Malu KKN bareng Mahasiswa Bandung: 30 Hari Nggak Ngapa-ngapain dan Ogah Bantu Warga, Isinya Malas-malasan di Posko

Pengalaman Buruk Punya teman KKN mahasiswa Bandung mageran MOJOK.CO

Ilustrasi - Pengalaman buruk punya teman KKN mahasiswa Bandung mageran. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Kuliah Kerja Nyata (KKN) tak hanya memberi kenangan seru nan berkesan saja. Kalau apes, KKN justru hanya menyisakan rasa kesal, seperti yang dialami oleh mahasiswa Bandung satu ini yang di masa KKN harus satu kelompok dengan mahasiswa-mahasiswa mager.

***

Seandainya bisa memilih, pada 2022 lalu mungkin Zias (22) akan lebih memilih untuk tidak berangkat KKN saja. Sebab, ia merasa cukup sial karena satu kelompok dengan mahasiswa-mahasiswa Bandung yang mageran.

Pasalnya, akibat memiliki kelompok KKN yang mageran tersebut, kesannya Zias dan kawan-kawan hanya numpang tidur di rumah warga, tak memiliki nilai guna sama sekali. Pada akhirnya itu menjadi kenangan yang cukup memalukan bagi Zias.

Dari awal sudah tak yakin dengan teman sekelompok KKN

Saat itu Zias dan kelompoknya dari salah satu kampus di Bandung dikirim untuk berangkat ke sebuah desa di Kecamatan Cisarua, Kecamatan Bandung Barat. Ada 13 orang yang masuk dalam kelompok Zias, termasuk Zias sendiri.

Saat melihat riwayat 13 mahasiswa di kelompoknya tersebut, Zias pada awalnya sudah tak yakin bahwa KKN-nya akan berjalan sesuai bayangan. Sebab, di antara 13 mahasiswa kampus Bandung tersebut, Zias lah satu-satunya mahasiswa yang aktif berorganisasi. Sisanya mahasiswa kupu-kupu nan apatis.

Zias tak begitu yakin karena mahasiswa yang tidak ikut organisasi umumnya agak kurang dalam urusan membangun relasi sosial. Apalagi dalam KKN, yang harus mereka hadapi adalah sebuah komunitas masyarakat.

“Untuk cowok aku nggak terlalu anggap masalah awalnya, karena kupikir pasti cowok bisa mimpin lah meski nggak punya background ikut organisasi. Ternyata salah. Yang cowok-cowok pada nggak ngerti harus ngapain,” keluh Zias kepada Mojok, Kamis (11/7/2024) sore WIB.

“Sementara yang cewek-cewek tipe yang banyak pertimbangan buat lakuin sesuatu,” sambungnya. Meski begitu, Zias masih mencoba optimis bahwa teman-temannya dari sebuah kampus di Bandung itu bakal bisa ia ajak kerja sama. Sampai akhirnya rentetan hal di luar nalar tersaji di depan mata Zias.

Kelompok KKN yang tak mau bikin program untuk warga

Bersinggungan dengan sebuah komunitas masyarakat sebenarnya bukan hal baru bagi Zias. Mengingat, organisasinya di kampus Bandung tersebut memiliki program pengabdian masyarakat yang Zias pernah terlibat di dalamnya pada 2021 lalu.

Alhasil, sedikit banyak Zias paham lah apa yang harus ia lakukan untuk masyarakat tempatnya mengabdi.

Kelompok Zias tentu memiliki seorang ketua. Tapi Zias mau tak mau harus terlibat aktif dalam mengkoordinir teman-temannya karena si ketua pun tak begitu paham cara kerja-kerja kolektif.

Di hari-hari pertama masa KKN, awalnya semua terlihat terkondisikan dengan baik. 12 orang di kelompoknya terlihat aktif dalam mengikuti instruksi, seperti survei ke tiap RW, mengumpulkan data dari Pemuda Karang Taruna, kegiatan rutin warga, pengajian, sekolah, UMKM, hingga data mengenai kebiasaan atau kebutuhan masyarakat setempat dan lain-lain.

Ilustrsi – Mahasiswa KKN merancang program kerja. (John Schonbrich/Unsplash)

Tugas pun terbagi secara merata: siapa yang mengurus pertanian, siapa yang mengurus sekolah, atau siapa yang mengurus pengajian dan seterusnya.

Aku minta buat evaluasi setiap malem wajib, tapi mereka pada mager, maunya evaluasi seminggu sekali aja. Karena banyak yang setuju jadi aku ikut aja. Aku kira evaluasi seminggu sekali bisa jadi evaluasi yang komprehensif, ternyata malah banyak lupanya karna hari harinya nggak dicatat,” gerutu Zias bersungut-sungut.

“Malahan kami nyaris nggak pernah rapat buat bikin program apaan gitu buat warga. Aku udah banyak kasih saran, misalnya bikin program memajukan UMKM aja karena banyak yang dari Fakultas Ekonomi,” tutur Zias.

Selain itu, mahasiswa Bandung tersebut juga memberikan beberapa saran program kerja yang masih memungkinkan untuk kelompoknya garap. Sayangnya, tak satupun disetujui teman-teman kelompoknya.

Alhasil, Zias pasrah saja. Mau gimana lagi. Kalau ia gerak sendirian tentu tidak mungkin.  Maka Zias pun lebih memilih fokus pada tugasnya untuk meng-handle urusan sekolah dan pengajian.

Baca halaman selanjutnya…

Mahasiswa KKN yang nggak guna blas 

Mahasiswa Bandung yang tak berguna

Dalam durasi KKN yang panjang itu, ada cukup banyak hal di luar nalar dari teman-teman kelompok Zias. Tapi menurut Zias, puncak ketidakmasukakalan mereka adalah saat momen 17 Agustus di desa tempat mereka mengabdi.

Zias awalnya berinisiatif menyenggol ketua kelompoknya, apakah sudah berkoordinasi dengan pak RW perihal kegiatan 17 Agustusan. Jawaban si ketua kelompok membuat Zias benar-benar tak habis pikir.

“Nggak tahu, Pak RW nggak ngasih tahu,” begitu jawaban si ketua kelompok seperti yang masih Zias ingat.

Di hari H 17 Agustus, Zias berinisiatif rapi sejak pagi demi mengikuti upacara di desa. Ia mengajak tiga teman kamarnya saja. Karena teman-temannya yang lain tak ada yang mau berangkat dengan alasan tidak diajak oleh Pak RW.

Ilustrasi mahasiswa KKN merancang kegiatan. (Unsplash)

Bahkan di momen lomba di desa, para mahasiswa Bandung itu tidak ada yang terlibat. Jadi panitia tidak, jadi peserta pun ogah-ogahan. Hanya Zias dan tiga teman sekamarnya yang mau ikut meramaikan.

“Waktu itu aku sakit perut (infeksi ginjal). Tapi aku ikutan perlombaan biar setidaknya kalau nggak bantu jadi panitia ya jadi peserta biar kelihatan ada yang KKN,” tutur Zias.

Zias sempat seminggu absen dari posko KKN untuk menjalani pemulihan infeksi ginjal yang ia alami.

“Begitu balik lagi ke posko, mereka masih ber mager-mager, pada Netflix-an, pada main Uno, masak suki-sukian nggak sambil bahas program atau apa gitu. Cuma cuma main aja,” kenang mahasiswa seperti 10 itu kesal.

Perpisahan yang memalukan

Entah teman-temannya yang lain, tapi yang jelas Zias kepalang malu selama tinggal di sebuah desa di Cisarua tersebut.

Di sana mereka numpang di rumah seorang warga (rumah warga jadi posko). Sementara alih-alih memberi kontribusi, Zias dan kelompoknya justru hanya sekadar nyampah.

Zias ingat betul, di momen lomba 17 Agustus, ia pribadi sebenarnya sempat menawarkan diri pada panitia desa untuk membantu. Tapi panitia desa menolak halus. Meski Zias tahu kalau penolakan itu sebenarnya adalah tamparan buat kelompoknya kalau keberadaan mereka sebenarnya tak berdampak apapun. Wong sekadar membuatkan acara 17 Agustusan saja nggak jalan kok.

“Nggak enak plus malu karena dulu pas pengabdian (dengan organisasi) kami pamit tuh warga pada nangis. Eh pas KKN warga bodo amat banget sama kepergian kami (seolah silakan lekas pergi). Karena kehadiran kami juga nggak berguna,” pungkas Zias.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA: Ngotot Skripsi 300 Halaman karena Sok Pintar, Malah Terancam DO dari Kampus Surabaya dan Berujung Susah Cari Kerja

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version