Menjadi sosok di balik program Ramadan di Kampus (RDK) di Masjid Kampus (Maskam) UGM, Jama’ah Shalahuddin memiliki sejarah yang tak sebentar. Bahkan tak banyak yang me-notice bahwa Jama’ah Shalahuddin juga terlibat dalam pementasan fenomenal Jogja Lautan Jilbab dari puisi budayawan kondang Emha Ainun Nadjib (Cak Nun).
***
Sebelumnya, Mojok mencoba mengulik secara khusus mengenai kegiatan Ramadan di Kampus (RDK) UGM yang kerap mendatangkan tokoh-tokoh besar. Liputan tentang itu bisa Anda baca di sini.
Dalam kunjungan saya ke sekretariat Jama’ah Shalahuddin di sayap selatan Masjid Kampus (Maskam) UGM, Senin, (11/3/2024), saya juga mencoba mengulik kegiatan-kegiatan dari Jama’ah Shalahuddin yang bersifat sosial. Di antaranya adalah program desa binaan.
“Dalam setiap periode kepengurusan itu targetnya satu desa binaan. Tapi untuk 2024 ini belum ada sih setelah (desa binaan) sebelumnya dilepas,” terang Muhammad Akhdan (23) selaku Biro Khusus Kaderisasi Jam’ah Shalahuddin UGM.
“Targetnya dapat desa binaan lagi 2025 nanti,” sambungnya.
“Menyelamatkan” desa tertinggal Jogja
Salah satu contoh desa binaan Jama’ah Shalahuddin yakni Dusun Duwet, Desa Puwoharjo, Samigaluh, Kulonprogo, Jogja.
“Tapi Duwet sudah JS (Jama’ah Shalahuddin) lepas karena JS nilai sudah mandiri,” ujar Akhdan.
Akhdan menjelaskan, perlu kecermatan dalam menentukan desa mana yang akan menjadi desa binaan. Akan tetapi, prioritas utamanya adalah desa yang tertinggal dalam hal keagamaan dan ekonomi.
Nantinya, teman-teman Jama’ah Shalahuddin akan membina sisi keagamaan dengan mengajar ngaji dari TPQ hingga kajian khusus untuk orang dewasa. Sementara dalam aspek ekonomi, Jama’ah Shalahuddin UGM akan memberi pelatihan pada warga setempat misalnya dalam hal berwirausaha.
“Di Duwet itu ada namanya Duwet Cassava. Yaitu bagaimana mengolah singkong lokal untuk kemudian jadi camilan yang bisa terjual belikan secara luas,” beber Akhdan.
Jama’ah Shalahuddin akan mendampingi secara runtut dari proses produksi hingga pemasarana melalui digital marketing.
“Lalu ada juga kegiatan Sajadha (Jama’ah Shalahuddin dalam Idul Adha),” terang Akhdan.
Jadi selain fokus pada pendampingan desa binaan, Jama’ah Shalahuddin UGM juga memiliki satu desa lain yang dalam satu masa kepengurusan menjadi lokasi untuk pengadaan kurban Idul Adha.
Tujuannya untuk membangun silaturahmi dengan masyarakat, menyiarkan nilai-nilai keislaman, serta yang tak kalah penting adalah membantu mengatasi permasalahan kekurangan daging hewan kurban di dusun tujuan. Di tahun 2023 lalu, selain Dusun Duwet, desa yang menjadi lokasi pelaksanaan program Sajadha adalah Dusun Kaligede, Desa Pilangrejo, Nglipar Gunungkidul, Jogja.
“Terus ada juga beasiswa, namanya Dompet Shalahuddin,” imbuh Akhdan.
Melawan “pembasmian” jilbab di Jogja
Dalam sejarah awal terbentuknya Jama’ah Shalahuddin (terbentuk 1976), pada medio 80-an Jama’ah Shalahuddin menjadi salah satu bagian dari pementasan Jogja Lautan Jilbab yang mengambil dari puisi karya Cak Nun.
Sayangnya, Akhdan mengaku tak terlalu mengetahui runtutan peristiwa tersebut. Oleh karena itu, saya mencoba menghubungi Wahydui Nasution, alumnus Jama’ah Shalahuddin UGM yang juga menjadi saksi hidup pentas Jogja Lautan Jilbab.
Wahyudi tak memberi saya jawaban panjang. Ia hanya mengirim link tulisannya yang menurutnya sudah cukup komperehensif untuk menjawab pertanyaan yang saya ajukan.
“Tulisan itu sudah mewakili jawaban saya,” katanya, Senin, (11/3/2024) malam WIB.
Namun yang jelas, secara singkat menurut Wahyudi, Jogja Lautan Jilbab adalah wujud perlawanan terhadap rezim Soeharto dan keberpihakan terhadap para muslimah atas hak-haknya mengenakan jilbab yang saat itu tengah dalam kekangan rezim Soeharto.
Melansir dari Caknun.com, pentas Jogja Lautan Jilbab yang kemudian pentas juga di daerah-daerah lain brerangkat dari puisi Cak Nun berjudul Lautan Jilbab. Puisi itu lahir secara spontan saat Cak Nun mengisi Ramadan in Campus-nya Jama’ah Shalahuddin pada 16 Mei 1987.
Puisi itu lahir dari kegelisahan Cak Nun saat Mendikbud Daoed Joesoef meneken Surat Keputusan 052/C/Kep/D.82 mengenai Seragam Sekolah Nasional tertanggal 17 Maret 1982.
“Dampak dari surat tersebut ialah pelarangan pemakaian jilbab bagi kalangan muslimah di sekolah formal. Sebelum surat itu dilayangkan, di tahun-tahun sebelumnya, pemerintah Soeharto mencurigai gerakan politik Islam yang mendapat anggapan akan merongrong Pancasila,” demikian yang tertulis di Caknun.com.
“Dulu belum banyak yang pakai jilbab, dianggap aneh. Dan memakai jilbab dipersulit oleh birokrasi,” begitu kata Cak Nun seperti Mojok kutip dari kanal YouTube Caknun.com.
Dari puisi jadi pertunjukan teater fenomenal
Awalnya memang hanya sebuah puisi yang Cak Nun baca di Ramadan in Campus. Namun, hanya pembacaan puisi itu saja sudah mampu menyedot animo ribuan orang yang hadir di acara yang panitianya dari Jama’ah Shalahuddin tersebut.
Oleh karena itu, di tahun-tahun berikutnya, Cak Nun pun menginisiasi pementasan Lautan Jilbab, mulai dari Jogja hingga beberapa daerah di Indonesia.
“Judulnya Lautan Jilbab biar heboh dan gemanya ke seluruh negeri. Padahal yang ikut juga cuma beberapa tapi di banyak tempat,” ungkap Cak Nun masih dalam kanal YouTube yang sama.
Agung Waskito dengan supervisi Dr. Kuntowijoyo lah yang menjadi sutradara pementasan Jogja Lautan Jilbab. Pementasan pertama adalah dari Sanggar Shalahuddin UGM, di mana Wahyudi Nasution menjadi bagian di dalamnya.
Tidak kurang dari 3000 penonton berjubel menghadiri pementasan pada malam pertama. Lalu di malam kedua, penonton yang hadir tercatat sekitar 2000 orang. Oleh karena besarnya antusiasme masyarakat, Lautan Jilbab kemudian pentas di banyak kota selain Jogja, yaitu di Madiun, Malang, Surabaya, Bandung, Jember, hingga luar Jawa seperti Makassar.
Beberapa sumber berita cetak, seperti keterangan dalam Caknun.com, menulis bahwa pementasan di Stadiun Wilis, Madiun, Jawa Timur bahkan mencapai 35.000 penonton. Jumlah yang tentu sangat fantastis untuk ukuran pertunjukan teater.
Shalahuddin Press, penerbitan JS yang lenyap
Pada medio 80-an itu pula, selain terlibat dalam pementasan Jogja Lautan Jilbab, Jama’ah Shalahuddin UGM ternyata juga sempat mempunyai penerbitan buku bernama Shalahuddin Press. Hal itu juga dibenarkan oleh Wahyudi Nasution.
“Terkait kenapa tutup dan nggak ada lagi sampai sekarang, itu bukan wilayah saya untuk menjawab,” ucap Wahyudi.
Di masa aktifnya, Shalahuddin Press menerbitkan sejumlah buku keislaman alternatif selain majalah Gelanggang. Bahkan penerbitan milik Jama’ah Shalahuddin UGM ini juga menjadi salah satu pelopor penerbit buku alternatif di Jogja. Sayangnya, umurnya memang tak lama.
“Aku kurang tahu juga kapan dan kenapa tutup. Tapi seandainya bisa, kami pengin Shalahuddin Press ada lagi,” tutur Akhdan.
Tapi misalnya pun tidak bisa, Akhdan sangat ingin di Jama’ah Shalahuddin sedikit demi sedikit terbentuk iklim penulisan tema-tema keislaman. Minimal tayang di website Jama’ah Shalahuddin UGM secara reguler.
“Karena sementara ini tulisan-tulisan di web hanya bersifat berita acara saja,” kata Akhdan. Ia juga berniat untuk mengusulkan pengadaan workshop kepenulisan dan mendesain ulang website dari Jama’ah Shalahuddin agar lebih eye catching. Sebelum nanti terisi oleh konten-konten keislaman yang tak kalah menarik pula.
Sebagai tambahan informasi, dalam masa aktifnya, Shalahuddin Press tercatat sudah menerbitkan sejumlah buku karya tokoh-tokoh besar nasional, antara lain:
- Islam, Mengapa Tidak? (Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1984)
- Tugas Cendekiawan Muslim (Ali Syari’ati, diterjemahkan oleh Amien Rais, 1984)
- Bilik-Bilik Muhammad: Novelet Rumah Tangga Rasulullah SAW (A.R. Baswedan, 1985)
- Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Kuntowijoyo, 1985)
- Antologi Puisi: Terompet Terbakar (1990)
- Syair-syair Asmaul Husna (Emha Ainun Nadjib, diterbutkan bersama Pustaka Pelajar, 1994)
Setidaknya, itulah daftar buku terbitan Jama’ah Shalahuddin yang tercatat dalam Wikipedia.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Warga Dusun Mlangi Jogja Turun-temurun Lestarikan Selawat Langgam Jawa Meski Dicap Selawat Sesat
Cek berita dan artikel lainnya di Google News