Kuliah di universitas terbaik, seperti Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) tak selamanya jadi jaminan masa depan cerah. Banyak yang merasa gagal. Sebab, di saat kampus sibuk memoles diri, mereka melupakan nasib alumninya sendiri.
***
Hari itu, sekitar akhir 2024 di Balairung Universitas Indonesia (UI) Depok, ribuan toga hitam berderet rapi. Senyum para wisudawan menyiratkan harapan besar: gelar sarjana dari kampus mentereng bakal menjadi tiket emas menuju masa depan yang lebih baik.
Salah satunya Andini (25), bukan nama sebenarnya, lulusan baru yang sudah membayangkan karier gemilang begitu keluar dari kampus berlogo makara ini.
Namun, harapan itu nyatanya panggang jauh dari api. Setengah tahun lebih setelah lulus kuliah, jangankan dapat kerja, email lamaran kerja dibalas saja tidak.
“Kalaupun ada yang balas, isinya pesan penolakan,” kata perempuan asal Jawa Timur ini saat dihubungi Mojok, Senin (29/9/2025) malam.
“Aku pikir lulusan UI itu gampang cari kerja, ternyata sama saja,” imbuhnya nya pelan.
Orang tua jual rumah, tapi anaknya alami ratusan penolakan saat lamar kerja
Kisah Andini berawal dari pengorbanan keluarganya yang begitu besar. Dia bercerita, orang tua di kampung sampai rela menjual rumah peninggalan kakeknya agar dirinya bisa kuliah di UI, universitas yang dianggap terbaik di Indonesia.
Harapan orang tuanya sederhana: begitu wisuda, anak mereka langsung disambar perusahaan besar, gajinya layak, dan nasib keluarga pun ikut terangkat.
Namun, di balik toga dan foto wisuda yang dia upload ke media sosial, realitas tak seindah itu. Andini sudah mengirim lebih dari 100 lamaran kerja, sebagian bahkan tidak pernah mendapat balasan.
“Satu kali pernah berhasil masuk tahap akhir wawancara di perusahaan multinasional, tetapi gagal hanya karena dianggap kurang berpengalaman,” ungkapnya getir.
Ironisnya, selama kuliah ia terbiasa menulis paper akademik, presentasi dengan istilah-istilah rumit, dan mengutip jurnal internasional. Tapi ketika berhadapan dengan HR, yang ditanyakan justru hal-hal sederhana: bagaimana bekerja dalam tim, bagaimana menghadapi konflik, bagaimana mengelola target penjualan.
“Aku bahkan merasa kuliahku di UI nggak pernah menyinggung soal keterampilan praktis itu,” kata Andini. “Gelar sarjana UI tidak otomatis bikin aku lebih siap.”
Kampus sibuk kerja ranking dunia, tapi abai sama nasib alumninya
Fenomena yang dialami Andini sebenarnya bukan cerita tunggal. Laporan World Bank berjudul “Skills for the Labor Market in Indonesia” menegaskan adanya jurang antara bekal akademik lulusan perguruan tinggi dan keterampilan nyata yang dibutuhkan dunia kerja.
Banyak mahasiswa keluar dari kampus dengan pengetahuan teoretis. Tetapi kurang dibekali kemampuan digital, komunikasi, dan problem-solving—persis yang dituntut pasar tenaga kerja modern.
Lebih jauh, banyak kampus yang lebih sibuk mengejar peringkat internasional ketimbang mengisi jurang itu. Hampir tiap tahun kampus-kampus seperti UI, UGM, hingga Unair dan ITB merayakan posisi mereka di daftar QS World University Rankings atau Webometrics.
Indikator yang digunakan seperti jumlah publikasi internasional, sitasi, reputasi akademik, hingga keberadaan dosen asing, menjadi tolok ukur kebanggaan.
Bagi kampus, semakin tinggi ranking, semakin besar peluang menarik mahasiswa baru, kerja sama riset, dan dana hibah. Masalahnya, indikator-indikator itu tidak berkaitan langsung dengan nasib alumni di pasar kerja.
“Bagiku, prestise kampus itu penting untuk branding, aku akuin. Tapi buat perusahaan tempat kita kerja nanti, yang dicari kan keterampilan praktis,” ungkap Andini.
Senada dengan UI, alumni UGM juga bernasib sama, alami mismatch
Cerita serupa juga dialami Yudha (25), alumni Universitas Gadjah Mada (UGM). Berbekal lulus dengan predikat cumlaude dari salah satu program studi ilmu sosial, dia yakin bisa segera bekerja.
Ekspektasinya pun tinggi: lulus dari “kampus kerakyatan”, bisa langsung kerja. Nyatanya, butuh waktu hingga setahun dengan puluhan lamaran kerja disebar untuk berhasil mendapat pekerjaan.
Itupun, dia “cuma” dapat kontrak kerja jangka pendek sebagai tenaga administrasi.
“Dulu waktu kuliah, saya pikir gampang banget dapat kerja. Apalagi predikat sarjana dari UGM. Nyatanya malah saya kalah bersaing dengan lulusan politeknik yang lebih terbiasa dengan skill teknis,” keluhnya.
Data tracer study salah satu fakultas di UGM pada 2024 lalu mengonfirmasi keresahan Yudha. Di antara responden jenjang sarjana (S1), sekitar 66,31 persen alumni memang sudah bekerja ketika survei dilakukan. Tetapi rata-rata waktu tunggu hingga mendapat pekerjaan tetap berkisar antara 0–4 bulan setelah lulus.
Sebagian besar pun akhirnya bekerja di bidang berbeda dari keilmuan mereka. Artinya, gelar dari kampus ternama tidak otomatis menuntun ke pekerjaan yang sesuai, apalagi menjanjikan kestabilan.
Baca halaman selanjutnya…
Bukti nggak nyambung antara ranking kampus tinggi sama nasib alumni.
Dari UI hingga UGM, bukti adanya mismatch
Fenomena tersebut sekaligus memperlihatkan adanya mismatch antara arah pendidikan tinggi dan kebutuhan pasar kerja. Kajian McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa hingga 2030, sekitar 375 juta pekerja di dunia harus melakukan transisi ke jenis pekerjaan baru akibat otomatisasi dan digitalisasi.
Lebih jauh, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pun menyoroti, bahwa negara-negara dengan sistem pendidikan tinggi yang terlalu fokus pada aspek akademik sering kesulitan menyesuaikan lulusannya dengan kebutuhan industri.
Indonesia sedang mengalami hal serupa. Kampus besar (seperti UI dan UGM) sibuk mengejar citra akademik, sementara lulusan jadi korban dari realitas kerja yang berubah cepat.
Jika dibandingkan dengan universitas di negara lain, prestise akademik memang tidak selalu menjamin sukses karier alumni. Harvard atau Oxford pun tidak bisa memastikan semua lulusannya mendapat pekerjaan elite.
Bedanya, mereka memiliki sistem career support yang kuat: pusat pengembangan karier, mentoring, hingga jaringan alumni yang aktif.
Sementara di Indonesia, mahasiswa seperti Andini dan Yudha justru sering kebingungan setelah lulus. Sebab, ya, bimbingan karier seadanya, magang sering tak serius, dan koneksi alumni cenderung eksklusif.
Pada saat yang sama, biaya kuliah terus naik melalui skema UKT atau IPI, sehingga lulusan merasa menanggung beban ganda: utang pendidikan tinggi dan realita kerja yang tidak ramah.
Bangga ranking kampus tinggi, tapi ya jangan lupakan nasib alumni
Andini, kini masih terus mencoba peruntungannya. Ia mengisi hari-harinya dengan kursus daring, berharap menambal keterampilan yang tidak dia dapatkan di kampus.
Menyebar lamaran pekerjaan, sekalipun itu bukan ke perusahaan atau posisi yang relevan, juga terus dia lakukan.
Yudha pun demikian, berusaha memperluas relasi sembari menjalani kerja kontrak yang tidak sebanding dengan ekspektasinya ketika UGM dulu.
Dan, yang jelas, cerita mereka mewakili wajah banyak lulusan perguruan tinggi besar yang nasibnya terombang-ambing nggak jelas. Bahkan ketika nama kampus terus melambung di papan ranking dunia.
“Universitas boleh saja bangga dengan ranking internasional yang terus alami lonjakan,” kata Yudha. “Tapi kalau alumninya kesulitan bersaing, apa arti semua itu?” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kuliah S1-S2 di Kampus Terbaik Indonesia Merasa Gagah, Tapi Lulus Jadi Sarjana Payah dan Bernasib Terlunta-lunta atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
