Jejak Mbah Brawud: Sosok Adipati Lasem yang Makamnya Jadi Tempat Mencari Pusaka

Makam Mbah Brawud atau Adipati Wirabraja di Rembang. Foto oleh Aly Reza/Mojok.co

Dalam catatan Naskah Carita Lasem gubahan Raden Panji Kamzah, Kadipaten Lasem didirikan oleh Pangeran Wirabraja pada 1469 M, satu tahun setelah Lasem dihapus dari daftar kerajaan bagian Majapahit. Dan di tangan Adipati Wirabraja atau dikenal sebagai Mbah Brawud inilah Kadipaten Lasem berada dalam masa terbaiknya. 

Sayangnya, masa kepemimpinan Sang Adipati terbilang sangat Singkat. Sebab, pada 1474 M ia meninggal dunia. Adipati Wirabraja kemudian dimakamkan di Logading, Desa Sriombo, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang.

Tapi untuk ukuran orang sebesar Adipati Wirabraja, saya melihat betapa makamnya tidak terlalu terurus. Bahkan tidak sedikit dari masyarakat Lasem sendiri yang tidak mengenal sosok Sang Adipati. Pertama kali saya sowan ke makam Adipati Wirabraja, lokasinya memang agak terpencil. Bangunannya juga tampak sangat biasa untuk sosok yang banyak disebut dalam catatan sejarah Majapahit tersebut.

Oleh karena itu, saya mencoba bertemu dan berdiskusi dengan beberapa orang untuk mengulik seberapa jauh mereka mengenal Adipati Wirabraja, juga sebab di balik minusnya perhatian masyarakat terhadap makam Sang Adipati.

***

Sejauh informasi yang saya dapat sebelumnya, makam Adipati Wirabraja memang tidak memiliki juru kunci. Karena itulah saya bermaksud menemui juru kunci dari makam Sunan Bonang, Gus Luthfil Hakim, mengingat lokasi makam keduanya hanya berjarak satu dusun. Barangkali saya bisa mengulik informasi darinya, atau minimal mendapat rujukan orang yang bisa saya ajak ngobrol mengenai makam Adipati Wirabraja. Maka pada Jumat sore, 10 September 2021, saya menuju ke Binangun, Lasem, untuk bertemu dengan Gus Luthfi.

Kebetulan di Jumat sore itu ada rombongan kecil dari Surabaya yang hendak berziarah ke makam Sunan Bonang. Jika ada peziarah, biasanya Gus Luthfi bisa ditemui di area makam. Dengan begitu maka saya tidak perlu susah-susah untuk sowan ke kediamannya.

Tapi dugaan saya meleset. Jumat sore itu yang berjaga di makam adalah Lukman Hakim (27), keponakan dari Gus Luthfi. “Kalau Jumat sore beliaunya di masjid, Mas. Jadi baru bisa ditemui bakda magrib. Memangnya ada perlu apa? Barangkali bisa saya bantu,” ucap Mas Lukman saat saya tanyai perihal keberadaan Gus Luthfi.

Saya lalu menjelaskan maksud saya untuk mencari informasi tentang makam Adipati Wirabraja kepada Gus Luthfi. Namun, menurut Mas Lukman saya salah alamat.

“Kalau juru kunci makam Mbah Brawud memang nggak ada, Mas. Mbah Juru Kunci (Gus Luthfi) kalau ditanya soal sejarah Mbah Brawud jawabannya pasti kurang lebih sama dengan saya. Maksudnya kami hanya tahu dikit-dikit. Ya sebatas bahwa beliau itu adalah Adipati Lasem gitu aja,” ujarnya.

Mas Lukman lantas menyarankan agar saya langsung menghubungi M. Akrom Unjiya, salah satu sejarawan di Lasem, penulis buku Lasem Kota Pusaka. Sayang, hingga tulisan ini saya tulis, ia tidak merespon, mungkin karena kesibukannya. 

Perdebatan perihal agama yang dianut Sang Adipati

Senin, 20 September 2021, setelah membuat janji melalui sambungan telepon, saya menemui Abdullah Hamid (60), pustakawan di Masjid Jami Lasem.

“Wah kalau itu lebih karena tidak banyak yang tahu saja tentang sejarah dari Mbah Brawud. Diakui atau tidak memang begitu kok. Masyarakat Lasem itu tidak banyak yang kenal. Padahal kalau dibilang penting, ya penting juga loh peran Adipati Wirabraja itu,” ucapnya memberi pendapat.

Ia lalu menunjukkan saya kopian beberapa lembar dari kitab Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung yang ditulis oleh Mbah Guru (tidak diketahui nama aslinya). Merujuk dari kitab tersebut, ia menceritakan sejarah singkat dari Bumi Lasem, dari kekuwuhan (pedesaan), kerajaan bagian, hingga menjadi kadipaten.

Berdasarkan kitab tersebut, seturut keterangan Abdullah Hamid, Lasem dulunya berupa hutan dan rawa-rawa. Lalu muncul lah toko bernama Ki Welug yang babat alas dan mendirikan sebuah kekuwuhan yang semakin hari semakin ramai. Lalu pada tahun 804 M ia menamainya dengan sebutan Lasem.

“Ini ada candrasengkalanya (hitungan tahun Jawa). Bunyinya akarya kombuling manggala. akarya itu 4, kombuling itu 0, dan manggala itu 8. Karena cara bacanya dibalik, jadi itu menunjukkan angka tahun 804,” terangnya. 

Abdullah Hamid, Pustakawan di Perpustakaan Masjid Jami Lasem menunjukkan naskah Cerita Lasem gubahan Raden P Kamzah. Foto oleh Aly Reza/Mojok.co

Abdullah Hamid melanjutkan, setelah Ki Welug wafat, bertepatan dengan masa-masa awal berdirinya Kerajaan Majapahit yang gencar melakukan ekspansi, Lasem kemudian diakuisisi dan dijadikan sebagai salah satu kerajaan bagian Majapahit, dipimpin oleh Rajasadhuhita Indhudewi atau disebut juga Duhitendu Dewi yang masih keponakan dari Prabu Hayam Wuruk, putri dari Bhre Pandan Salas.

Duhitendu Dewi melahirkan keturunan yakni Badra Wardhana yang memiliki putra Wijayabadra. Lalu Wijayabadra memiliki putra bernama Badranala. Dari Badranala inilah lahir Pangeran Wirabraja yang kemudian mendirikan Kadipaten Lasem pada 1469 M, satu tahun setelah Lasem dihapus dari daftar kerajaan bagian Majapahit

“Tapi ada yang menyebut bagian cerita Ki Welug tadi sebenarnya hanyalah cerita rakyat. Jadi yang umum untuk diketahui itu ya dari Lasem jadi kerajaan bagian Majapahit sampai akhirnya jadi kadipaten itu, Mas Aly,” jelas Abdullah Hamid penuh antusias.

Abdullah Hamid lalu membeberkan, ketidaktahuan masyarakat Lasem terhadap Adipati Wirabraja, menurutnya, karena rendahnya literasi masyarakat Lasem serta kurangnya perhatian dari pemerintah daerah. Namun, yang paling kentara lebih karena isu identitas. Mengingat ada tiga kelompok besar yang mendiami Lasem, yaitu kelompok santri, abangan, dan etnis Tionghoa.

“Kalau diperhatikan, orang-orang, khususnya dari kalangan santri, itu lebih suka ziarah ke makam-makam tokoh Islam. Misalnya, di Masjid Jami ini ada makam Mbah Sambu (Sayyid Abdurrahman Sambu), ulama yang diyakini berpengaruh dalam proses Islamisasi di Lasem. Sebenarnya juga tidak ada yang tahu sejarah persisnya Mbah Sambu itu seperti apa. Tapi karena merupakan tokoh Islam, jadinya ramai,” ungkapnya  .

Kalau diperhatikan, sebenarnya di area Masjid Jami Lasem juga terdapat makam Mbah Srimpet (Adipati Tejakusuma II) yang juga merupakan adipati Lasem yang memimpin bersamaan dengan eksisnya Kerajaan Pajang. Tapi atensi masyarakat terhadap makam Adipati Tejakusuma II, kecuali dari kalangan Abangan, lebih besar pada makam Mbah Sambu.

“Oh apa masyarakat mengira kalau Adipati Wirabraja itu bukan tokoh Islam nggeh, Pak?” tanya saya setelah memastikan Abdullah Hamid tidak melanjutkan penjelasannya.

Secara spontan ia menjawab bahwa soal itu dirinya tidak berani menyimpulkan sendiri. Karena akan menjadi isu yang sensitif. Lebih-lebih, meski saat ini Lasem tengah gencar-gencarnya mengampanyekan diri sebagai Kota Toleransi. Namun tidak bisa dimungkiri juga bahwa pada 2015 lalu sempat ada perdebatan antara tiga kelompok masyarakat yang saya sebut sebelumnya mengenai identitas dari Kota Lasem. Kota Santri kah? Kota Tiongkok Kecil kah? Atau Kota Budaya? Sampai kemudian diambil titik tengah dengan disebut sebagai Kota Pusaka.

Karena mengaku sudah tidak bisa memberi informasi lebih, saya kemudian mencukupkan obrolan dengan Abdullah Hamid sore itu. Saya lalu berpamitan kepadanya beberapa saat sebelum azan magrib berkumandang.

Kesimpulan saya sementara, bisa jadi ada perdebatan mengenai agama yang dianut oleh Sang Adipati. Hal yang mendasari adanya ketimpangan atensi masyarakat terhadap makam tokoh-tokoh penting Lasem. Seolah yang muslim hanya fokus pada tokoh muslim, dan seterusnya.

Dari kesimpulan tersebut lalu muncul satu pertanyaan besar, sebelum wafat apakah Adipati Wirabraja sudah memeluk Islam atau masih memegang keyakinan lamanya? Untuk pertanyaan tersebut, saya merasa perlu untuk mencari tahu jawabannya kapada Koh Lam (Mohammad Al Mahdi), founder sekaligus ketua dari Komunitas Lasem Kota Cagar Budaya (LKCB) yang juga merupakan pemerhati situs-situs kuno di Lasem.

Pembuka pintu Islamisasi di Lasem

Koh Lam mencoba meruntut riwayat dari Adipati Wirabraja dulu. Tujuannya, sebagaimana yang ia ucapkan, agar saya bisa memahami data-data yang menyinggung soal keyakinan yang dianut oleh Adipati Wirabraja.

“Pertama, perlu diketahui bahwa Mbah Brawud itu masih keturunan Tionghoa. Kok bisa? Nah, coba saya runtutkan ya,” ucap Koh Lam melalui sambungan telepon.

Ia lalu bercerita, bahwa pada saat Lasem masih menjadi kerajaan bagian Majapahit, Lasem memiliki kesyahbandaran yang cukup besar yang dikenal dengan Bandar Regol. Pada saat itu, wilayah di Bandar Regol dipegang oleh cucu dari Duhitendu Dewi selaku penguasa Lasem, yaitu Pangeran Wijayabadra.

Lalu pada 1413 M, ada sekelompok awak kapal Laksamana Cheng Ho yang dipimpin oleh Bi Nang Un merapat ke Bandar Regol. Ia meminta izin kepada Pangeran Wijayabadra untuk menetap di Lasem. Karena diizinkan, ia pun memberi hadiah dengan mempersilakan Pangeran Wijayabadra untuk memperistri putrinya, Bi Nang Ti.

“Nah, dari pernikahan keduanya ini lahirlah Pangeran Badranala. Lalu dari beliau lahir Pangeran Wirabraja yang kemudian mendirikan Kadipaten Lasem. Jadi, Mbah Brawud atau Pangeran Wirabraja ini masih keturunan Tionghoa karena simbah wadon-nya berasal dari Champa,” jelasnya.

“Sekadar tambahan ya, nama Bi Nang Un lalu diabadikan jadi nama daerahnya, jadi Binangun. Sementara Bi Nang Ti, karena ia dari Champa, maka lebih dikenal dengan sebutan Putri Champa. Ada yang menyebut Putri Champa yang makamnya di area Pasujudan Sunan Bonang, Lasem itu ya Bi Nang Ti ini. Tapi ada juga yang mengatakan beda orang,” imbuhnya.

Lebih lanjut, saya lantas menyinggung soal keyakinan yang dianut Adipati Wirabraja sebelum wafat.

Koh Lam menerangkan, dalam catatan yang ia temukan, tidak ada yang menyebut secara pasti mengenai keyakinan yang dianut Sang Adipati sebelum wafat. Hanya saja, Adipati Wirabraja memiliki andil besar dalam proses Islamisasi di Kadipaten Lasem.

Sebab, sebagai adipati pertama Lasem, ia lah yang membuka pintu masuknya Islam di Kadipaten Lasem, yakni melalui Sunan Ampel di Pesantren Ampeldenta, Surabaya. Bahkan ia mengirim putranya, Pangeran Wiranegara untuk nyantri di sana.

“Pangeran Wiranegara itu berteman dekat dengan anak Sunan Ampel, Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Makanya ia diminta Mbah Brawud untuk ngajak Raden Makdum Ibrahim buat dakwah di Lasem. Malahan ia juga menikah dengan mbakyu-nya Raden Makdum Ibrahim, Nyai Ageng Maloka. Makamnya ada di Pantai Caruban, Lasem, itu,” terangnya.

“Dari sini ada yang menyebut kalau sebenarnya Mbah Brawud itu sudah masuk Islam lantaran hubungan dekatnya dengan Kanjeng Sunan Ampel. Tapi ada juga yang menyebut kalau itu hanya bentuk hubungan diplomatis saja. Artinya, Mbah Brawud masih menganut Hindu,” sambungnya.

Perdebatan mengenai keyakinan terakhir yang dianut Adipati Wirabraja memang menjadi semacam teka-teki. Apalagi dalam Naskah Carita Lasem disebut, Adipati Wirabraja berwasiat kepada Pangeran Wiranegara yang intinya adalah agar memberi keleluasaan bagi masyarakat Lasem yang ingin memeluk agama Islam. Berikut penggalan bunyi ucapan dari Sang Adipati:

“…Lan supaya nglegakno kawulane padha ngrasuk agama Rasul. (Dan supaya memberi keleluasaan pada rakyat untuk memeluk agama Rasul (Islam)).”

Mengutip keterangan M. Akrom Unjiya dari bukunya, Lasem Kota Pusaka, wasiat itu lah yang mendasari Pangeran Wiranegara kemudian memanggil Raden Makdum Ibrahim untuk berdakwah di Lasem, tepatnya di Bonang. Sehingga kemudian Raden Makdum Ibrahim mendapat gelarnya sebagai Sunan Bonang.

Tapi, sama seperti Abdullah Hamid, Koh Lam tidak berani memberi statement mengenai hubungan antara keyakinan yang dianut Mbah Brawud dengan makamnya yang terbengkalai.

Saya akhirnya mencoba menghubungi M. Fajar (25), kawan saya yang merupakan mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus pegiat di LKCB. 

“Intinya gini, Ly, kalangan putihan, ya sebut saja orang-orang Islam, khususnya santri, itu kan mestinya nggak mau to ziarah ke makam orang non-muslim. Nah, masalahnya Mbah Brawud ini simpang siur. Karena banyak yang menduga kalau beliau masih Hindu, jadinya nggak ada yang ziarah ke makamnya. Bener juga contoh yang dikasih sama Pak Hamid. Meski sama-sama nggak tahu sejarahnya, pokoknya asal itu tokoh yang seiman jadinya punya atensi lebih besar ketimbang tokoh-tokoh yang diduga dari aliran Majapahit gitu,” ucapnya dengan asap rokok yang mengepul dari bibirnya.

“Kenapa makam Mbah Brawud sepi? Pertama, karena emang nggak banyak yang kenal dan tahu sejarahnya. Kedua, kalau ada yang tahu, ada saja yang bawa isu identitas. Ya soal keyakinan tadi lah. Ketiga, pemerintah daerah kita kayaknya nggak lincah buat ngurusin ini. Padahal kan bisa dimaksimalkan sebagai objek wisata sejarah,” tambahnya.

Saya menghubungi Budi Darmawan selaki Kepala Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Rembang soal keberadaan makam Adipati Wirabraja yang terkesan nggak diurus.

“Bukan gitu, bukannya kita-kita ini nggak ada perhatian, Mas,” ujar Pak Budi Darmawan,saat saya singgung mengenai upaya TACB dan Pemkab Rembang untuk merawat dan mengoptimalkan keberadaan makam Adipati Wirabraja.

“Beliau itu tokoh besar dalam sejarah Lasem. Jadi tetap ada upaya untuk merawat peninggalan, baik itu makam atau yang lain,” katanya.

Ia menjelaskan, sebagai upaya pelestarian dan pengenalan sosok Adipati Wirabraja kepada masyarakat secara luas, ia dan Pemkab Rembang akan memaksimalkannya di proyek pembangunan Lasem Kota Pusaka yang sudah berjalan sekarang ini.

Dalam proyek tersebut, selain membenahi tata kota Lasem juga digunakan untuk optimalisasi situs-situs dan makam-makam bersejarah yang ada di Lasem di sektor pariwisata.

“Dilihat dari temanya kan memang Lasem Kota Pusaka, Mas. Jadi ya tetep ada upaya kok untuk melestarikan situs atau makan bersejarah yang ada di sini. Dan itu prosesnya bertahap,” ucapnya dengan suara berat.

“Masalahnya itu gini, kadang kalau kita kelihatan memperhatikan situs-situs dari Pecinan atau yang dari Majapahit gini, yang dari kalangan santri ada yang protes. Kok situs Islam nggak? Begitu juga sebaliknya. Istilahnya ya iri lah. Padahal kita itu coba satu-satu, gantian. Semua kita perhatikan kok. Cuma gantian,” terangnya.

Dalam komunikasi yang tidak terlalu panjang itu, Pak Budi menekankan bahwa Lasem bukanlah milik satu identitas kelompok tertentu, melainkan milik bersama. Sehingga jangan sampai ada benih-benih intoleransi. Ia juga mengaku sedang mengupayakan banyak hal agar setelah proyek Lasem Kota Pusaka selesai, maka seluruh situs dan warisan budaya leluhur bisa terakomodir dengan baik dan bisa dikenal publik secara lebih luas.

Menjadi objek untuk mencari pusaka

Atas saran Fajar, pada Jumat, 24 September 2021 saya menemui Mohammad Fais (49), salah satu warga Desa Binangun yang menurut Fajar punya ketertarikan tersendiri dengan hal-hal yang berbau sejarah. Lebih karena ia memiliki semacam kemampuan untuk berkomunikasi dengan arwah-arwah, termasuk yang berasal dari masa lalu (khodam leluhur).

 

Pintu masuk area makam Adipati Wirabraja. Foto oleh Aly Reza/Mojok.co

Selepas asar di hari Jumat itu, Pak Fais mengajak saya untuk melakukan sedikit ritual di makam Adipati Wirabraja.

Saya awalnya hanya ingin mengulik seberapa tahu Pak Fais terhadap sosok Adipati Wirabraja. Namun, ia malah menjawab, “Saya ini cuma tahu kalau beliau dulu adalah Adipati Lasem yang pertama. Biar kamu dapat jawaban, mending langsung ke makam saja, nanya langsung ke beliau.”

Jawaban yang sebenarnya membuat saya hendak membatalkan wawancara dengan Pak Fais. Tapi mau gimana lagi, sudah terlanjur. Meski dengan deg-degan dan merinding, saya sepakat untuk membonceng Pak Fais ke makam Adipati Wirabraja.

Masih sekitar pukul 16.30 WIB, tapi suasana makam terasa benar-benar wingit. Tidak ada orang. Hanya terdengar suara batang-batang bambu bergesekan dan suara dahan-dahan pohon yang tersaru angin. Membuat saya semakin merinding.

“Nggak usah difoto. Langsung ikut di belakangku saja,” ucap Pak Fais kepada saya.

Pak Fais lalu meminta saya duduk di depannya, memejamkan mata dan fokus. Katanya, agar Sang Adipati menemui saya sendiri. Sementara Pak Fais menyentuh punggung saya dari belakang sambil membaca mantra yang entah apa.

Sekitar 20-an menit saya melakukan hal tersebut, dan Pak Faispun meminta saya membuka mata. Kami lalu beranjak pulang.

Saat dalam perjalanan kembali ke kediaman Pak Fais itu, ia mengatakan bahwa selama ini makam Adipati Wirabraja hanya sering digunakan sebagai objek untuk mencari pusaka.

Bagi orang-orang penyuka klenik, mereka memang suka melakukan ritual di makam-makam kuno guna mendapatkan gaman, entah akik, keris, dan lain-lain. Tidak terkecuali di makam Adipati Wirabraja. Namun mereka tidak tahu menahu soal sejarah dari Sang Adipati. Karena yang penting itu adalah makam kuno, maka tidak terlalu penting juga bagaimana sejarahnya. Yang penting bisa dapat gaman dari sana.

“Yang saya tahu dari cerita-cerita orang-orang tua, intinya Mbah Brawud itu istilahnya dulu adalah penguasa di Lasem ini. Terus dimakamkan di sini. Itu saja. Selebihnya sampean tanya-tanya sama yang ahli saja. Untuk menerangkan sejarahnya, itu sudah jadi tugas mereka,” ucapnya sesaat setelah kami tiba di rumahnya kembali.

“Lah tadi kamu kan udah ditemui to sama beliaunya langsung? Dapat bisikan apa? Terus tadi lihat nggak ada tiga macan yang berjaga di makam Mbah Brawud?” tanya Pak Fais kepada saya.

Saya hanya mengangguk. Bukan karena memang saya benar-benar bertemu dengan khodam Adipati Wirabraja. Tapi karena sepanjang ritual tadi saya memilih untuk sengaja tidak fokus, sehingga saya sama sekali tidak mendapat penglihatan gaib. Saya masih belum siap mental. Mungkin lain kesempatan saja saya akan sungguh-sungguh melakukannya.

BACA JUGA Cerita Cinta Anak Simpatisan PKI yang Nikah dengan Polisi dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version