Sebuah permukiman kumuh berdiri di tengah riuhnya wisatawan Pantai Parangkusumo, Bantul, DIY. Permukiman itu bernama Kampung Kalimati yang diisi oleh para pendatang. Mereka bermukim, berkeluarga, dan berjuang mencari nafkah demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Alih-alih terwujud, mereka justru diasingkan karena pekerjaannya sebagai pemulung. Terlebih, dampaknya tidak hanya kepada orang dewasa, tapi juga merembet ke kesejahteraan anak yang tinggal di sana.
Menyusuri gang sempit Kampung Kalimati, Bantul
“Sekian lama, aku menunggu, untuk kedatanganmu….”
Petikan lagu berjudul “Menunggu” itu nyaring terdengar saat saya memasuki gang kecil di antara warung-warung makan di sekitaran Jalan Pantai Parangkusumo, Bantul, DIY.
Dari yang saya tangkap, suara itu bukan keluar dari Ridho Rhoma, sang penyanyi asli. Melainkan dari bapak-bapak yang sedang karaokean.
Nyanyian bernada fals dari bapak-bapak itu, sudah jadi hal lumrah di sini, terutama ketika sore hari. Sebab, lokasi yang saya datangi memang terkenal dengan dunia malamnya. Ada banyak penginapan, warung makan, dan tempat karaoke di sana.

Suara sumbang tadi mengiringi perjalanan saya dan reporter Mojok, Aly Reza, menuju rumah Is (40), salah satu warga Kampung Kalimati, Bantul, Minggu (29/12/2024).
Saya baru saja mengenalnya siang tadi saat berbincang dengan anaknya, Mila (12), di suatu tempat belajar komunitas taman baca sekitar Pantai Parangkusumo, Bantul.
Saya izin kepada Mila untuk bersilaturahmi dengan ibunya. Ia pun menyanggupi. Maka, bergegaslah saya, Aly Reza, Mila, adiknya, dan dua temannya yang juga tinggal di Kampung Kalimati. Kami berjalan kaki sekitar pukul 17.00 WIB.
Untuk sampai ke rumah Mila, kami terlebih dulu harus melewati jalanan becek. Maklum, jalan setapak di sana adalah tanah cokelat. Sementara kawasan Parangkusumo-Parangtritis memang diguyur hujan lebat seharian penuh.
Sekitar 50 meter dari mulut gang, kami sudah melihat tiga orang perempuan yang tengah duduk-duduk di balai bambu. Halaman rumah mereka berdinding kayu agak reyot, persis di bawah pohon kersen. Dari kejauhan, cengkerama mereka tampak gayeng sekali.
Dari Pati ke Parangkusumo, Bantul demi mengubah nasib
Tiga perempuan tadi bernama Kamtini (45), Is, dan Yanti (38). Anak-anak langsung menyalami mereka dan masuk ke dalam rumah, kecuali Mila.
“Sini, Mbak, Mas. Duduk sini,” ujar Is, ibunya Mila, mempersilakan kami duduk sembari menatakan sebuah kursi plastik berwarna hijau. Sementara dirinya duduk di atas dingklik, karena itu saya merasa tidak sopan. Tapi Is meminta kami untuk biasa saja.
Baru saja saya dan Aly Reza memulai obrolan, bunyi “kraaak,” terdengar. Balai bambu tempat Kamtini, Yanti, dan Mila cangkruk ambruk. Kami lalu sama-sama terkesiap. Namun, mereka justru tertawa. Dari insiden kecil itu, obrolan kami langsung mengalir akrab.
“Ini mbakyu saya, namanya Kamtini. Kami dari Pati, Jawa Tengah. Kalau Yanti ini dari Jepara,” ujar Is mengenalkan diri kepada kami. Mereka sudah puluhan tahun tinggal di Kampung Kalimati, Bantul.
Is mengaku, ia sesekali menyempatkan pulang ke kampung halamannya di Pati. Berbeda dengan Kamtini yang sudah tidak pernah pulang sama sekali. Walaupun di Pati dia masih punya bapak dan adik-adik.
“Ya karena sudah nyaman hidup di sini, Mbak,” ujar Kamtini.
Baik Is, Kamtini, maupun Yanti, lupa kapan persisnya mereka menetap di Kampung Kalimati. Kamtini hanya mengingat, awalnya ia bertemu dengan sosok laki-laki yang kini menjadi suaminya tanpa sengaja di kawasan Pantura.
Lalu setelah menikah, Kamtini diboyong ke Kampung Kalimati. Di kampung inilah kemudian ia hidup sampai sekarang, hingga memiliki seorang putri bernama Mila, anak kecil yang memandu saya ke tempat ini.
Dari beternak kambing menjadi juragan kos
Pada masa-masa awal tinggal di Kampung Kalimati, Bantul, Kamtini sempat beternak kambing. Ada sekitar 40 ekor yang dia pelihara. Kemudian, semuanya dia jual. Hasilnya untuk membuat kos ala kadarnya yang diperuntukkan bagi para pemulung di Kampung Kalimati–mengingat makin hari tempat itu makin padat. Banyak pendatang luar daerah yang turut menetap di sana.

Kamtini kini memiliki sembilan kamar kos. Mayoritas terbuat dari bangunan kayu khas perkampungan nelayan di pesisir Pantura. Dindingnya terbuat dari tembok bercat putih yang sudah memudar. Atapnya asbes berlapis seng yang mulai berkarat, dan berlantai tanah.
“Kalau kos di saya, saya kasih Rp400 ribu per bulan. Yang ngekos ya macam-macam. Ada yang dari Semarang, Jogja-an sendiri juga ada, pendatang dari daerah lain juga ada,” terang Kamtini.
Meskipun mayoritas penghuni Kampung Kalimati adalah pendatang, lambat-laun mereka saling kenal dan saling akrab satu sama lain. Begitulah akhirnya Kamtini mengajak Is, adiknya, untuk turut serta merantau, hingga akhirnya akrab dengan Yanti, pendatang asal Jepara yang kini jadi tetangganya.
Mekanisme bertahan hidup warga Kampung Kalimati, Bantul
Mendengar cerita Kamtini, saya jadi membayangkan, mengapa ia memilih menggunakan modal dari hasil menjual kambing untuk membangun kos-kosan dan memulung, bukan membuat bisnis lain? Misalnya, rumah makan.
Kalau dihitung, harga untuk satu ekor kambing di tahun 2010 saja bisa mencapai Rp1 juta. Sementara jika ditotal, untuk 40 ekor kambing miliknya, Kamtini bisa mendapat uang segar Rp40 juta.
Kamtini sendiri tidak menjelaskan alasannya memilih bikin kos-kosan murah bagi pemulung, alih-alih berbisnis lain. Namun, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) AB. Widyanta atau yang akrab dipanggil Abe menjelaskan, fenomena tersebut terjadi akibat adanya bias kelas.
Pilihan kerja kelas bawah terbatas