Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Saya Guru Taman Pendidikan Al-Quran tapi Repot Kalau Menjelaskan Kerjanya Apa

Muhammad Zaid Sudi oleh Muhammad Zaid Sudi
11 Agustus 2018
0
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Ditanya kerja apa, saya jawab ngajar di Taman Pendidikan Al-Quran alias TPQ. Yang tanya pasti tertawa, dianggapnya saya ini bercanda.

Seorang teman jauh menelepon. Sudah lama kami berpisah sampai Facebook mempertemukan kami kembali. Malam itu akhirnya ia menghubungi saya lewat telepon. Kehabisan bahan setelah berbasa-basi tentang kabar, tentang info teman-teman lain, dan tak lupa bertukar ingatan tentang peristiwa-peristiwa lucu di masa lalu, ia lalu menanyakan soal pekerjaan saya.

“Kerja apa sekarang?” tanyanya.

Saya tidak segera menyahut. Ini pertanyaan sulit. Sangat sulit. Saking sulitnya saya pernah berpikir bahwa selain kolom tentang agama di KTP, kolom tentang pekerjaan seharusnya juga dihilangkan. Beberapa pengalaman traumatis mengajarkan kepada saya betapa tidak mudah menjawab pertanyaan soal pekerjaan.

Pernah ibu saya bertanya tentang itu dan—biar terdengar keren—saya menjawab jadi penulis. Bukannya bangga, ibu saya malah mengira saya jadi tukang ketik seperti di Kantor Kelurahan. Pada saat membuat KTP kejadian yang sama berulang. Kepada petugas yang bertanya tentang pekerjaan, saya menjawab sebagai editor.

“Oh, yang tugasnya menarik kredit itu, ya?” tanya Petugas.

Saya garuk-garuk kepala. Petugas itu lantas meminta saya menjelaskan pekerjaan seorang editor, tapi ia tetap gagal merumuskan jawaban-jawaban saya.

“Ditulis karyawan swasta, ya, Dik?” ia bertanya.

Sebuah pertanyaan yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai usulan. Saya langsung mengiyakan agar urusan cepat kelar.

“Jadi guru TPQ.” Akhirnya saya memberi jawaban kepada teman di seberang sambungan telepon. Lalu saya mendengar suara tawa. Begitu panjang sehingga saya harus menunggu agak lama untuk mengetahui apa yang ia tertawakan.

“Jangan bercanda ah,” katanya. Jawaban saya dianggapnya main-main.

“Iya, serius,” kata saya mengulangi. Dan teman lama saya ini malah tambah ngakak.

Embel-embel TPQ dari kependekan Taman Pendidikan Al-Quran itu barangkali yang membuatnya geli. Kalau saya menjawab kerjaan saya sebagai guru atau dosen, responsnya pasti berbeda. Bisa jadi ia akan melanjutnya pertanyaan tentang sertifikasi, inpassing, dan hal-hal lain yang tidak saya mengerti. Tapi kerja saya memang membantu mengajar di TPQ yang ada di musala kampung.

Kepadanya saya bercerita tentang seorang peneliti yang baru-baru ini melakukan studi mengenai TPQ. Si peneliti lalu berkesimpulan bahwa TPQ adalah proses islamisasi paling awal. Sebab dalam banyak kasus, TPQ adalah tempat interaksi awal seorang muslim dengan kitab sucinya. Dan itulah pentingnya guru TPQ.

Kalau tidak penting, buat apa KH. As’ad Humam repot-repot menyusun metode kitab Iqra’ sampai 6 jilid itu, misalnya. Juga para ulama lain dengan beragam metodenya seperti An-Nahdliyah, Qiraati, Yanbua, Ummi, Al-Karim, dan sebagainya. Bahkan jauh sebelum itu, anak-anak kecil di Nusantara sudah mengenal kitab turutan (atau Juz ‘Amma), yang disusun mengikuti kaidah Baghdadiyah karena konon diadaptasi dari tradisi Baghdad, dan menjadi pelajaran dasar membaca Al-Quran di Nusantara selama ratusan tahun.

Tadinya, penjelasan-penjelasan ini saya maksudkan untuk menyadarkan teman saya tentang pentingnya pekerjaan guru TPQ. Tapi ia agaknya tidak memahami perkara sepenting itu. Semakin saya menegaskan, semakin ia menganggap saya bercanda. Oalah, dasar bocah sekuler~

Mengajar di TPQ itu susah. Bukan saja karena pesertanya kebanyakan adalah anak-anak. Tahu sendiri kan bagaimana tingkah anak-anak? Metode mengajarnya juga tidak boleh monoton karena tingkat konsentrasi mereka yang pendek. Apalagi yang diajarkan adalah Al-Quran. Bentuk hurufnya saja berbeda. Huruf-huruf hijaiyah tersebut juga harus dibaca dari arah yang berlawanan dengan cara membaca huruf latin. Belum lagi soal tajwidnya.

Kesulitan makin lengkap ketika sudah berkaitan dengan hafalan. Kita mungkin sering mendengar cerita tentang orang yang terjebak dalam lingkaran surat Al-Kafirun, berputar-putar tak ketemu ujungnya. Seorang sahabat Nabi, bahkan diriwayatkan pernah mengalaminya, saat sedang mabuk.

Banyak ayat dalam Al-Quran yang memiliki kemiripan antara yang satu dengan lainnya. Tidak sedikit orang yang membaca surat At-Tin kemudian kesasar ke surat Al-Ashr pada akhir ayatnya. Seharusnya yang dibaca adalah illa ladzina amanu wa ‘amilus shalihati falahum ajrun ghairu mamnun tapi ia malah membacanya menjadi illal lazina amanu wa amilus sholihati watawasau bil haqqi watawasau bis-shabr. Begitu juga sebaliknya dari Al-Ashr malah jadi At-Tin.

Bahkan pada surat-surat yang populer, seseorang juga bisa terlepeset. Pernah ada seorang santri membaca Al-Fatihah. Pada ayat-ayat awal bacaannya melaju dengan lancar. Saya manggut-manggut mendengarnya, sampai kemudian terjadi turbulensi di bagian akhir. Ayat terakhir itu ia baca menjadi shiratal ladzina amanu waamilus sholihati.., padahal semestinya ia baca shiratal ladzina anamta alaihim ghairil maghdlubi ‘alaihim wala dhaallin.

Sampai beberapa hari bacaan itu memenuhi pikiran saya. Setiap membaca surat Al-Fatihah, bacaan murid saya nongol di kepala. Al-Fatihah tiba-tiba menjadi surat yang licin. Saya harus berhati-hati, beberapa kali harus mengerem bacaan agar tidak tergelincir.

Semakin ke sini, tugas guru TPQ kayaknya makin berat. Karena yang berpotensi tergelincir bukan hanya bacaan dan hafalan. Banyak ustad baru yang muncul dengan tafsir yang aneh-aneh. Yang menganggap Nabi Saw. pernah sesat lah, yang anu lah. Mereka memaksakan pemahaman mereka yang ganjil terhadap ayat. Mungkin maksudnya baik, tapi lebih banyak malah cari sensasi, biar kelihatan beda daripada yang lain. Begitu benar-benar jadi sensasi bahkan sampai kontroversi, buru-buru minta maaf.

Perkembangan tersebut saya kira juga menjadi tantangan dan tanggung jawab guru TPQ. Untuk paling tidak jadi gambaran bahwa mengaji atau belajar agama itu sebaiknya jangan otodidak, soalnya ini ngaji bukan pelajaran menggambar.

Ya, kendati saya sadar, nasib jadi guru ngaji di TPQ seperti saya ini bakalan jadi bahan tertawaan teman lama saat bertanya, “Kerja apa sekarang?”

Terakhir diperbarui pada 8 April 2020 oleh

Tags: Al-QuranAs'ad Humambaghdadkolom agamaNusantaratajwidTPQ
Iklan
Muhammad Zaid Sudi

Muhammad Zaid Sudi

Kadang penulis, kadang penerjemah, kadang guru ngaji. Tinggal di Jogja.

Artikel Terkait

Dari Alam untuk Kita: Menggali Potensi Superfood Pangan Lokal untuk Gizi Lebih Baik
Movi

Dari Alam untuk Kita: Menggali Potensi Superfood Pangan Lokal untuk Gizi Lebih Baik

17 April 2025
Pengahayat Kepercayaan Bukan Ateis, Justru Sudah Diakui Pemerintah Sebagai Agama yang Sah
Movi

Pengahayat Kepercayaan Bukan Ateis, Justru Sudah Diakui Pemerintah Sebagai Agama yang Sah

1 Oktober 2024
penyakit ain mojok.co
Kesehatan

Hati-hati Penyakit Ain! Berikut Ciri-cirinya Menurut Al-Qur’an dan Hadits

4 Januari 2023
tadarus al quran raksasa mojok.co
Liputan

Berburu Pahala di Akhir Puasa dengan Al Quran Raksasa

28 April 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Angkringan Jogja Pamornya Tak Akan Pernah Meredup, meski Harganya Tak Lagi Bersahabat

Angkringan Jogja Pamornya Tak Akan Pernah Meredup, meski Harganya Tak Lagi Bersahabat

7 Juli 2025
kemiskinan orang miskin dilarang punya anak banyak mojok.co

Kemiskinan Membunuhmu, Pemerintah Mengabaikanmu

8 Juli 2025
Yamaha NMAX Bukan Motor, tapi Benteng Takeshi buat Ibu-ibu Kayak Saya

Yamaha NMAX Bukan Motor, tapi Benteng Takeshi buat Ibu-ibu Kayak Saya

4 Juli 2025
Banguntapan Bantul Terbaik, Lebih Kota dari Kota Jogja Itu Sendiri MOJOK.CO

Banguntapan Bantul vs Kota Jogja: Mengadu 2 Kekuatan Ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta. Siapa yang Lebih Besar, Megah, dan Bermasalah?

2 Juli 2025
Pakuwon Mall Surabaya tarif parkir mahal bagi orang Jakarta. MOJOK.CO

Syok Saat Pertama Kali ke Pakuwon Mall Surabaya, Tarif Parkirnya Lebih Mahal daripada di Jakarta padahal Cuman Ingin Nongki

3 Juli 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.