Jadi marbot masjid jadi pilihan bagi sebagian mahasiswa untuk hidup hemat. Bukan sekadar hemat, ada alasan-alasan lain yang membuat mereka memilih tinggal di masjid.
***
Salat magrib baru saja usai saat saya sampai di parkiran masjid Al-Muttaqin Tawangsari, Depok, Sleman. Jemaah berduyun-duyun meninggalkan masjid yang terletak di pojokan gang ini. Tak berselang lama, seorang anak muda muncul di tangga, mempersilahkan saya naik ke atas masjid tempat ia tinggal sehari-hari.
Namanya Ihda Wildan (20), sudah enam bulan ia jadi marbot di masjid yang terletak tak begitu jauh dari Universitas Gadjah Mada (UGM), tempatnya berkuliah. Bersama dua rekannya, Wildan setiap hari menjadi muazin, imam, dan menjaga kebersihan masjid ini.
Sambil membenarkan lipatan sarungnya, ia duduk bersila, dan mulai bercerita tentang alasannya memilih tinggal di masjid alih-alih menyewa kamar kos seperti rekan mahasiswa lainnya.
Wildan masuk kuliah 2020 dan kini sedang menempuh semester keempatnya di Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, UGM. Ia masuk kuliah di tengah situasi pandemi, sehingga proses pembelajaran berjalan jarak jauh.
“Padahal aku pengennya tu di Jogja, nggak pengen di rumah. Kurang bebas,” ujar mahasiswa asal Magetan ini.
Kendati begitu, ada rasa bersalah di hatinya ketika memaksakan diri ke Jogja padahal kuliah bisa dilakukan dari rumah. Wildan berujar bahwa ia tak berasal dari keluarga berada sehingga uang untuk menyewa kamar kos sebenarnya bisa diminimalisir di saat seperti sekarang.
“Akhirnya aku mikir, gimana biar bisa ke Jogja, tapi tetap hemat. Ya jadi marbot masjid solusinya,” ujarnya.
Tapi Wildan menambahkan, selain perkara ekonomis ada juga alasan agamis. Ia ingin bisa tetap salat tepat waktu dan berjemaah, serta tidak meninggalkan kebiasaan mengaji saat menjadi mahasiswa ini.
Keyakinan untuk jadi marbot juga diperkuat karena Wildan merupakan lulusan pesantren. Ia sudah ada bekal untuk menjalankan sejumlah tugas wajib sebagai marbot. Tanpa bekal-bekal seperti kemampuan membaca Al-quran yang baik serta hafalan surah-surah, tugas marbot memang bisa jadi perkara yang tak mudah.
Sebelum bertugas di masjid Al-Muttaqin, Wildan pernah menjajal masjid lain di daerah Cebongan, Sleman. Di sana, ia menjadi marbot selama beberapa bulan. Namun, karena jarak yang cukup jauh dari tempatnya kuliah, ia memutuskan untuk mencari masjid lain yang lebih dekat.
“Dulu karena baru lulus dan segera butuh tempat tinggal di Jogja, akhirnya dapat di masjid yang jauh, karena info lowongan marbotnya cuma itu,” ungkapnya.
Setelah mantap memutuskan pindah, Wildan menemukan lowongan marbot di masjid sekitar Jalan Colombo. Dengan pertimbangan jarak, ia mantap mendaftar di masjid itu. Setelah melewati tahap seleksi berkas dan wawancara, ia diterima di sana.
Namun ternyata, belum genap sepekan tinggal di masjid keduanya ini, hati Wildan sudah goyah. “Ternyata tugasnya berat, lebih berat dari masjid sebelumnya,” keluhnya.
Wildan dengan beban kuliahnya yang cukup berat, segudang teori dan praktikum, ditambah kegiatan organisasi, membuatnya cukup selektif dalam memilih masjid yang hendak ditinggali. Masjid di Jalan Colombo itu, selain mewajibkan marbotnya untuk jadi muazin, imam, serta menjaga kebersihan, juga mengharuskan untuk menjadi guru ngaji di kegiatan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) yang diadakan sore setiap hari.
Menurut penuturan Wildan, seringkali dalam informasi lowongan marbot yang ia temukan, tugas-tugas yang tertera dalam pengumuman awal tidak begitu detail. Baru setelah masuk, akan dijelaskan rincian lebih lanjut.
Setiap masjid memang memiliki ciri khas dan sistem yang berbeda-beda terkait penugasan marbot. Paling umum, pekerjaan harian bagi marbot adalah menjadi muazin dan membantu menjaga kebersihan. Sebagian mewajibkan juga untuk menjadi imam. Namun ada juga yang perlu mengurus kegiatan rutin harian seperti masjid yang membuat Wildan tak kerasan tadi.
Masjid yang ramah mahasiswa
Setelah keluar dari masjid tersebut, barulah Wildan menemukan masjid yang menurutnya sangat ideal. “Ya sekarang ini di Al-Muttaqin, dekat dengan kampus, tugasnya ramah mahasiswa, dan fasilitasnya lumayan,” tukasnya.
Wildan menempati kamar seluas dua kali tiga meter. Setiap marbot dapat kamar sendiri-sendiri. “Aku yang dulu tinggal di asrama, dengan fasilitas di masjid seperti sekarang ya sudah nyaman banget,” tambahnya.
Senada dengan Wildan, Fadhel Izanul Akbar (22), marbot lain yang dihubungi Mojok juga menurutkan bahwa penting bagi mahasiswa yang ingin jadi marbot untuk mencari masjid yang memahami beban kuliah yang sedang mereka jalani.
Fadhel kini masih aktif menjadi mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga. Ia menjadi marbot di Al-Qomar di daerah Gowok, Sleman. Di sana, para marbot yang semuanya masih mahasiswa diberikan keleluasaan penuh untuk menjalankan kewajibannya berkuliah.
“Saat awal, takmir di masjid ini menyampaikan kalau tugas utama kami (para marbot) ya kuliah, jadi kalau ada kegiatan di kampus, masjid ditinggal nggak papa,” ujarnya.
Tugas utama marbot di tempat Fadhel adalah menjadi muazin. Itupun bisa dilakukan bergantian karena ada empat marbot yang bertugas di sana. Menjadi imam juga bukan tugas wajib karena sudah ada imam tetap di masjid tersebut.
Di masjid tersebut, disediakan dua kamar untuk empat marbot yang tinggal. Selain fasilitas kamar yang bisa ia tempati itu, pihak masjid juga menyediakan sebuah komputer untuk dipakai bersama-sama. Tidak lupa, jaringan WiFi juga tersedia untuk menunjang kebutuhan jemaah, sehingga para marbot dengan leluasa bisa memanfaatkannya.
“Secara fasilitas sih, sudah sangat memadahi lah untuk menunjang kebutuhan mahasiswa,” ujarnya bungah.
Fadhel juga mengaku mendapat bisyaroh atau insentif bulanan atas tugas-tugas yang ia lakukan di masjid. Jumlahnya menurutnya memang tidak banyak, sekitar Rp200.000 setiap bulan, namun ia sudah bersyukur mengingat banyaknya fasilitas yang sudah bisa ia manfaatkan.
Perkara insentif memang berbeda-beda setiap masjidnya. Jika Fadhel mendapatkan jumlah tetap setiap bulan, Wildan tak merasakan hal serupa. Wildan hanya sesekali mendapatkan bayaran, jumlahnya tak jauh berbeda dengan Fadhel, namun waktu pemberiannya tak pasti.
Selain itu, benefit lain yang bisa dirasakan oleh para marbot masjid adalah kedermawanan para jemaah. Terutama untuk persoalanan logistik pangan.
“Hampir setiap hari ada saja yang nawari makanan, diajakin ke rumah warga. Kadang makanan jadi, tapi sering juga bahan mentah seperti beras,” ujar marbot yang berasal dari Magelang ini.
Masa-masa awal menjadi marbot, Fadhel mengaku masih sungkan untuk menerima pemberian-pemberian itu. Namun, lama-lama toh sudah jadi kebiasaan. “Malah kadang-kadang, kami yang tanya ke warga, kalau kami cuma punya nasi, lauknya minta ke warga. Karena sudah akrab dan dekat sekali,” ujarnya tertawa.
Dari kisah yang diceritakan kedua narasumber tadi, menjadi marbot memang nampak bukan perkara yang susah. Keduanya mengaku tak terkendala dalam menjalani tugas sebagai muazin maupun imam, namun ada momen-momen khusus di mana marbot harus bekerja ekstra.
Hari Jumat bagi Wildan adalah saatnya ia meluangkan banyak waktu untuk keperluan masjid. Sejak pagi ia sudah harus bersiap menata tikar dan membersihkan setiap sudut tempat untuk keperluan salat Jumat.
“Apalagi kalau marbot yang lain sedang sibuk, ada kuliah yang nggak bisa ditinggal, itu mau nggak mau urusan hari Jumat kita sikat sendiri,” papar Wildan.
Fadhel juga tak jauh berbeda, selain rutinitas padat di hari Jumat, tatkala hari besar umat muslim tiba, para marbot harus siap dengan kesibukan yang akan mendatanginya.
Misalnya saja, saat hari raya Idul Adha, sejak matahari belum terbit, para marbot sudah harus mempersiapkan salat id yang akan digelar pagi hari. Kemudian mengikuti berbagai prosesi penyembelihan hewan kurban. Dan yang paling melelahkan, “membersihkan semua bekas darah dan sisa-sisa penyembelihan yang di sekitar masjid,” ucap Fadhel tegas.
Menjadi marbot juga harus bersiap dengan kemungkinan potensi konflik yang mungkin terjadi. Fadhel ingat betul momen ia dan para marbot lainnya ditegur salah satu imam tetap masjid di depan jemaah melalui ceramah.
“Dulu pernah kami sedang puasa sunah, Senin-Kamis, nah saat jemaah sedang salat magrib, kami menggoreng telur di lantai atas, ternyata suaranya terdengar keras sampai di bawah,” kenangnya.
Hal itu lah yang membuat mereka kena tegur dan membuat hubungan mereka dengan sosok yang dianggap sesepuh di masjid itu merenggang hingga sekarang. “Kami jadi kurang akrab dengan beliau,” ujarnya tertawa.
Wildan juga punya pengalaman, saat awal menjadi marbot dengan semangatnya kerap membaca surah-surah panjang di kala menjadi imam. Namun ternyata, hal itu membuat sebagian jemaah merasa kurang nyaman. “Saya didatangi, katanya suruh surah pendek saja, biar jemaah bisa ngikutin,” kata Wildan.
Namun setelah hal itu ia praktikkan, ternyata komplain kembali datang. Kali ini dari kelompok jemaah yang beda dari sebelumnya. Katanya, lebih baik menggunakan surah yang bervariasi dan tak terlalu pendek. “Iki jane karepe pie toh (sebenarnya maunya yang bagaimana, sih),” ujar Wildan kesal.
Begitulah dinamika yang dirasakan para mahasiswa yang menjadi marbot masjid. Kepercayaan para pengurus masjid tetap datang meski mereka tak bisa sepenuhnya meluangkan waktu karena memiliki kesibukan belajar yang padat.
Chairu Zaad (58), takmir masjid Komaruddin yang terletak di Jalan Suryodiningratan, Kota Yogyakarta, mengungkapkan bahwa mahasiswa memang sejak lama dipercaya dan dirasa tepat untuk mengisi posisi marbot masjid.
Menurutnya, tugas yang diberikan juga merupakan hal yang tak harus dijaga secara penuh waktu seharian. “Kalau di tempat kami tugas marbot utamanya ya jadi muazin saja, kemampuan jadi imam itu hanya jadi nilai plus saja,” ungkapnya.
Maka sebagai sosok yang sudah lebih dari sepuluh tahun menjadi bagian dari takmir masjid, Zaad tak pernah melalukan seleksi ketat ketika ada mahasiswa yang hendak menjadi marbot. Baginya, paling utama adalah mahasiswa tersebut memiliki keikhlasan dan pribadi yang tanggap serta cekatan.
“Biasanya memang yang mendaftar jadi marbot itu berasal dari kampus yang sudah ada dasar-dasar keislamannya, seperti UMY, UAD, hingga IAIN. Sehingga sudah cukup lah itu sebagai bekal,” tambahnya.
Masjid juga biasanya tidak hanya memiliki satu marbot, hal itu agar tugas yang ada bisa dilakukan secara bergantian dan tak terlalu memberatkan. Apalagi Zaad memahami bahwa mahasiswa masih memiliki kewajiban belajar yang tak boleh diganggu.
“Kami memang tidak bisa memberikan banyak (uang), tapi pasti ada setiap bulan. Namun utamanya kami sediakan fasilitas tinggal yang layak,” tambahnya.
Zaad tak menampik bahwa selalu ada potensi marbot yang tak amanah bahkan melakukan tindak kejahatan di masjid. “Pernah ada marbot cuma dulu itu bukan mahasiswa, dia buat banyak masalah di masjid dan konflik dengan jemaah. Tapi selama posisi marbot dipegang mahasiswa, alhamdulillah selalu lancar,” tukasnya.
Sisitem Informasi Masjid (SIMAS) milik Kementerian Agama RI mencatat hingga saat ini ada lebih dari setengah juta masjid dan musala di Indonesia. Meski tak semuanya menerima marbot, terutama mahasiswa, karena biasanya hanya masjid yang memiliki banyak jemaah dan berada di perkotaan saja, peluang menjadi marbot tetap banyak tersedia. Berminat untuk menjadi salah satunya?
Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Agung Purwandono