Ada lebih dari 4.000 perguruan tinggi/universitas di Indonesia. Akan tetapi, baru sekitar 5% saja yang bisa bertransformasi menjadi universitas riset. Aspek pengabdian masyarakat pun dinilai masih belum berjalan secara optimal.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Kelembagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) RI, Mukhamad Najib, dalam acara Journalist Bootcamp Dikti 2025 bertajuk ”Sinergi Dikti dan Media untuk Kampus Berdampak” di Bogor belum lama ini.
Oleh karena itu, pemerintah melalui Kemendiktisaintek, saat ini tengah mendorong seluruh universitas di Indonesia untuk menyeimbangkan perannya di bidang pendidikan dengan penelitian dan pengabdian.
Sebab, hal ini merupakan bagian dari visi pembangunan nasional dalam menguatkan peran perguruan tinggi di bidang riset serta pengabdian pada masyarakat.
Negara ingin tambah lulusan perguruan tinggi, tapi masuk universitas bukan tujuan utama anak muda
Menanggapi kondisi pendidikan tinggi tersebut, Dekan FMIPA UGM, Prof. Kuwat Triyana, mengatakan bahwa perguruan tinggi di Indonesia saat ini tengah berada pada uji relevansi. Sebab, sebagian anak muda ada yang menganggap kuliah di perguruan tinggi bukan menjadi pilihan utama.
“Anak muda ini tidak lagi menganggap kuliah itu sebagai keputusan otomatis. Mereka lebih memilih jalur hidup lain, sepert kursus singkat, bootcamp, atau gigs economy,” ungkap Kuwat dalam keterangan tertulisnya dalam siaran resmi Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (17/12/2025).
Dalam penilaian Kuwat, pendidikan di Indonesia saat ini memiliki dua narasi berseberangan. Di satu sisi negara ingin menambah jumlah lulusan perguruan tinggi sebagai standar negara.
Akan tetapi, di sisi lain banyak individu mulai berpikir pragmatis: Memperhitungkan baliknya modal pendidikan yang dikeluarkan.
Lebih-lebih kurikulum di Indonesia, kata Kuwat, masih tertinggal jauh dari negara lain. “Karena itu, fokus kampus tidak cukup pada transfer ilmu, tetapi harus menjadi ekosistem penempaan yang melatih kemampuan memecahkan masalah nyata,” tegas Kuwat.
Pengabdian masyarakat masih sekadar formalitas
Persoalan lain, bagi Kuwat, masih banyak universitas di Indonesia yang belum optimal, terkesan formalitas, bahkan jauh tertinggal. “Jadi banyak pengabdian kepada masyarakat berhenti pada output administrasi, jumlah kegiatan, foto, laporan, dan ini belum sampai menyentuh pada outcome atau dampak yang terukur,” jelasnya.
Dampak terukur yang Kuwat maksud misalnya bagaimana ada penurunan biaya kesehatan masyarakat, peningkatan produktivitas, dan penurunan risiko yang terjadi di masyarakat akibat kerja pengabdian.

Selama ini, Kuwat melihat ada ketidaksesuaian antara program penelitian dan pengabdian dengan kondisi masyarakat. Penyebabnya, pemilihan topik dan penyusunan program pengabdian acap kali ditentukan berdasarkan kemudahan pengerjaan serta akses terhadap alat, bahan, dan data semata. Belum jauh menyentuh persoalan dan solusi konkretnya.
“Stakeholder mapping, siapa penerima manfaat, siapa pengambil keputusan adopsi, siapa yang membiayai, itu belum disiapkan sejak awal,” kata Kuwat.
Peran perguruan tinggi/universitas seharusnya…
Bagi Kuwat, peran perguruan tinggi/universitas seharusnya menjadi jembatan antara realitas hari ini dengan kebutuhan masa depan. Implementasinya melalui program pengabdian kepada masyarakat berbasis riset dan kolaborasi multipihak.
“Jadi universitas itu penghubung pemuda, industri, komunitas, media, platform belajar, dan lain-lain, agar solusi tidak berhenti di laporan,” tekan Kuwat.
Agar pniversitas/perguruan tinggi bisa menjalankan perannya dengan ideal dan optimal, lanjut Kuwat, perlu adanya kontribusi dari pemerintah.
Antara lain, pemerintah perlu memperbaiki insentif regulasi dan jalur adopsi, agar pendidikan tinggi dapat memberi manfaat langsung bagi masyarakat. Tak hanya itu, perlu juga adanya perubahan dari struktur kurikulum pendidikan yang menurut Kuwat masih sangat kaku. maka pemerintah seharusnya membangun jalur inovasi universitas
BACA JUGA: Sisi Gelap PTN yang Bikin Dosen Menderita, Sibuk Mengejar Akreditasi tapi Kesejahteraan Dosen Jauh Panggang dari Api atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan