhir sama: Udfi sengaja menggagalkan diri, alhasil tak tembus di kampus negeri pilihan sang ibu.

“Lalu yang kampus negeri di Jogja itu bagaimana?,” tanyaku menyela Udfi yang memang sedang menjeda ceritanya.

“Nah, yang di kampus negeri Jogja itu waktu tes (Jalur Mandiri) aku salah klik. Jadinya nggak lolos juga,” jawab Udfi yang langsung disambut derai tawa teman-teman kerjanya yang sedari awal menyimaknya bercerita.

Ibu Udfi tak menyerah. Ia kembali mendorong Udfi untuk mendaftar di salah satu kampus swasta di Magelang, Jawa Tengah. Akan tetapi, untuk kali ini Udfi mulai berani menolak.

Pertama, agak kurang keren saja baginya jika kuliah di Magelang. Kedua, dalam urusan pendidikan, ia sudah 12 tahun mengikuti apa kata ibu dan keluarga. Maka, untuk kali itu ia ingin memilih sendiri mau kuliah di mana. Lebih-lebih ia juga sudah mencoba menuruti sang ibu dengan mencoba mendaftar di kampus negeri Semarang. Ketiga, ia sudah memiliki resolusi kuliah di Jogja. Jadi bagaimanapun ia harus bisa kuliah di Kota Pelajar.

Sensasi punya teman Kristen di kampus swasta

Setelah negosiasi denga sang ibu, Udfi akhirnya mendapat restu untuk kuliah di salah satu kampus swasta di Jogja.

“Tapi itu pun sebelumnya aku sama sekali nggak pernah tahu kampus tersebut. Aku tahunya dari tetangga yang kuliah di sana. Ya sudah aku ikut-ikutan saja daftar sana. Eh keterima,” beber Udfi.

Pilihan Udfi kuliah di salah satu kampus swasta Jogja tersebut tak pelak membuatnya lega. Sebab, cita-citanya untuk berada di lingkungan yang lebih heterogen, punya teman Kristen, akhirnya tercapai juga.

Bahkan bukan hanya dari Kristen, teman-teman Udfi beberapa berasal dari kalangan mahasiswa Katolik, Hindu, hingga Budha.

“Di kelas atau pas lagi acara apa di kampus, aku seneng kalau ada instruksi berdoa sesuai agama dan keyakinan masing-masing. Aku seneng aja melihat beragam ekspresi berdoa. Ada yang tangannya menengadah, menggenggam, membentuk salib, macam-maca lah. Itu indah sekali,” tutur Udfi tersenyum dengan gestur lega.

“Aku juga pernah beberapa kali ikut meditasi temen-temen Budha. Serius, menenangkan banget ternyata,” tegas Udfi dengan sorot mata meyakinkan.

Tak hanya itu, Udfi juga mengaku menemukan kehangatan berada di tengah-tengah teman lintas agamanya. Pasalnya, teman-temannya dari Kristen atau Katolik (misalnya), kelewat sering menunjukkan sisi royalnya: suka berbagi.

Ketimbang bisa lulus tak telat-telat amat, sensasi pertemanan dengan lintas agama itu lah yang menjadi salah satu bagian kuliah yang Udfi Syukuri sebagai mahasiswa.

“Tapi kalau nikah dengan orang Kristen, aku nggak ada kepikiran. Itu terlalu jauh,” tutup Udfi.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA: Kegoblokan saat Merantau di Cikarang: Gaji Kecil Ludes buat Hidupi Preman, Selalu Bohongi Ibu yang Butuh Kiriman

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version