Profesi pawang hujan seringkali kita dengar berkaitan dengan hal mistis, benarkah demikian? Di Kota Semarang Mojok berbincang dengan seorang pawang hujan ihwal caranya menggeser hujan hingga bayaran yang biasa ia terima.
***
Senin siang (14/3/2022) awan di langit Kota Semarang tampak mendung. Awan hitam berarakan. Angin berhembus kencang. Dahan-dahan pohon beringin bergerak tak beraturan. Daun-daun terbang tersapu angin.
Hujan sebentar lagi akan turun. Usai memarkirkan motor, saya bergegas berjalan lebih cepat untuk singgah ke warung kopi yang berada di bawah pohon beringin. Melihat kursi sekeliling yang sudah ditempati para pembeli kopi, akhirnya saya duduk tepat di depan seorang pria paruh baya, lantaran kursi kosong hanya ada didepannya.
Pria tersebut memakai kemeja berwarna abu-abu dengan topi merah di kepalanya. Segelas kopi hitam ia seruput dengan perlahan. Rokok filter yang tersemat di tangan kanannya ia hisap sesekali.
Ketika saya meminta izin untuk duduk di kursi kosong depan pria tersebut, ia mempersilahkan saya hanya dengan menanggukan kepala. Namun, tiba-tiba pria paruh baya itu bergumam: “Ojo udan disik, ngaliho ngidul sik udane (jangan hujan dulu, ke selatan dulu hujannya),” kata pria tersebut pelan-pelan.
Mendengar ucapan tersebut, saya sempat mengerutkan dahi keheranan. Namun, anehnya tak lama kemudian, matahari tampak menembus daun-daun dari pohon beringin, lantas langit biru tampak jelas diatas kepala saya. Sepertinya tak jadi turun hujan.
Saya jadi penasaran, karena awan mendung benar-benar hilang dari langit. Sakti benar bapak bertopi merah di depan saya ini, apakah ia seorang pawang hujan. Dari pada dibikin mati penasaran, akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya dengan pria tersebut.
“Pak, mau niku nopo ngusir udan?” tanyaku.
Pria paruh tersebut, mengiyakan dengan tersenyum ramah pada saya.
“Iyo nduk,” jawab pria paruh tersebut.
Saya pun masih tak percaya, bahkan tambah penasaran. Kami pun akhirnya berbincang panjang. Pria berperawakan tanggung itu bernama Joko Purnomo, ia lahir 61 tahun silam di Kartasura, Jawa Tengah. Joko berprofesi sebagai pawang hujan yang acap kali membantu mengalihkan hujan saat ada acara.
Selain dipanggil dengan nama Joko, ia juga akrab disapa dengan nama Joko Mentik oleh sejumlah rekan-rekannya. Joko bercerita bahwa dirinya sering melakukan tirakat prihatin hingga akhirnya mampu menjadi pawang hujan.
Ia memulai laku prihatin sejak usia 10 tahun. Kala itu Joko tengah duduk dibangku Sekolah Dasar (SD). Ia mengaku diminta untuk puasa Senin Kamis, puasa mutih hingga puasa weton oleh sang kakek. Kakeknya bernama Djoyo Soekarto yang meninggal di usia 112 tahun pada tahun 1985.
Joko mengatakan bahwa sang kakek juga terkenal sebagai pawang hujan di wilayah Surakarta dan sekitarnya. “Dulu si mbah saya sebelum meninggal itu, minta saya buat puasa, katanya biar latihan prihatin,” kata Joko.
Joko ingat betul masa kecilnya kala ia harus memulai puasa yang menurutnya sangat berat jika dilakukan oleh anak usia 10 tahun. Hal itu lantaran puasa yang ia jalani bertahap dari puasa Senin Kamis, lantas dilanjutkan ke puasa weton hingga puasa mutih.
“Awalnya puasa Senin Kamis, kalau masih kecil itukan kadang suka iseng sama lupa kalau lagi puasa, pas lagi main, habis itu haus terus minum es, tapi lama-lama akhirnya terbiasa,” ujar Joko terkekeh kala mengingat masa kecilnya.
Laku prihatin terus dilakukan Joko hingga saat ini. Ia juga bercerita awal dirinya mulai menjajal kemampuan menjadi pawang hujan pada tahun 2000-an. Kala itu saudara Joko tengah memiliki hajat. Meski dirinya tak dimintai tolong untuk mengusir hujan, ia mencoba untuk menggeser mendung di sekitar rumah saudara yang tengah menggelar acara pernikahan.
“Waktu itu, saya tanya ke pak lik saya, apa sudah pakai pawang hujan, katanya belum, lalu saya coba geser hujannya, alhamdulillah bisa dan tidak turun hujan,” terang Joko.
Lantaran sering membantu saudara saat menggelar acara dengan kemampuannya, lambat laun Joko dikenal masyarakat sebagai seseorang yang punya kemampuan menggeser hujan. Meski kemampuannya sudah diakui oleh kerabat dan rekan-rekannya. Namun, Joko tidak menggangap dirinya sebagai pawang hujan.
Ia juga tak pernah mematok harga untuk membantu menggeser hujan bagi orang yang membutuhkan keahlian Joko. “Tahun 2015 saya baru berani menerima tawaran rekan kerja yang membutuhkan keahlian saya untuk mengusir hujan, itu juga tidak ada tarif yang dipatok, seikhlasnya mereka yang kasih aja,” ungkap Joko.
Ia memiliki cara berbeda saat menjalani rutual sebagai pawang hujan. Prosesi yang Joko Mentik laksanakan berbeda dengan pawang hujan pada umumnya. Pria 61 tahun yang kini menetap di Kota Semarang itu mengaku jika dirinya tak pernah memakai ubo rampe seperti dupa, kemenyan, bawang merah, cabai merah dan sapu lidi yang identik sebagai syarat mengusir hujan.
Menurut Joko, kala ia mendapatkan pesanan terkait jasa serta pekerjaan untuk mengusir hujan dalam suatu acara, ia hanya menjalani tirakat. Tirakat yang ia laksanakan hanya tidak tidur salam satu malam. Selebihnya ia pasrah kepada sang pemilik alam semesta.
“Saya tidak pernah pakai barang atau benda aneh-aneh kalau lagi kerja ngusir hujan, ya cuma tirakat tidak tidur semalam dan doa saja sama Allah,” jelas Joko.
Ia menegaskan, pawang hujan tak bisa menangkal hujan. Namun, hanya menggeser atau memindahkan hujan saja.
“Kalau yang buat hujan tidak turun atau menangkal itu tidak benar, cuma menggeser hujan saja. Misal, daerah sini sebenarnya mau hujan, saya geser hujannya ke laut atau arah sebaliknya,” beber Joko.
Lebih lanjut Joko menceritakan, sudah tujuh tahun dirinya berprofesi sebagai pawang hujan di Kota Semarang. Keahliannya menggeser awan mendung dan hujan mulai digunakan oleh sejumlah instansi-instansi di Kota Semarang. Mulai dari acara partai hingga konser musik besar yang disponsori rokok untuk berkeliling Indonesia selama satu bulan.
“Kalau pas dinas atau pemerintahan Jateng dan Kota ada acara biasanya juga pakai jasa saya buat ngusir hujan,” terang Joko.
Joko mengatakan, walaupun dibayar seikhlasnya, namun honor yang ia terima dalam mengusir hujan biasanya berkisar Rp500.000 hingga puluhan juta. Dalam satu bulan penuh ia pernah dipercaya menjadi pawang hujan dalam konser musik besar di sejumlah daerah Indonesia.
“Dalam satu bulan saya pernah diberi honor lebih dari Rp30 juta, waktu itu saya diminta jadi pawang hujan sama konser musik buat keliling Indonesia di beberapa provinsi,” katanya.
Joko mengungkapkan, permintaan mengusir hujan ketika acara besar seperti konser musik dan acara pemerintah, sempat terhenti selama dua tahun kala pandemi dan kebijakan PPKM diterapkan. “Kemarin waktu pandemi sempat sepi job,” ucapnya.
Soal ilmu yang diajari oleh sang kakek, Joko menuturkan ada satu pantangan yang dilarang oleh sang kakek. Dan ia tak pernah main-main mengenai pantangan tersebut. Pantangan ini dirinya dapatkan dari sang kakek almarhum Djoyo Soekarto sebelum meninggal. Jika Joko melalukan zina dengan perempuan yang bukan istrinya maka keahliannya menjadi pawang hujan akan hilang.
“Saya sudah diwanti-wanti sama mbah kakung saya, jangan sampai berzina apalagi sama perempuan yang sudah punya suami, itu akan membuat tirakat saya selama ini sia-sia dan keahlian menjadi pawang hujan luntur,” jelas Joko.
Sebelum mengakhiri perbincangan, Joko berpesan kekuatan doa menjadi senjata ampuh dalam setiap pekerjaan. Termasuk saat ia menjalankan jasanya sebagai pawang hujan.
“Kalau selama ini banyak anggapan nuklir jadi senjata paling ampuh, menurut saya itu salah. Bagi saya senjata paling ampuh adalah doa, menurut saya kekuatan doa sangat ampuh. Karena doa adalah media pengantar terbaik untuk mendapatkan ridho dari Sang Pencipta, dan saya melakukan hal tersebut setiap saat tak terkecuali saat melaksanakan pekerjaan sebagai pawang hujan,” pungkas Joko Mentik.
Reporter: Aninda Putri Kartika
Editor: Purnawan Setyo Adi