Mulanya, Akmal (24) merasa salah jurusan dengan memilih Desain Komunikasi Visual (DKV) karena tidak bisa menggambar sedari kecil. Namun, ada satu hal yang membuatnya kini lebih percaya diri dengan karyanya. Yakni, kemunculan karya film animasi Merah Putih: One for All yang berhasil lolos kurasi dan tayang di bioskop.
Masuk sekolah animasi karena terpaksa
Ketika banyak orang mengkritik film animasi Merah Putih: One for All, Akmal (24) seorang mahasiswa Jurusan DKV di Surabaya hanya bisa tersenyum kecut. Ia mengakui bahwa proses pembuatan film animasi tak semudah membalikkan telapak tangan.
Sejak kecil, Akmal sendiri bukan orang yang suka menggambar. Ia baru menggeluti dunia desain saat kelas 10 SMK di Jurusan Animasi. Dari sana, Akmal mulai mempelajari bagaimana desain itu tercipta dan dikolaborasikan ke dunia animasi.
“Sebenarnya, semua itu tidak direncanakan. Saya masuk SMK karena terpaksa. Nilai saya tidak terlalu bagus untuk mendaftar di SMAN. Akhirnya, saya memilih SMK di Jurusan Animasi karena saya pikir hanya akan membuat film animasi,” kata Akmal kepada Mojok, Kamis (14/8/2025)
Tidak tahunya, Akmal harus belajar ilmu dasar yang sebelumnya ia anggap biasa yakni seni menggambar. Dari kemampuan menggambar itulah tercipta sebuah bentuk karya animasi. Namun, bukannya mundur karena merasa tidak bisa menggambar, Akmal justru terpacu untuk mendalami ilmu tersebut. Sejak saat itulah minatnya pada dunia animasi muncul.
“Akhirnya, saya meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu kuliah di Jurusan DKV dan berkarier di dalam industri ini sampai sekarang,” ucap Akmal.
Lebih percaya diri usai diterima di Jurusan DKV
Kadang kala, Akmal merasa masih tidak percaya diri dengan karyanya tapi setelah melihat film animasi Merah Putih: One for All ia malah senang. Senang, karena ternyata ada karya yang lebih jelek dari miliknya.
“Jika berbicara soal teknis, mungkin banyak yang bisa dikritisi dari produksi film Merah Putih ini. Namun, yang menjadi persoalaan menurut saya adalah standarisasinya perlu dioptimalisasikan,” kata Akmal.
Baca Halaman Selanjutnya
Netizen pun merasa lebih percaya diri
Tak hanya Akmal, sejumlah netizen di media sosial juga merasa begitu. Merah Putih: One for All membuat mereka lebih percaya diri dalam berkarya. Setidaknya, kemampuannya lebih mumpuni daripada sutradara Merah Putih: One for All yang berhasil menembus bioskop tanpa antre.
“Buat kita pekerja seni kreatif yang masih insecure dan malu memamerkan hasil karya kita. Ingat, ada Merah Putih one For All,” ucap salah satu akun @vyn*** di Threads Instagram, dikutip pada Kamis, (21/8/2025).
“Hmm, hasil karya nomor sekian. Yang penting percaya dirinya itu yang patut ditiru,” ujar @sus***.
“Can not be worse than that, ya kan,” ujar @ber***.
“Jadi semakin percaya diri nunjukin ke dunia hasil karya lukisanku yang kaya pablo picasso itu.” ujar @qnu***.
Susahnya tugas skripsi mahasiswa Jurusan DKV
Salah satu karya yang pernah dibuat Akmal adalah film animasi 2D yang bersifat edukatif. Karya itu ia buat sebagai tugas skripsi di Jurusan DKV. Prosesnya pun membutuhkan waktu sekitar 10 bulan.
Maka, saat mengetahui proses pembuatan Merah Putih: One for All yang hanya membutuhkan waktu selama 1 bulan, Akmal hanya bisa bertepuk tangan. Salut karena sang sutradara sampai bisa menembus proses kurasi di bioskop.
Namun, ia jadi mempertanyakan bagaimana sebenarnya standar kualitas film animasi Indonesia? Mengingat, jika dibandingkan dengan film Jumbo yang sukses meraih 4 juta penonton dalam 14 hari penayangan. Tentu tak bisa disandingkan dengan Merah Putih: One for All yang meraih rating rendah dari IMDb yakni 1 per 10.
“Saya sendiri sempat kesulitan dalam tahap post production khususnya riset, karena di film animasi punya saya, saya harus menemukan korelasi antara tantrum dan kesehatan mental pada anak usia 3-5 tahun,” ucap mahasiswa DKV tersebut.
Di sisi lain, Akmal juga harus mengerjakan semuanya sendiri mengingat karya itu adalah tugas skripsi. Akhirnya, film animasi 2D tersebut jadi dengan durasi 7 menit. Untuk mengerjakan tugas tersebut ia mengaku harus begadang selama berhari-hari.
“Mahasiswa DKV itu memang punya kebiasaan jarang tidur, banyak tugas, bertemu dosen killer, berteman dengan berbagai macam orang yang punya karakter berbeda, tapi sebenarnya tidak semenyeramkan itu. Semuanya tergantung dari mahasiswa itu sendiri,” kata Akmal.
“Saya rasa itu malah menjadi warna dalam perkuliahan itu sendiri,” lanjutnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Nekat Pakai Joki Seleksi SNBP Demi Jurusan DKV, Bisa Lolos tapi Ketahuan Dosen dan Berakhir Keluar atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
