Kampung Kemasan, Potret Kejayaan Perdagangan Gresik di Masa Silam

Kampung Kemasan jadi saksi kejayaan Gresik sebagai kota pelabuhan dan perdagangan. Beberapa bangunan di kampung ini kini berstatus cagar budaya. Bangunannya lekat dengan arsitektur Belanda dan China.

***

“Gresik (dulu) merupakan kota pelabuhan yang teramai dan teraman. Banyak orang dari luar jawa butuh barang-barang yang tidak ada di daerahnya, seperti beras, sayur, dan sebagainya mampir ke sini. Awalnya orang-orang Gresik menjadi makelarnya. Setelah modal terkumpul, akhirnya berani mendatangkan barang sendiri dan lahirlah pedagang-pedagang besar yang juga diturunkan pada anak-anaknya,” tutur Oemar Djaenoedin (80), salah satu pegiat budaya dan sejarah Gresik yang tinggal di Kampung Kemasan.

Kampung Kemasan hanya berjarak sekitar 700 meter dari alun-alun Kota Gresik. Pada Hari Minggu (11/1/22), tepat di depan gang III Jalan Nyi Ageng Arem-arem, Kelurahan Pakelingan Gresik, Jawa Timur, saya berhenti di gapura merah bertuliskan “Gerbang Kemasan”.

Suasana Kampung Kemasan di siang hari (Nurfitriani/Mojok.co).

Sebuah galah kecil dari bambu menutupi gang tersebut. Saya bertanya pada seorang pria yang hendak keluar gang apakah boleh memasuki area ini. Setelah diperbolehkan, saya masuk melewati galah bambu perlahan.

Jalanan lengang, seekor kucing melintas. Beberapa deret rumah bergaya arsitektur tidak biasa mulai memanjakan mata. Deretan bangunan berukuran besar dengan warna dominan merah khas bangunan China dengan ornamen sulur berbentuk simetris.

Pilar-pilar berukuran besar menyangga atap ditambah pintu dan jendela berukuran besar seperti membawa saya ke nuansa Eropa. Sebagian besar kelihatan masih terawat, sisanya tampak kosong dan tak berpenghuni.

Sebelum melangkah lebih jauh saya mencari penghuni rumah yang bisa diwawancara. Maklum, saya berkunjung saat siang hari di mana kebanyakan pintu rumah tertutup. Beruntung seorang perempuan muda yang pertama saya temui mengaku bahwa kakeknya adalah salah satu tokoh yang paham akan cerita Kampung Kemasan.

Saya diajak masuk rumah menemui sang kakek. Begitu memasuki ruang tamu, terasa seperti berada di sebuah museum. Dinding sebelah kiri dipenuhi dengan foto lawas yang beberapa dicetak hitam putih bernuansa tempo dulu. Sisi kanan penuh dengan rak-rak dokumen dan benda-benda kuno tertata rapi. Tanpa basa-basi, sang kakek segera mempersilakan saya mengutarakan maksud kedatangan.

Kakek ini bernama Oemar Djaenoedin atau biasa disapa Pak Nood. Sebelum menceritakan kisah Kampung Kemasan, Pak Nood mengajak saya menyelami kemajuan Pelabuhan Gresik di masa silam.

Kejayaan Pelabuhan Gresik 

Pelabuhan-pelabuhan di Nusantara pada masa kuno tidak hanya berfungsi sebagai tempat bersandar kapal, namun juga menjadi pasar pertemuan saudagar asing dan lokal. Pada era kerajaan Majapahit, di kota-kota pantai utara Pulau Jawa, beberapa pelabuhan bermunculan yaitu Tuban, Gresik, Surabaya, Demak, Pekalongan, Cirebon dan Sunda Kelapa.

Pertengahan abad ke-14, Gresik merupakan daerah pantai yang pelabuhannya terbuka. Berdasarkan sumber primer sejarah tertua di Gresik yang termuat pada inkripsi nisan Leran, Pelabuhan Gresik sudah ada pada abad ke-11. Hanya saja nama Gresik belum muncul dan tak seterkenal empat abad setelahnya.

Disebutkan dalam buku Suma Oriental karya Tome Pires, Gresik merupakan “Permata Pulau Jawa di antara Pelabuhan Dagang”. Pada abad ke-15, Gresik telah menjadi Pelabuhan dagang terbesar di Pulau Jawa.

Sebagai kota bandar, Gresik banyak dikunjungi pedagang dari China, Campa, Gujarat, Arab, dan bangsa lainnya. Tak hanya berdagang, para pedagang muslim juga berdakwah dan menyebarkan agama islam.

Secara geografis, Gresik memiliki posisi strategis karena berada di pantai utara Pulau Jawa dengan kondisi bebatuan yang bagus. Hal ini memudahkan kapal untuk berlabuh karena memungkinkan tidak adanya proses pendangkalan pantai.

Selain itu pantai utara Gresik ini juga berhadapan dengan Selat Madura sehingga terlindung dari ancaman ombak dan angin yang besar. Dialiri oleh dua sungai besar, yaitu Brantas dan Bengawan Solo yang kata Pak Nood menjadikan Gresik semacam aliran komoditas regional di Pulau Jawa.

Kondisi tanah yang kurang subur mengakibatkan penduduk Gresik tidak menjadikan bertani sebagai profesi utama. Aneka pengrajin dan pedagang besar banyak lahir turun temurun dari kejayaan kota bandar. Mulai dari pengrajin rumahan hingga pedagang besar ada di sini, dari pembuat kopyah, sepatu, kulit hingga usaha perikanan.

Kejayaan bandar dagang Gresik ini terus berkembang dan mengalami pasang surut sampai pertengahan abad ke-19 dan berlanjut hingga awal abad ke-20, bersamaan dengan berdirinya Pelabuhan Tanjung Perak yang lebih modern.

Sejarah Kampung Kemasan

Tahun 1853, di tepi sungai yang menghubungkan Desa Telogo Dendo, Gresik, Tersebutlah Bak Liong, seorang pengrajin emas yang cukup terkenal. Berkat hasil karyanya yang bagus, banyak orang yang datang ke rumahnya untuk memesan emas atau hanya untuk sekedar membetulkan perhiasan. Lambat laun, orang menyebut kampung ini menjadi Kampung Kemasan (tukang emas).

Dua tahun berselang (1855), datanglah Haji Oemar bin Ahmad, seorang pedagang kulit untuk mendirikan rumah dua lantai dekat dengan rumah Bak Liong yang telah tiada. Kawasan Kemasan dinilai strategis untuk membangun rumah dan mengembangkan usahanya. Lantai pertama digunakan untuk keluarga dan penyimpanan kulit, lantai dua untuk sarang burung walet.

Atas kesuksesan bisnis kulit dan sarang burung waletnya, H.Oemar mendirikan empat rumah lagi enam tahun setelah rumah pertama berdiri. Tiga rumah berdekatan dengan rumah pertama, satu rumah lagi terletak tidak begitu jauh dari gang rumah pertama ini yang sekarang terkenal dengan ‘Gajah Mungkur’nya.

Setelah merasa kesehatannya berkurang (1896), H. Oemar mewariskan usahanya pada anak-anaknya. Usaha perkulitan ini akhirnya diteruskan oleh kelima anak H. Oemar. Mereka mendirikan sebuah pabrik penyamakan kulit di Desa Kebungson, Gresik. Pabrik ini berkembang  pesat dan tercatat telah memenuhi permintaan kulit dari 24 kabupaten di Pulau Jawa kala itu.

“Dulu banyak sekali permintaan mulai dari kulit kuda, kulit sapi, kulit kambing, kulit kerbau, saya masih menyimpan arsip sekitar 500 surat permintaan dari luar tadi ke usaha keluarga kami,” tutur Pak Nood.

Kesuksesan bisnis keluarga penyamakan kulit ini telah memberi tempat pada pengusaha pribumi kelas menengah di tengah tekanan sistem kolonial. Keberadaannya mampu memberikan banyak kontribusi bagi perkembangan Gresik sebagai kota dagang.

Mereka bahkan bisa bersaing dengan pedagang perantara yang sebagian besar berasal dari China dan Arab. Berkat pesatnya perkembangan bisnis kulit diiringi hasil dari sarang burung walet tadi anak-anak H. Oemar mulai membangun lebih banyak rumah di daerah Kemasan.

Oemar Djaenoedin, Pegiat Budaya dan Sejarah Gresik (Nurfitriani/Mojok.co).

“Orang Belanda waktu itu ya seneng wong dapat banyak pembayaran pajak dan kontribusi dari kami,” terang Pak Nood.

Pak Nood sendiri ternyata merupakan cucu dari salah satu anak H. Oemar bin Ahmad yang bernama H. Djaenudin. Saat ini Pak Nood ditunjuk untuk menjaga kawasan dan arsip kampung kemasan. Banyak wisatawan dari luar kota hingga manca negara datang ke Kampung Kemasan dan mencari Pak Nood untuk mendengar kisah dan membaca arsip Kampung Kemasan di masa lalu.

Misteri jendela asli dan palsu

“Jika belum memahami kisah Kampung Kemasan, banyak yang mengira bahwa bangunan-bangunan ini dulunya milik Belanda waktu jaman kolonial,” kisah Pak Nood.

Meski sekilas tampak dominan Eropa-China, namun dari segi fungsional banyak penataan yang sangat berbau Jawa. Seperti letak WC yang diposisikan sebelah kiri rumah, yang dikenal dengan istilah pekiwan yang artinya kiri. Ini merupakan tata ruang rumah tradisional Jawa yang terpisah dari bangunan rumah utama.

Selain itu, lantai dua yang digunakan sarang burung walet juga menjadi bukti khusus bahwa ini bukanlah rumah peninggalan Belanda. “Mana ada orang Belanda yang di atap rumah ada burung waletnya?” kelakar Pak Nood.

Mengenai kisah gaya arsitektur rumah-rumah di Kampung Kemasan ini, dulunya memang sengaja mendatangkan tenaga langsung dari China. Sehingga warna dominan merah terlihat jelas di sebagian besar bangunan yang ada.

Ciri arsitektur kolonial Belanda juga bisa dilihat dari denahnya yang simetri penuh serta konstruksi dinding menggunakan batu bata yang tebal. Langit-langit yang tinggi, beranda terbuka yang luas serta ventilasi silang yang baik merupakan bentuk penyesuaian terhadap iklim tropis yang lembab.

Tipe pintu dan jendela yang digunakan pada arsitektur ini adalah pintu rangkap dengan material kayu jati dan ornamen kaca. Pintu ini berfungsi untuk memudahkan sirkulasi udara sekaligus kebutuhan privasi.

Rumah di Kampung Kemasan dengan jendela palsu (Nurfitriani/Mojok.co).

Hal yang unik dari bangunan lantai duanya terdapat banyak jendela palsu. Saat daun jendela dibuka hanya akan melihat dinding yang rata tanpa lubang jendela. Ini dulu dibuat salah satunya untuk mengelabui pencuri. Jendela asli diperuntukkan untuk akses burung walet keluar masuk. Tidak heran jika dari empat jendela besar yang berjajar di lantai dua, hanya satu yang benar-benar berfungsi sebagai jendela.

Selain warna dominan merah, ciri arsitektur China dari beberapa bangunan rumah di kampung kemasan ini dapat dilihat dari penggunaan sumbu axis dan elemen penutup lantai dengan ornamen berbentuk octagon dan squares. Warna merah pada ciri arsitektur China dipercaya melambangkan kemakmuran, keberuntungan, kebajikan dan kebenaran. Beberapa ventilasi pada pintu dan jendela memiliki ornamen sulur yang simetris dan berbentuk tumbuh-tumbuhan diyakini Pak Nood mengadopsi gaya arsitektur dari Arab.

Perkulitan tumbang, usaha batik bertahan

Merasa cukup puas menelusuri rumah-rumah yang ada di gang kampung kemasan, saya menuju Gajah Mungkur yang letaknya di Jl Nyi Ageng Arem-arem No. 38. Meski berada di titik lokasi berbeda, namun bangunan Gajah Mungkur ini justru dijadikan ikon dari Kampung Kemasan.

Jika dibanding deretan rumah di Kampung Kemasan yang dominan merah, rumah Gajah Mungkur ini lebih banyak menggunakan warna krem dan hijau tosca serta berukuran lebih besar. Selain memiliki ukuran paling besar dengan arsitektur Eropa yang lebih dominan, terdapat patung gajah di halaman depan.

Kepala gajah ini menghadap ke teras rumah. Bagian belakang membelakangi jalan atau dalam Bahasa jawa ‘’mungkuri’’. Tidak ada filosofi khusus mengapa patung tersebut dibuat demikian.

Patung Gajah Mungkur (Nurfitriani/Mojok.co).

“Ya biar enak kalau dari teras bisa lihat muka gajah, bukan bokongnya,” kelakar Choiri (42), salah satu pewaris dari H. Jaelani (anak H. Oemar) yang dulu menjadi pemilik rumah Gajah Mungkur.

Selain bisnis penyamakan kulit, dulunya H. Jaelani ini juga mengembangkan bisnis rokok dan batik di daerah Solo. Pesatnya bisnis yang dikembangkan ini sampai menarik perhatian Raja Pakubuwono X untuk menjalin pertemanan dengan H. Jaelani hingga berkunjung ke rumahnya di Gresik.

“Saat itu usahanya berkembang pesat. Namun sempat vakum. Bermodalkan pengalaman dari mbah-mbah saya akhirnya memberanikan diri untuk meneruskan lagi bisnis batik Gajah Mungkur ini,” kisah Choiri.

Aneka batik di galeri Gajah Mungkur (Nurfitriani/Mojok.co).

Corak aneka batik di Gajah Mungkur ini mengangkat tema kearifan lokal khususnya Gresik. Mulai dari motif Damar Kurung, Ikan Bandeng, dan aneka motif lokal lain ada di galeri ini.

Choiri memadukan kearifan lokal dengan sentuhan modern di beberapa motif batiknya. Perpaduan antara kreatifitas dan mengikuti perkembangan permintaan pasar menjadi pegangannya untuk terus mengembangkan usaha batik ini.

Gajah Mungkur menjadi tujuan akhir saya saat berkunjung ke Kampung Kemasan. Sesaat pikiran saya melayang melihat megahnya bangunan-bangunan di Kampung Kemasan yang menjadi potret kejayaan Gresik di masa lalu, jauh sebelum dikenal sebagai kota industri dan destinasi untuk ziarah wali.

Reporter : Nurfitriani
Editor     : Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Wedang Bajigur Tamansari, Langganan SBY, Olahan Pensiunan Guru dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version