Mahasiswa KKN cuma Sibuk Ngarang Cerita Horor, Ngerusuhi Desa karena Aslinya Nggak Angker

Ilustrasi - Warga desa geram karena mahasiswa KKN suka ngarang cerita horor alih-alih fokus jalankan program. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagi beberapa warga desa, mahasiswa KKN semakin ke sini cenderung bikin kesal. Bukan karena program yang tak konkret bagi masyarakat, tapi sering kali mahasiswa KKN membuat cerita horor dari suatu desa. Padahal, sepengakuan warga asli, desanya sebenarnya tidak pernah memiliki riwayat angker sama sekali.

***

Mahasiswa KKN pulang dengan membawa cerita horor dari desa tentu sudah ada sejak dulu. Namun, hype KKN=horor benar-benar naik ketika mencual thread viral KKN di Desa Penari pada 2019. Thread panjang yang kemudian jadi film dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang sejarah perfilman tanah air.

Sejak saat itu, berangsur-angsur hingga beberapa tahun ke belakang banyak bertebaran cerita horor yang, katanya, berdasarkan true story saat KKN. Baik di media sosial pribadi, podcast (YouTube hingga Spotify), dan produk-produk konten lainnya.

Belum lama ini, Mojok melempar survei di media sosial perihal apa pengalaman unik selama masa KKN? Dari ratusan komentar yang masuk, 70 persen di antaranya berisi cerita horor.

Mahasiswa KKN seolah punya misi berburu cerita horor

“Malah kesannya kayak dipaksa-paksakan horor nggak, to?,” ujar Alda (27) Sabtu (20/7/2024), seorang alumnus kampus Surabaya yang pernah KKN di sebuah desa terpencil di Lumajang, Jawa Timur pada 2017 silam.

Desa yang ia tempati, secara visual, benar-benar sangat representatif sebagai desa penuh demit. Tapi waktu itu, di antara drama yang mengiringi kelompoknya selama KKN, hal-hal horor tidak masuk di dalamnya.

Tentu ada banyak hal yang kerap membuatnya merinding. Terutama saat malam hari. Desa tersebut benar-benar seperti berada di peradaban lain. Gelap, lampu jalan jarang, rumah warga jaraknya tak begitu berdekatan, apalagi ada juga banyak sumur tua.

Tapi ia dan teman-temannya tak pernah mengalami persinggungan dengan hal-hal mistis. Sumur tua itu pun memang tua secara usia. Tapi sehari-hari masih warga fungsikan untuk kebutuhan menimba air.

“Kalau melihat pola sekarang, seolah-olah mahasiswa datang ke desa (KKN) memang punya misi buat cari cerita horor, buat nanti diceritakan pas balik atau bahkan jadi konten. Entahlah. Misi dan program utama KKN malah kerap terbengkalai,” sambung Alda.

Suara-suara dari desa yang bikin kaget mahasiswa kota

Hal senada juga Pras (30) ungkapkan, alumnus salah satu kampus Jogja yang pada 2015 lalu pernah menjalani KKN di sebuah desa di Wonogiri, Jawa Tengah.

Menurutnya, kesan horor muncul lantaran banyak mahasiswa yang sudah terlalu akrab dengan kehidupan kota kaget saat harus berhadapan dengan suasana desa. Alhasil, mereka menjadi lebih sensitif. Ujungnya, atas hal-hal ganjil yang ditemui akan mereka asosiasikan sebagai kejadian horor.

Mahasiswa KKN Suka Berburu Cerita Horor di Desa Alih-alih Fokus Jalankan Program Kerja MOJOK.CO
Ilustrasi desa dengan suasana horor. (m wrona/Unsplash)

“Misalnya, ada suara eraman, langsung mikir itu genderuwo,” ungkap Pras kepada Mojok belum lama ini.

“Padahal waktu aku coba pastikan, ternyata itu suara sapi yang kandangnya ada di belakang posko kami,” sambungnya.

Menurut Pras, ada banyak hal-hal ganjil (menurut teman-temannya) saat KKN yang sebenarnya bisa ia konfirmasi kalau itu bukan demit. Namun, teman-temannya lebih meyakini kalau itu adalah kejadian horor yang kemudian menyebar dan menjadi cerita dramatis.

Warga desa merasa dirugikan

Sejak viralnya KKN di Desa Penari yang konon lokasinya ada di Jawa Timur, alhasil desa-desa di Jawa Timur seolah tercitrakan sebagai desa-desa angker.

Perihal ini, selain dengan Alda, saya sempat berbincang dengan beberapa teman dan adik kelas di kampus Surabaya yang pernah menjalani KKN di beberapa desa Jawa Timur. Rata-rata mereka membawa cerita horor dari desa tempat KKN masing-masing. Hanya ada satu-dua orang saja yang tidak karena berpikir seperti Pras: hal-hal ganjil itu bisa dijelaskan, tidak serta merta ada kaitannya dengan campur tangan demit.

Saya sendiri ada di posisi: mungkin saja benar bahwa ada desa yang memiliki sisi angker. Tapi saya tidak memungkiri kalau ternyata ada juga desa yang malah jadi korban karangan mahasiswa KKN. Misalnya yang terjadi di desa Bimo (36) di Batu, Jawa Timur.

Sejak kecil hingga sekarang berkeluarga, ia tak pernah mendengar ada cerita horor di desanya. Meskipun desanya memang terbilang agak jauh dari kota.

Ilusrasi desa dengan suasana angker. (Pritesh Patel/Unsplash)

Desanya pun kerap menjadi lokasi KKN. Namun, alih-alih mengkhawatirkan kejadian horor, para mahasiswa yang dari dulu-dulu ke sana malah cenderung menikmati suasana desa yang asri nan sejuk (rata-rata dari kampus Surabaya, Gresik, bahkan Jogja).

“Nah, sempat kan pandemi itu kosong. Terus dua tahun terakhir ada lagi KKN. Tapi kok ada saja yang ngarang-ngarang (cerita horor),” keluh Bimo.

“Misalnya malam di posko, itu pada cerita soal kejadian horor yang mereka alami. Bahkan ada juga yang sampai bilang ke warga. Jujur saja saya tersinggung,” sambungnya.

Bimo sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan program kerja mereka selama KKN, entah konkret atau tidak. Tapi baginya citra horor yang dibuat para mahasiswa tentu akan sangat merugikan desanya. Karena mendapat cap sebagai desa horor tentu kesannya sangat tidak baik. Beda soal kalau mendapat label sebagai desa asri nan sejuk.

Yang seharusnya mahasiswa KKN lakukan selain bikin cerita horor

Dari kacamata dosen, Syafawi (dosen sekaligus kaprodi di salah satu kampus di Solo), tidak serta merta menyangkal pengalaman-pengalaman mistis yang mahasiswa alami selama KKN. Yang kemudian diolah menjadi sebuah konten-komersil di media sosial.

Hanya saja memang menjadi soal jika cerita horor tersebut lahir dari sebuah karangan-fiktif. Terlebih jika cerita horor tersebut di kemudian hari memberi dampak negatif bagi suatu desa, seperti yang Bimo resahkan atas desanya di atas.

Menurutnya, akan lebih pas jika para mahasiswa memanfaatkan perangkat digital untuk membuat konten yang tersinkronisasi dengan program mereka untuk desa. Sehingga konten yang mereka ciptakan tidak melulu berkutat pada konten-konten horor.

“Mahasiswa bimbingan saya misalnya, kan ada yang content creator, tapi nggak berkutat di konten horor. Ia bikin konten soal aspek-aspek lain di desa tempatnya KKN,” tutur Syafawi saat Mojok hubungi, Senin (22/7/2024) pagi WIB.

“Bahkan mungkin bisa mengampanyekan desa melalui konten, terutama kalau desanya desa wisata,” sambungnya.

Lebih lanjut, menurut Syafawi, sebenarnya tidak banyak yang perlu diubah dari program KKN. Hanya perlu penyesuain saja dengan kondisi di era sekarang.

“Mungkin pemanfaatan teknologi dimanfaatkan lagi. Mahasiswa sekarang kan mahir dalam digital, sementara warga dusun cenderung masih jauh dari itu. Maka programnya disesuaikan,” jelas Syafawi. Misalnya, dengan membuat pelatihan-pelatihan berbasis digital bagi warga desa, terutama pada anak-anak muda, sehingga bisa berdampak bagi perkembangan skill individu maupun desa secara kolektif.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA: Bagi Anak Desa Clash of Champions Tak “Semengancam” Hafiz Indonesia, Orang Tua Tak Bisa Banding-bandingin karena Sadar Diri

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

 

Exit mobile version