Lika Liku Rancunya Lapen dan Oplosan

Lika liku rancunya lapend an oplosan

Lika liku rancunya lapend an oplosan

Bagaikan toserba, Jogja punya banyak macam miras. Dari yang botolan beling berharga ratusan ribu sampai jutaan, sampai dikemas botol plastik bekas yang cuma puluhan ribu saja. Dari cocktail berbahan vodka impor, sampai oplosan berbahan obat nyamuk. Semua lengkap di Jogja.

Beberapa orang menyebut oplosan ini sebagai lapen. Ada yang bilang singkatan dari langsung pening, ada juga yang bilang langsung penak. Tapi apakah lapen itu sama dengan oplosan?

Oplosan diciptakan demi khasiat pengobatan dan cita rasa

Bicara sejarah, ingin saya mewawancarai Mbah Yanto (84). Juru supit gelandangan yang kebetulan eyang saya memang drunken master di masanya. Sayang sekali, stroke yang menyerang eyang saya membuat saya sulit mewawancarai perihal ini. Apalagi ketika eyang saya sudah meninggalkan dunia miras jauh-jauh hari.

“Oplosan dulu itu bukan buat mabuk thok. Dulu lebih mudah cari minuman botolan daripada oplosan,” ujar Mbah Yanto sekuat tenaga mengenang masa mudanya. Ditekankan, tempat jual beli miras dulu juga lebih terbuka.

Mbiyen aku langganan warung di barat Tamansari. Bentuknya seperti warung jamu itu,” imbuh Mbah Yanto lagi.

Menurut Mbah Yanto, oplosan lahir sebagai solusi rasa miras yang membosankan. “Rasane Mansion, Drum, dan Topi Miring Cuma itu-itu saja. Pahit vodka. Jadi dulu orang seperti Aseng mencoba nyampur miras tadi dengan rasa,” ujar Mbah Yanto.

Aseng adalah salah satu pelopor oplosan “enak” yang sering kumpul dengan eyang saya. Sayang sekali, orang yang saya panggil Om Aseng ini telah meninggal beberapa bulan sebelum tulisan ini terbit.

“Dulu eyang itu jadi juru icip, makanya Om Aseng tidak disukai eyang putri. Lha setiap pulang eyang selalu mabuk,” imbuh Bu Retno (49), putri Mbah Yanto yang kebetulan ibu saya.

Tapi rasa bukanlah segalanya. Maksudnya, ada juga oplosan yang diciptakan tanpa peduli dengan rasa. Justru oplosan ini dipercaya menyehatkan. Kali ini narasumber saya adalah Pak Iwan (52). Sama seperti Mbah Yanto, Pak Iwan juga drunken master di masa mudanya. Bahkan sering minum bareng Mbah Yanto saat SMA.

“Dulu oplosan itu dicampuri gingseng dan tangkur naga. Makanya kalau orang tua menyebut oplosan sebagai “gingseng”. Jadi gingseng tadi dicelupkan ke botol miras biar khasiatnya tercampur,” ungkap Pak Iwan.

“Termasuk dicemplungi cindil,” tanya saya penasaran. Cindil adalah anak tikus yang masih merah dan menggemaskan itu.

Marzuki Mohammad atau Kill The DJ berbincang dengan Kepala Suku Mojok, Puthut EA tentang Orang Kecil di Larang Mabok hingga UU ITE.

“Itu juga bisa. Bisa juga dimasukkan ular kobra atau kalajengking. Pokoknya biar zat dari hewan tadi bisa tercampur di oplosan,” jawab Pak Iwan sambil menyesap rokok. Blio menambahkan, salah satu kedai “gingseng” yang moncer ada di area Jalan Jogja-Solo. Sangat mungkin yang dimaksud oleh pak Iwan ini adalah Jamu Santoso.

“Dulu itu warung miras benar-benar terbuka. Seperti burjonan. Tapi yang dipajang bukan botol cola tapi botolan miras. Apalagi merk Drum, dulu jadi favorit,” tambah Pak Iwan menguatkan jawaban Mbah Yanto tadi.

“Termasuk warung gingseng. Malah dipamerkan botol yang dicemplungi hewan-hewan tadi,” imbuh blio sambil kembali menyesap rokok.

Yang benar lapen atau oplosan?

Nah, bicara lapen yang kemudian diidentikan sebagai miras oplosan ini cukup seru. Beberapa orang memandang lapen berbeda dengan oplosan. Tapi tidak sedikit yang memandang lapen sama dengan oplosan.

Wendra (42) jurnalis media nasional yang berdomisili di Semarang ini mengaku mulai minum Lapen usia SMP, sekitar tahun 1995. Baginya lapen dan oplosan itu berbeda. Di masa remajanya, lapen merujuk pada Jamu Santoso yang kemudian dikenal dengan sebutan Lapen Santoso.

“Lapen Santoso itu dulu terkenalnya jamu. Saya masih ingat begitu masuk aromanya itu sangat khas. Suasananya redup, aroma rempah, bahkan bau telur itu langsung terasa,” kata Wendra saat berbincang di Omah Minggir.

Ditemani segelas anggur merah di malam yang berangin, Wendra bercerita, selain aroma rempah yang sangat kuat, di Jamu Santoso juga banyak toples kaca berukuran besar berisi ramuan jamu yang berisi rendaman tangkur kidang, buaya, dan tangkur hewan lainnya. Pembeli nantinya akan minum di tempat.

“Setahu saya yang ditoples-toples itu untuk vitalitas pria. Jamu biar kuat lah,” katanya. Wendra bertutur, pengujung Jamu Santoso saat masih di Jalan Solo rata-rata memang orang tua. Itu karena secara harga termasuk mahal untuk ukuran kebanyakan.

Sampai usia SMA, ia minum Lapen Santoso pun karena diajak atau dibelikan oleh teman-temannya. Waktu itu tidak ada tujuan untuk mabok.

Wendra baru merasakan perbedaan rasa saat Lapen Santoso pindah di daerah Mrican. Tak jauh dari kampusnya saat itu di Fisip Universitas Atmajaya Yogyakarta. “Mben dino, aku ngombe lapen nang Mrican. Tapi  wis beda rasane, meski aroma jamunya masih kuat. Kalau bisa minum sampai dua gelas itu sudah top!” kata Wendra menggerakan dua jempolnya.

Wendra tidak tahu kenapa ramuan Lapen Santoso berbeda dengan yang saat masih di Jalan Solo, dengar-dengar karena pecah kongsi. Yang jelas, kandungan alkohol di Lapen Santoso saat di Mrican sudah tinggi. Orang minum tujuannya bukan untuk sehat lagi, tapi memang untuk mabok. “Saking seringnya minum lapen, saya sampai sering ngutang, lah tongkrongannya di situ,” katanya.

Bukan hanya di Mrican, di tahun-tahun itu, Wendra juga hampir tiap malam minum di kawasan Pajeksan. Kawasan ini jadi titik temu anak-anak muda di Yogyakarta, tertutama mahasiswa, seniman, komunitas-komunitas musik indie, anak punk. Meski minum alkohol, tapi tidak ada keributan, orang-orang yang datang memang ingin berjejaring. “Hebatnya dulu di Pajeksan, itu ora pernah nemoni cah sik nganti gelut,” kata Wendra.

Wendra mengingat, meski orang-orang di Pajeksan menyebut minuman alkohol yang mereka minum adalah lapen, tapi sangat berbeda dengan Lapen Santoso. “Ini minumannya lebih kontemporer, campurannya itu alkohol sama susu dan ada banyak pilihan rasa, tapi orang-orang sebagian besar nyebutnya tetap lapen,” kata Wendra.

Bahkan ia ingat kakak kelasnya di SMA De Britto dulu bahkan sampai membuat kelompok, namanya Lapen Boys. “Tidak harus minum Lapen Santoso, yang penting ada alkoholnya disebut Lapen,” katanya.

Narasumber lain, Mas Adit (28) memandang lapen bukanlah oplosan. “Kalau lapen ya lapen. Setahuku itu hasil fermentasi tetes tebu,” ujar sahabat saya yang masih saja gemar minum miras.

“Kalau oplosan ya disebut oplosan.saja. Atau malah diberi nama sesuai nama si pengoplos. Misal Santoso, itu jelas oplosan aneh-aneh. Tapi sudah punah karena Pak Santoso sudah tidak produksi. Katanya sudah meninggal,” tambah Mas Adit sambil mengenang minuman yang cukup akrab bagi kami.

“Sek, Santoso itu oplosan,” tanya saya tegas dan sedikit takut.

“Lha iyo. Lha dikira warna kuning itu dari apa? Paling itu dari revanol,” jawab Mas Adit. Revanol adalah cairan pembersih luka yang berwarna kuning itu.

“Lha kok aku disuruh minum itu,” tanya saya marah. Saya baru sadar minuman yang dulu dibawa saat Mas Adit manggung itu ternyata oplosan. Mas Adit hanya tertawa melihat saya senewen.

Angga menuang minuman yang ia sebut lapen. Foto oleh Gusti Aditya

Tapi saya belum puas dengan jawaban Mas Adit. Saya ingin dengar langsung bagaimana para peminum zaman lampau ini menyebut oplosan. Mas Jati (44) bercerita tentang masa mudanya. Mas Jati sering nongkrong di area Pajeksan barat Malioboro. Di sana memang ada satu produsen oplosan terkenal. Bahkan baru beberapa tahun ini saja berhenti produksi.

“Tapi namanya bukan lapen mas. Namanya tergantung rasa minuman. Ada leci, ada moka. Ada susu macan,” jawab Mas Jati. Blio belum pernah meminum oplosan yang disebut lapen.

Hal senada diungkapkan Mas Yo (41), setahunya lapen kemudian diidentikan dengan oplosan. Saat sering nongkrong di Pajeksan, orang-orang memang ada yang menyebutnya sebagai lapen. Saat itu, keistimewaan minumannya memang pada rasa.

“Kalau yang oplosan benar-benar,  itu yang dicampur macem-macem. Teman saya beberapa meninggal karena merasa kurang nendang, jadi dicampur sendiri. Untung saya dulu tidak mau mencoba. Teman saya ada yang mati, adapula yang kemudian buta,” kata Mas Yo.

Mas Yul (41) salah satu montir langganan saya menyetujui istilah lapen. “Sak ngertiku, lapen ya oplosan mas. Tapi memang banyak yang menyebut oplosan ya oplosan saja. Tapi kalau teman-temanku menyebut oplosan pada umumnya sebagai lapen. Kecuali yang sudah punya nama sendiri akan disebut sesuai namanya,” ujar Mas Yul.

Bertamu ke simbah penjual ciu

Saya dan Angga masuk ke sebuah pelataran lumayan luas, lalu melewati sebuah Masjid. “Lah, lah, lah,” begitu batin saya ketika Angga membelokan motornya ke halaman Masjid. Hati saya mencelus. Sebenarnya lebih ke bingung.

“Motornya taruh sini saja,” kata Angga. Di sana, sudah ada beberapa motor yang terparkir. Sedang di dalam Masjid, terdapat beberapa orang yang melihat kami. Kemudian pandangannya berlalu seperti angin malam yang menerjang gelapnya malam. Dan nampaknya, hal ini menjadi pemandangan yang lumrah.

“Lah, aku kan mau liputan tentang lapen, bukan air zam-zam,” kata saya, lalu disambut senyum masam dari Angga. Senyumnya, seperti menyuruh saya untuk jangan banyak cakap sebelum semua keamanan lengkap.

“Tunggu di sini dulu,” kata Angga, ia ke arah belakang Masjid, lalu menghilang. Entah hilang atau bagaimana, ia tidak kembali selama lima belas menit.

Makin lama, makin bertambah lagi beberapa muda-mudi yang memarkirkan motor di dekat saya. Matanya lekat-lekat mengamati saya, sedang saya ngewel mbregeli sembari pura-pura bermain ponsel. Mereka berlalu, menghilang di jalan yang sama dengan jalan gelap yang ditempuh oleh Angga. Hilang. Satu persatu hilang.

Ponsel saya berdering, dari Angga, “Masuk aja. Di jalan yang sama. Ada rumah gubuk, lalu masuk,” singkat, padat, dan asu sekali. Bagaimana nggak asu, lha wong ketika melewati jalanan tersebut, beberapa pemuda di depan rumah gubuk itu melihat saya dengan wajah yang nggak ramah. Saya seperti seorang perempuan yang canggung melewati jalan penuh mas-mas gabut ketika hendak jajan ke warung.

Sesampainya di dalam, saya disambut Angga dan satu orang yang sudah nampak berumur, namun memperlihatkan sisi prima. Setelah beberapa basa-basi, saya ketahui bahwa itulah Simbah. Usianya sekitar enam puluh tahun. Matanya sayu, tak akan menyangka ia menjual miras semisal saya bersua dengannya di tempat lain, di luar rumahnya.

“Mau cari tahu tentang apa? Lapen?” katanya. “Ini saya menjual beberapa air jahat. Tapi tidak ada lapen,” katanya, berbalik dan membuka sebuah ruangan. Di sana ada beberapa jeriken air yang katanya berisikan ciu. Nantinya, jeriken-jeriken ciu itu akan bermuara ke dalam botol air mineral, ukurannya sesuai porsi pesanan.

Simbah pernah menjual sekaligus meracik lapen. Katanya, “Saya bikin, tapi jujur udah lama sekali. tahun 2000-an awal. Saya biasanya ambil dari Klaten dan Sleman. Katanya, di sana racikannya paling joss. Dicari dan dinanti. Bisa sampai 80% lho (kadar alkoholnya, red). Bahan-bahannya campuran obat-obatan kimia, air tetes mata, autan, perasa, sampai daun-daun organik. Ketika diminum, semriwing di kepala, panas di badan, dan tenggorokan kebas sementara. Seperti definisnya, langsung pening.”

Simbah bercerita, sejarah asal mula lapen simpang siur. Ada yang cerita, si A menantang si B guna adu tanding, racikan siapa yang paling nikmat. Keduanya—si A dan B—tewas akibat racikan masing-masing.

“Banyak sejarahnya, banyak juga versinya. Yang asli yang mana, nggak tahu juga. Ada juga yang bilang, bahwa lapen itu ya lahir dari kondisi masyarakat Jogja yang miskin saat itu. Untuk menghemat, mereka akhirnya ‘berkreasi’ dengan mencampurkan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka.”

Dari silang pendapat ini, kami memandang, kata lapen mengalami perubahan makna dalam perjalanan sejarahnya. Butet Kartaredjasa, budayawan cum seniman ini yakin, sama seperti Wendra, mengenal kata lapen saat datang ke warung Jamu Santoso. Tergantung usia dan pergaulan seseorang pada masanya.

Reporter : Gusti Aditya dan Dimas Prabu Yudianto

BACA JUGA Liputan Jogja Bawah Tanah, tema Lapen lainnya

 

Exit mobile version