Teman-teman aktivis dan mahasiswa sedang meniti jalan panjang untuk mengawal pembangunan Monumen Penghilangan Paksa untuk Herman-Bimo di wilayah FISIP UNAIR: dua aktivis reformasi yang dihilangkan Orde Baru. Sebuah monumen yang sayangnya tak kunjung terwujud lantaran tak begitu digubris pihak elite kampus.
***
Menginjak bulan September, kita kembali diingatkan atas rentetan tragedi perampasan HAM masa lalu. September jadi bulan kelam di mana banyak tragedi kemanusiaan meletus. Kekerasan aparat, penghilangan paksa, hingga pembunuhan.
Contoh tragedi itu antara lain: genosida pasca Tragedi ‘65, Tragedi Tanjung Priok (1984), Tragedi Semanggi II (1999), pembunuhan Munir (2004), pembunuhan Salim Kancil (2015), Reformasi Dikorupsi (2019), pembunuhan Pendeta Yeremia (2020), serta kekerasan dan perenggutan nyawa terhadap warga Rempang dalam penolakan PSN Rempang Eco City (2023).
Dua mahasiswa FISIP UNAIR, Herman Hendrawan dan Bimo Petrus Anugerah, juga masuk dalam daftar korban pelanggaran HAM masa lalu. Mereka hilang di tangan rezim Orde Baru sejak 1998 silam. Keduanya adalah aktivis mahasiswa yang turut memperjuangkan reformasi ‘98, menjadi dua dari 13 orang yang masuk dalam daftar orang hilang yang belum kembali hingga hari ini.
Tentang yang tak hilang dari ingatan
Pasca acara “Panggung Memorialisasi Peringatan Reformasi” Sabtu (31/8/2024), saya menemui Dandik Katjasungkana, Ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang) Jawa Timur sekaligus sahabat karib Herman-Bimo.
“Saya berteman secara personal, cangkruk bareng, main bareng. Berteman secara akademik, seangkatan sama Herman Hendrawan. Kalau Bimpet (sapaan akrab Bimo Petrus Anugrah) itu adik tingkat selisih tiga angkatan. Juga berteman secara organisasi dalam gerakan mahasiswa. Jadi bisa dibilang kami sudah berteman luar dalam,” cerita Dandik.
“Makanya ketika mendengar kabar hilangnya mereka itu, ya, secara psikologis kami–saya dan kawan-kawan–terguncang, sangat merasa kehilangan,” tambahnya.
Dandik mengaku mentalnya dan kawan-kawannya sesama aktivis drop kala itu. Tetapi pada akhirnya mereka sadar, bahwa mau tak mau mereka harus menerima tragedi penghilangan paksa kawannya itu sebagai realitas politik. Selepasnya, mereka fokus terhadap hal-hal yang bisa mereka perbuat untuk merespons situasi tersebut.
“Kami lalu mencoba berkumpul bersama kawan-kawan yang mau menyuarakan soal isu (penghilangan) ini, meskipun nggak banyak ya yang bersedia secara intens. Tapi alhamdulillah kita bisa konsisten dari ‘99 sampai hari ini. Kita masih ada, dan mudah-mudahan berlipat ganda,” terang Dandik membara.
Berbagai bentuk memorialisasi telah diupayakan secara konsisten oleh solidaritas untuk Herman-Bimo hingga hari ini. Salah satu yang terbaru adalah pembuatan film dokumenter Yang (Tak Pernah) Hilang oleh IKOHI Jatim, Komunitas Kawan Herman-Bimo, dan Adreena Media. Dalam dokumenter tersebut telah dipaparkan perjalanan hidup sang dua aktivis terkenang itu.
Perjuangan panjang pembangunan monumen di FISIP UNAIR
Tak hanya film dokumenter, memorialisasi juga diupayakan dalam bentuk Monumen Penghilangan Paksa–atau yang juga bisa disebut sebagai Monumen Perjuangan Reformasi–yang rencananya akan dibangun di wilayah FISIP UNAIR. Namun sayang, Dandik menyampaikan bahwa usaha mendirikan monumen memorialisasi di FISIP UNAIR ini merupakan perjuangan panjang.
Sejak 2005, rencana pendirian monumen sebenarnya telah diajukan kepada Dekan FISIP UNAIR oleh segelintir alumni UNAIR dan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM) kala itu.
Dandik menjelaskan, Monumen Penghilangan Paksa ini penting untuk dibangun sebagai penanda bahwa (1) Universitas Airlangga, utamanya FISIP, merupakan bagian langsung dari gerakan demokrasi sejak di bawah kediktatoran rezim, (2) Sebagai bentuk pernyataan sikap kampus bahwa Universitas Airlangga merasa menghormati peran penting mahasiswanya dalam perubahan negeri ini ketika reformasi. Khususnya kepada Herman dan Bimo, dua mahasiswa yang telah rela menjadi martir demokrasi.
Hotman Siahaan, Dekan FISIP UNAIR kala itu, telah memberi jalan terbuka tanpa penolakan untuk pembangunan monumen, mengamini poin-poin Dandik tadi. Pembuatan monumen pun telah mulai digarap selepasnya.
Namun sayang, di tengah proses awal pengupayaan pendirian monumen, masa jabatan Hotman sebagai dekan habis.
Oleh karena itu, sekelompok mahasiswa tadi mau tak mau mesti mengulang pendekatan dan negosiasi dengan dekan baru. Tapi berbeda dengan Hotman, dekan pengganti Hotman, dan dekan-dekan selanjutnya menyatakan ketidaksetujuan atas pembangunan monumen.
“Kalau nggak salah sudah ada tiga dekan pengganti Pak Hotman, itu semua menolak pembangunan monumen,” terang Dandik.
Tak ada toleransi untuk tragedi kemanusiaan
Dekan-dekan itu menolak dengan alasan bahwa pendirian monumen adalah hal yang bersifat politis dan tak ada kaitannya dengan akademis.
“Menurut kami, argumentasi itu tidak beralasan. Kami punya argumentasi balik bahwa betul memang peristiwa penghilangan paksa ini sangat politis sifatnya. Tapi hilangnya orang adalah kasus kemanusiaan yang melampaui soal-soal politik,” jelas Dandik dengan menggebu.
Alasan itu, menurut Dandik, seolah-olah memisahkan kasus kemanusiaan dengan peristiwa politik. Padahal, jika melihat rentetan sejarah, kasus-kasus pelanggaran HAM berkelindan erat dengan peristiwa-peristiwa politis.
“Banyak sekali tragedi kemanusiaan mulai dari ‘65, terbunuhnya buruh perempuan Marsinah, terbunuhnya jurnalis Udin, dan seterusnya, itu merupakan peristiwa politis,” terangnya. Disebut politis sebab ada konflik (mengalahkan atau memenangkan) kepentingan penguasa dan warga sipil di dalamnya.
“Tetapi bila seorang warga negara, hanya karena menyuarakan pendapatnya membuat mereka disiksa, hilang, bahkan dibunuh, itu kan suatu peristiwa kemanusiaan yang tidak boleh ditoleransi dengan alasan apapun. Apalagi ditoleransi oleh dunia akademis kampus yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan ini,” tegas Dandik.
Lagipula, tidak sah apabila konflik penghilangan paksa dianggap tidak relevan dan tak ada kaitannya dengan kampus sebagai institusi akademis. Sebab, Tri Dharma Perguruan Tinggi telah menerangkan bahwa kampus berkewajiban melakukan pengabdian masyarakat. Melakukan pengawalan atas HAM adalah bagian erat dari pengabdian masyarakat yang seyogianya dijalankan.
Harus belajar dari Kampus Trisakti
Dandik menerangkan, upaya memorialisasi melalui monumen bukanlah hal baru. Di Kampus Trisakti, misalnya, sudah ada monumen soal perjuangan reformasi mahasiswanya. Pada 12 Mei 1998, meletus Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti–mereka kemudian disematkan sebagai pahlawan reformasi.
Rektorat Trisakti mengambil sikap untuk “menobatkan” kampus Trisakti sebagai Kampus Reformasi. Itu dilakukan lewat pendirian monumen sebagai penanda.
“Tiap tahun itu, secara formal, birokrasi dan rektorat kampusnya memperingati itu (Tragedi Trisakti). Kan, luar biasa, ya,” Ucap Dandik kagum.
Selain sebagai penanda, monumen dan aksi peringatan oleh kampus Trisakti ini sekaligus sebagai bentuk pewarisan ingatan terhadap generasi muda mereka atas sejarah yang sebenarnya. Sebab, mahasiswa hari ini tumbuh dengan sejarah versi kurikulum pendidikan Orba–yang tak jujur dan menyensor banyak hal. Serta, di tengah arus informasi pendek hari ini, generasi muda semakin rawan dikacaukan pemahamannya atas sejarah masa lalu.
“Sehingga yang pertama, mereka (mahasiswa Trisakti hari ini) menjadi bagian dari masyarakat yang tidak lupa. Dan kemudian kedua, menjadi aktor yang menghentikan kasus pelanggaran HAM agar tidak terjadi lagi,” terang Dandik. Ia melihat ini sebagai inisiatif yang luar biasa dari kampus Trisakti.
Melihat ini, ia menyayangkan kondisi di UNAIR yang tak sebanding. Padahal, UNAIR adalah kampus yang sangat tua dan “sepertinya” lebih maju.
Dandik sendiri mendapat keterangan dari Prof Soetandyo, salah satu pendiri FISIP UNAIR, ketika ia masih menjadi mahasiswa dahulu, bahwa FISIP UNAIR didirikan di bawah rezim Orde Baru dengan semangat demokrasi. FISIP UNAIR ingin jadi aktor kampus yang betul-betul mempelajari demokrasi dan turut serta memperjuangkan penegakannya.
“Nah, bila pelanjut dari Prof Soetandyo ini tak lagi punya visi itu, menurut saya ini merupakan kemunduran secara moral maupun intelektual, ya,” keluhnya.
Suara-suara
Di momen peringatan Hari Penghilangan Paksa Internasional (HAPPI) yang jatuh pada 30 Agustus lalu, IKOHI Jatim kembali menggelar serangkaian acara memorialisasi untuk melawan lupa. Menggandeng BEM FISIP UNAIR, Komunitas Kawan Herman-Bimo dan LPM Berdikari, mereka menyusun peringatan dengan tema “Abadi dalam Memori, Menjaga Bara Api Reformasi”.
Sabtu (31/8/2024) lalu, saya menghadiri salah satu mata acara yang sekaligus jadi acara puncak peringatan HAPPI ini di Amphiteater Kampus B UNAIR, bertajuk “Panggung Memorialisasi Peringatan Reformasi”.
Banyak kawan-kawan Herman-Bimo, aktivis lokal pun nasional, dosen, hingga seniman yang menyampaikan aspirasinya melalui orasi. Nama-nama itu antara lain Usman Hamid selaku aktivis dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Hotman Siahaan (Guru Besar FISIP UNAIR), Airlangga Pribadi dan Pinky Saptari selaku Dosen FISIP UNAIR, Dolorosa Sinaga sebagai Seniman dan Budayawan, serta Dingga, anak Yani Afri yang merupakan salah satu korban penghilangan paksa.
Tak hanya orasi, panggung juga diisi oleh pertunjukan musik. Pengisinya di antaranya Lontar Band (sebuah band yang dibentuk oleh Bimpet dan kawan-kawannya) dan Totenk MT Rusmawan yang berkolaborasi dengan Suar Marabahaya. Segala daya-daya untuk membuat aksi simbolik dikerahkan sebagai upaya perlawanan lupa atas tragedi masa lalu.
Terus perjuangkan monumen di FISIP UNAIR
Sebelum ini, telah digelar dua mata acara lain. Yakni pameran memorialisasi gerakan mahasiswa 1998 di Taman Demokrasi FISIP UNAIR pada Rabu (28/8/2024)-Kamis (29/8/2024) dan screening film Yang (Tak Pernah) Hilang pada Jumat (30/8/2024).
Acara ini berperan untuk memberi edukasi kepada generasi hari ini atas tragedi masa lalu–sebagaimana yang dilakukan Trisakti tadi–sekaligus nantinya, jadi batu tumpuan untuk kembali menyerukan narasi pembangunan monumen di FISIP UNAIR.
“Dalam proses pengajuan monumen terkini, kami awali dengan pengadaan acara-acara seperti ini. Untuk memperkenalkan sekaligus mengedukasi mahasiswa sekarang. Sebab, dalam upaya pengajuan nanti, kami mau mencoba melibatkan banyak mahasiswa, baik yang terlibat dalam BEM maupun mahasiswa biasa, agar daya desaknya lebih tinggi,” terang Dandik.
Selepas acara ini, kembali terbayang rencana diplomasi ke pihak Rektorat, dengan menggandeng banyak pihak lain.
“Kami mungkin akan melibatkan Ibu Dolorosa sebagai perancang monumen, Bung Usman Hamid sebagai tokoh aktivis HAM, kami juga sudah membuka obrolan dengan Dirjen Kebudayaan, Pak Hilmar Farid, beliau sangat suportif dan berjanji untuk bicara langsung ke pihak Rektorat maupun Dekanat FISIP UNAIR terkait ini,” tandas Dandik.
Penulis: Alya Putri Agustina
Editor: Muchamad Aly Reza
Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.
BACA JUGA: 5 Kultur Demo di Jogja yang Bikin Kaget Mahasiswa Surabaya, Jadi Pelajaran Penting dan Berharga
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.