Ada perasaan sesak tiap kali Hanifa (26) mengenang masa-masa UTBK-SNBT di sebuah kampus di Jogja. Karena setelah lolos, kuliah, hingga wisuda dengan predikat Cumlaude, seperti tidak ada artinya karena tidak bisa membanggakannya pada sang bapak.
Bapak Hanifa mendorong betul agar putrinya tersebut kuliah. Kalau bisa sampai S3 sekalian. Meski secara keuangan sebenarnya Bapak Hanifa bukan dari keluarga mapan.
Sang bapak tidak memasang ekspektasi setiap jenjang pendidikan tinggi Hanifa kelak bakal menjaminnya lantas punya pekerjaan mentereng. Bagi bapaknya, Hanifa tumbuh sebagai perempuan berilmu sudah cukup.
“Karena semakin berilmu, aku akan jadi perempuan berkualitas. Kelak jika punya anak bisa mendidik anak dengan baik. Begitu bayangan sederhana bapak,” ucapnya, Rabu (24/4/2025).
Lebih-lebih, di keluarga Hanifa belum ada satupun yang menjadi sarjana. Sang bapak akan merasa sangat bangga jika Hanifa nantinya akan menjadi sarjana pertama di keluarga.
Tempuh 7 jam naik bus untuk UTBK-SNBT di kampus Jogja
Hanifa ingin kuliah di sebuah kampus besar di Jogja. Maka, pada momen UTBK-SNBT 2018 silam (saat itu masih SBMPTN), dia memilih lokasi ujian di kampus yang dia incar. Sekalian sambil lihat kondisi kampus dan suasana Kota Pelajar.
“Aku sebenarnya mau berangkat sendiri. Kasihan bapak kalau ikut, jauh dan capek. Tapi bapak ngeyel pengin menemani,” kenang Hanifa.
Alhasil, Hanifa berangkat untuk UTBK-SNBT di kampus Jogja ditemani sang bapak. Mereka naik bus dari Jombang, Jawa Timur. Menempuh waktu sekitar tujuh jam untuk sampai di Jogja.
Hanifa masih sangat ingat, hari-hari di Jogja dia gunakan untuk deep talk bersama bapak. Dialognya tidak jauh berbeda dengan Appa Yang Gwan-sik dan putrinya, Yang Geum-myeong, di drama Korea When Life Gives You Tangeringes.
“Lakukan apapun yang ingin kamu lakukan. Jangan khawatirkan soal uang. Bapak akan kerja lebih keras.” Begitu ucapan bapak sedari di bus, saat makan di sebuah warung di Jogja, hingga beberapa saat setelah Hanifa selesai mengikuti UTBK-SNBT.
Gagal UTBK-SNBT di kampus Jogja tapi bapak tidak menyerah
Hanifa menangis tersedu saat pengumuman hasil UTBK-SNBT keluar. Dia tidak lolos masuk kampus Jogja impiannya.
Di detik itu pula, Hanifa sudah nyaris memupus keinginannya untuk kuliah. Karena baginya sudah tidak ada lagi kesempatan tersisa.
“Masih ada jalur mandiri. Coba lewat itu saja.” Tapi demikian bujuk sang bapak.
“Pak, mandiri itu jauh lebih mahal dari jalur SNBP atau UTBK-SNBT. Itu akan memberatkan,” jawab Hanifa.
Lalu kalimat ajaib seperti yang sering diucapkan Yang Gwan-sik keluar lagi. Bapak Hanifa menegaskan masih sangat sanggup bekerja lebih keras. Tidak ada alasan untuk tidak kuliah.
Hanifa akhirnya mendaftar kuliah jalur mandiri di sebuah kampus di Surabaya. Saat ujian, lagi-lagi sang bapak menemani.
Lewat jalur mandiri, Hanifa akhirnya bisa kuliah. Itu membuat bapaknya lebih bersemangat dalam bekerja.
“Selama kuliah, nggak ada seharipun tanpa video call dari bapak. Dia pasti tanya, kuliah hari ini gimana? Wajahnya tampak selalu ceria. Kayak bangga anaknya bisa kuliah,” ujar Hanifa.
Bapak Hanifa memang menepati perkataannya. Dia bekerja lebih keras di Kalimantan hingga jarang pulang ke Jombang.
Hanifa juga tidak merasa kekurangan. Karena setiap butuh uang, bapaknya tidak pernah sekalipun mengirim kurang atau bahkan meminta Hanifa menunggu beberapa hari.
Baca halaman selanjutnya…
Gelar Cumlaude tidak ada artinya karena tidak bisa dibanggakan pada bapak
Wisuda yang tidak dinanti
Hanifa tak mau mengecewakan sang bapak yang sudah bekerja keras dan menaruh harapan besar padanya.
Maka dia menjalani kuliah dengan penuh kesungguhan. Nilai akademik maupun non-akademiknya sama-sama baik. Hasilnya, dia wisuda dengan predikat Cumlaude.
Hanya saja, predikat itu akhirnya terasa tidak berarti sama sekali. Karena dia tidak bisa membanggakannya pada sang bapak yang sudah menemaninya sejak kegagalan UTBK-SNBT di kampus Jogja.
Bapak Hanifa meninggal sebulan sebelum Hanifa wisuda pada 2022 silam. Sebelumnya, sang bapak sudah mempersiapkan banyak hal untuk menemani Hanifa wisuda. Jauh-jauh hari bahkan sudah pulang dari Kalimantan.
Alhasil, ketika banyak mahasiswa tidak sabar menanti momen wisuda untuk foto bareng orangtua dan keluarga, Hanifa sebaliknya. Kalau bisa malah tidak usah ikut wisuda.
“Ikut wisuda pun buat apa? Yang ada aku dan ibu nanti malah nangis bareng saat prosesi wisuda karena keingat bapak,” ujarnya.
Gelar Cumlaude tidak ada artinya
Atas bujukan dari keluarga dan teman-temannya, Hanifa pada akhirnya berangkat wisuda juga. Meski dengan perasaan hampa.
Di momen wisuda itu Hanifa diumumkan sebagai salah satu mahasiswa Cumlaude untuk S1. Di tengah gemuruh tepuk-tangan teman-temannya, dia seperti mati rasa. Senang tidak, haru juga tidak. Benar-benar kosong.
“Orang yang paling pengin aku di sana, jadi sarjana, yang bahkan akan bekerja keras sampai aku S3 udah nggak ada. Gelar Cumlaude itu buat apa? Aku nggak bisa membanggakannya pada bapak,” ucap Hanifa.
“Mimpi-mimpi untuk S2 dan S3 pun sudah ikut terkubur bersama jasad bapak,” tutupnya.
Hari-hari Hanifa setelahnya terasa berat. Kehilangan laki-laki yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya memang tidak mudah. Itulah kenapa, setiap momen UTBK-SNBT dan wisuda, perasaan sesak sering kali menyergap hatinya. Sesak sekali.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Sesal Seorang Anak: Lolos UTBK tapi Males Kuliah hingga DO, Cuma Bisa Minta Uang Terus sampai Ibu Sakit-sakitan atau liputan Muchamad Aly Reza lainnya di rubrik Liputan
