Nyaris Tak Lulus Semua Mata Kuliah Sepanjang Semester Gara-gara Pertukaran Mahasiswa Kampus Merdeka, Kuliah Terancam Molor

apes ikut pertukaran mahasiswa merdeka kampus merdeka.MOJOK.CO

Ilustrasi ikut Pertukaran Mahasiswa Merdeka (Mojok.co)

Gara-gara ikut salah satu program Kampus Merdeka yakni Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM), mata kuliah yang diambil selama satu semester nyaris sia-sia. Akibatnya bisa fatal, kuliah molor. Beruntung, di masa-masa akhir semua itu mendapat pertolongan.

***

Saat ini Brian* (20) bisa bernapas lega. Pasalnya, hasil jeri payahnya kuliah selama satu semester di sebuah PTN wilayah Sumatra terbayarkan. Bisa dikonversi di kampus asalnya, sebuah PTN di Jawa Tengah.

Dulu, setelah terlanjur mendaftar, pihak program studinya sempat mengeluarkan pernyataan yang agak mengkhawatirkan. Semua mata kuliah yang ia ambil di tempat Pertukaran Mahasiswa Merdeka itu bisa saja tak dianggap sama sekali.

“Dulu gara-garanya kampus yang aku pilih itu kualitasnya dianggap jauh di bawah kampus asalku,” kata Brian.

Setelah pulang dari Sumatra, saat mengurus konversi nilai, pihak prodi pun sebenarnya sempat kebingungan dengan mekanismenya. Sekitar satu minggu ia digantungkan.

“Sampai akhirnya PIC (penanggung jawab) Pertukaran Mahasiswa Merdeka itu turun tangan memberikan penjelasan ke prodi. Baru akhirnya prosesnya berjalan lancar,” terangnya pada Kamis (4/7/2024).

Sejak awal sebenarnya sudah ditekankan pentingnya program Kampus Merdeka

Sebenarnya, ia tak menduga bahwa inisiatifnya ikut Pertukaran Mahasiswa Merdeka sempat mengalami berbagai goncangan. Pasalnya, di awal masa studi pun ia sudah mendapat berbagai sosialisasi dari pihak prodi.

Sebagai mahasiswa yang punya dorongan untuk aktif berkegiatan, Brian pun ingin ambil bagian dalam program tersebut. Terlebih, program tersebut juga punya skema insentif cukup menarik bagi mahasiswa.

Kampus Merdeka punya beberapa program unggulan seperti Magang Merdeka, Kampus Mengajar, Wirausaha Merdeka, IISMA, sampai Pertukaran Mahasiswa Merdeka. Brian paling tertarik untuk ikut program yang terakhir.

Pemuda yang tumbuh besar hingga menempuh studi di Pulau Jawa ini ingin punya pengalaman hidup di Pulau Sumatera. Tempat ayahnya dilahirkan.

“Ada perasaan pengin bertemu lingkungan yang jadi akar saya. Selain itu, pengin juga memaksimalkan kesempatan belajar yang beragam selama kuliah,” ungkapnya.

Keinginan itu jadi agak pupus saat program studinya melakukan sosialisasi secara daring lewat Zoom. Kaprodi yang sejak ospek mengajak untuk ikut program, tiba-tiba menyarankan agar mahasiswa tidak perlu mengikuti sebagian program Kampus Merdeka.

“Salah satu yang menurutnya tidak perlu itu pertukaran mahasiswa. Katanya tidak relevan dengan profil lulusan prodi kami,” tuturnya.

Keinginannya pun agak surut. Menjelang semester lima, ia mencoba mencari pengalaman lain dengan mendaftar sebagai tutor bimbingan belajar paruh waktu. Rencana itu ia sampaikan ke kaprodinya.

Di luar dugaan, kaprodi kembali mengubah pernyataannya. Ia memberi saran kepada Brian untuk ikut program Kampus Merdeka saja alih-alih bekerja. Program tersebut juga menawarkan insentif atau biaya hidup bagi mahasiswa.

Dibuat patah hati dengan program Pertukaran Mahasiswa Merdeka

Pertukaran mahasiswa selama satu semester bisa mendapat 20 SKS. 4 di antaranya merupakan program Modul Nusantara.  Di kampus tujuan, mahasiswa disarankan mengambil program studi yang sesuai dengan latar belakangnya.

Mengingat Brian mendaftar menjelang tenggat penutupan, akhirnya pilihan kampus yang tersedia di daerah tujuan tinggal sedikit. Hanya tersisa PTS yang secara kualitas berada di bawah PTN tempatnya menempuh studi.

Namun, saat itu Brian sudah telanjur meninggalkan kesempatannya untuk bekerja. Meski ia paham kualitas kampus yang ia tuju tidak terlalu baik, akhirnya ia yakinkan untuk menyelesaikan proses seleksi. Hingga, ia dinyatakan lolos.

Beberapa hari menjelang akomodasi tiket keberangkatan dari Kemendikbur keluar, ia menyampaikan ke dosennya tentang kelanjutan kabar pertukaran mahasiswa. “Beliau tiba-tiba bilang, ‘Kamu yakin jadi mau ikut ini? Nanti belajarnya nggak maksimal di sana nggak dapat apa-apa’,” kata Brian menirukan dosennya.

“Beliau bahkan bilang kalau ini kampus ecek-ecek,” imbuhnya.

Perasaan bimbang mendera Brian. Ia langsung menelfon orang tua untuk meminta pertimbangan. Namun, keputusan bulat untuk tetap berangkat pertukaran mahasiswa harus ia ambil lantaran tiket keberangkatan sudah terbit.

“Kalau saya batal, harus mengganti ke Kemdikbud. Tapi ya rasanya agak patah hati awalnya dapat dukungan prodi tapi berakhir begini. Dosen juga bilang kalau belum bisa menjamin konversi SKS bisa maksimal,” curhatnya.

Ia pun terbang ke salah satu PTS di Pulau Sumatera. Di sana, ia mendapat biaya hidup dari Kemdikbud sebesar Rp1,5 juta per bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan.

Sudah lewati banyak tantangan, begitu pulang tidak tenang

Ikut program Pertukaran Mahasiswa Merdeka tentu membawa banyak tantangan. Brian perlu beradaptasi. Setelah masuk, ia memang menyadari bahwa kualitas kampus tujuannya tidak sebagus kampus asal.

Namun, ia memang punya tujuan lain dalam mengikuti program ini. Sehingga, hal itu tak terlalu jadi persoalan.

Ilustrasi wisuda yang dinanti mahasiswa (Pang Yuhao/Unsplash)

Belum lagi adaptasi budaya yang juga cukup menantang. Ia harus membiasakan diri dengan gaya komunikasi di sana yang cenderung “keras” dan blak-blakan.

“Awalnya saya kira kok marah-marah terus. Tapi ya setelah terbiasa sadar memang cara komunikasinya seperti itu,” ungkapnya.

Kendati prosesnya cukup banyak tantangan, Brian akhirnya menyelesaikan rangkaian proses selama satu semester dengan lancar. Sampai menjelang jadwal kepulangan, ia belum bisa memastikan, apakah konversi SKS dari pertukaran mahasiswa dapat benar-benar maksimal sejumlah 20 SKS dan nilainya setara.

“Terakhir bicara soal rekognisi nilai saat hendak berangkat. Sampai jelang pulang belum ada kepastian mengingat dosen saya kurang antusias. Proses keberangkatan ini memang terbilang nekat,” tuturnya

Sehingga, ia merasa gusar. Jika saja ia gagal melakukan rekognisi, dampaknya bisa pelik. Membuatnya harus mengulang semua mata kuliah satu semester dan telat lulus kuliah. Beruntung, setelah melewati drama saat tiba di kampus asalnya, akhirnya proses rekognisi bisa sesuai ekspektasi.

Penulis: Hammam Izzuddin

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Peserta Pertukaran Mahasiswa Kampus Merdeka Malah Jadi Beban, Malas Garap Tugas dan Tertinggal

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version