Rasanya Tinggal Bersama Makam-makam Tua di Njeron Beteng Keraton Jogja

Makam tua di tengah kota Jogja

Tak jauh dari destinasi wisata Taman Sari di Yogyakarta, ada orang-orang yang tinggal dan berkawan dengan makam tua. Lokasi nisannya ada yang ada di teras rumah, samping kamar mandi, jemuran, hingga menyatu dengan dapur.

***

Seorang perempuan tengah asyik memisahkan daun bayam dari tangkainya. Ia duduk di teras rumah. Namun, ini bukan teras biasa. Di sekitarnya ada banyak makam-makam dengan nisan tak bernama. Masih kokoh meski terlihat seperti nisan lama.

Salah satu nisan yang terletak di dekat jemuran rumah menyita perhatian saya. Di antara yang lain, nisan itu punya goresan tahun. Tertanggal di kepala nisan, 3 Maret 1949.

“Itu katanya makam pejuang saat perang kemerdekaan,” kata perempuan yang tak mau disebut namanya itu memecah rasa penasaran saya, Rabu 9 November 2022.

Perempuan itu mengaku sudah tidak tinggal di rumah tempatnya sedang singgah saat itu. Bangunan itu kini yang menempati saudara-saudaranya, sedangkan ia sudah pindah ke Sleman sejak 1999. Hari itu kebetulan ia sedang mampir.

Kendati begitu, perempuan berusia 46 tahun itu pernah banyak menghabiskan masa anak-anak, muda, hingga beranjak dewasa di kawasan yang letaknya Njeron Beteng Keraton Yogyakarta di Kampung Taman Sari ini. Tepatnya di sisi barat Masjid Soko Tunggal. Area permukiman yang diisi tak lebih dari sepuluh rumah ini dikelilingi tembok tua yang sudah berlumut.

Saat masih tinggal di sini, ia ingat beberapa kali ada momen pembongkaran makam. Saat dibongkar, jenazah di sana tidak tertutup kain kafan. Ia berasumsi bahwa itu jasad para pejuang yang buru-buru dikuburkan.

“Setahu saya ada dua kali pemindahan makam. Jasadnya itu masih pakai cincin, masih pakai baju, itu di dekat kamar mandi itu dulu,” ujarnya sambil menunjuk ke arah kamar mandi di sisi barat.

Ia berujar bahwa juru kunci makam ini dahulu adalah ibunya. Namun, sang ibu telah meninggal di usia ke-82 tahun lalu. Sehingga sekarang, sosok yang tahu banyak adalah adik dari ibunya yang bernama Suparti.

“Beliau ada di depan sana, jualan pecel,” kata perempuan itu.

Secara administratif, kawasan ini masuk dalam Kemantren Kraton. Di sekelilingnya banyak bangunan bersejarah yang jadi tempat wisata.

Makam di dalam rumah

Saat saya berkunjung, suasana begitu ramai di sekitaran Taman Sari Yogyakarta. Rombongan pelancong dari luar daerah yang hendak berkunjung ke bangunan bekas taman atau kebun Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini.

tinggal di makam tua di njeron beteng keraton
Makam yang menyatu di tempat cuci baju. (Hammam Izzuddin:Mojok.co)

Hanya sepelemparan batu dari keramaian itu, di balik tembok yang mengelilingi, keberadaan permukiman ini jarang disadari. Ada banyak makam yang terpencar di sudut-sudut area ini. Ada di teras rumah, samping kamar mandi, jemuran, hingga dapur.

Beberapa waktu menunggu, Suparti (64) telah tiba di rumahnya. Ia merupakan sosok yang tergolong sepuh di permukiman ini. Bahkan dijuluki juru kunci. Kendati begitu, ternyata ia juga tidak mengetahui detail sebagian besar makam.

“Ini sudah lama sekali, detailnya saya juga kurang paham. Sudah tidak ada juga yang nyekar,” ujar Parti.

Di kawasan ini ada sebuah makam yang paling terawat di antara yang lain. Nisannya tertutupi cungkup sederhana. Di nisan tertulis nama R. Ay. Arten Surokusumo tanpa keterangan waktu meninggalnya.

“Kalau nyai itu kemungkinan orang Surabaya. Saudara-saudaranya ada di Eropa, jauh-jauh. Beberapa tahun sekali ke sini. Tapi saya tidak tahu meninggal tahun berapa,” jelasnya.

Rumah yang tempat Suparti bermukim sudah ditinggali beberapa generasi. Mulai dari kakek dan neneknya. Jika betul begitu, permukiman ini sudah berusia lebih dari seabad.

“Dulu kakek saya itu sering resik-resik di sekitar sini. Akhirnya sama Ngarso Dalem  disuruh menempati di sini,” paparnya.

Ia juga menjelaskan bahwa sebagian besar makam di sini sudah ada sebelum permukiman didirikan. Namun ada juga sebagian kecil yang baru dimakamkan di sini setelah rumah-rumah sederhana ini berdiri. Untuk nisan, seingatnya, bentuk yang ditemui sekarang sudah dilihatnya sejak kecil.

Salah satu makam tua yang cukup terawat karena masih memiliki ahli waris. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Selain itu, makam yang ada sekarang juga sudah tak sebanyak dulu. Ada sebagian yang diminta pindah oleh ahli warisnya. Selain itu,  menurut penuturan Parti ada juga yang dipindah ke taman makam pahlawan.

Di tengah perbincangan, Parti mengajak saya untuk menengok sebuah makam yang berada di dapur rumahnya. Saat menengok ke dalam, makam itu benar-benar terletak di antara banyak perkakas rumah tangga. Di sampingnya ada rak kaca, meja, bahkan di atasnya tergeletak sebuah ceret.

“Sebentar saya rapikan dulu. Nyuwun sewu nggih, Mbah,” ucapnya.

Nisan itu telah menyatu dengan segala aktivitas yang dilakukan di rumah. Perempuan ini berujar kalau ia kerap membatin permisi kalau hendak melakukan segala hal di sekitarnya. Kadang, beberapa perkakas juga diletakkan di atasnya.

“Walaupun di dalam rumah, saya tidak tahu ini makam siapa,” ujarnya terkekeh.

Baginya, nisan-nisan ini seperti sudah jadi teman sendiri. Menyatu dengan keseharian selama berpuluh tahun. Rumah-rumah di sekitar sini dibangun di tanah milik Keraton Ngayogyakarta.

“Sudah seperti teman sendiri. Mbok saya keluar jam berapa aja nggak ada apa-apa,” terangnya.

Baca halaman selanjutnya

Hal-hal mistis yang menyertai

Hal-hal mistis yang menyertai

Sekarang kawasan sekitar memang jauh lebih ramai ketimbang puluhan tahun lalu saat perempuan ini masih muda. Parti mengaku kalau dulu sempat ada rasa khawatir saat kecil. Namun, seiring waktu, ia pun terbiasa.

“Tapi kadang anak-anak yang merasakan keanehan. Mungkin saya dulu juga, tapi sudah lupa-lupa, saya sudah tua,” ujarnya.

Parti, menunjukkan salah satu makam yang menyatu dengan dapurnya. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Dahulu, tutur Parti, saat cucunya hendak ke kamar mandi, tiba-tiba saja dia bilang kalau ada perempuan bermukena yang mau salat lewat di sebelah kamar mandi. Tentu aneh, karena di sisi selatan kamar mandi hanyalah semak-semak yang ujungnya pagar.

“Lalu mamahnya menenangkan dan bilang kalau itu memang orang mau salat ke masjid tapi terlambat,” ujarnya ngeri.

Ia juga menuturkan kisah lain, saat cucu keponakannya ketakutan karena merasa diamati oleh sosok orang tua yang berdiri di antara beberapa makam. Namun, hal seperti itu ia sikapi dengan tenang.

“Ya kalau ada anak-anak bilang begitu dijawab tenang saja. Bilang saja ‘Mbah, ampun nggodo kulo Mbah’,” ucapnya.

Seperti halnya Parti, Agung (40), warga lain yang saya jumpai di permukiman ini juga menuturkan bahwa tinggal di antara makam-makam sebenarnya biasa saja. Rumahnya yang juga jadi tempatnya membuka usaha warung terlelak di sisi barat. Di samping dan belakangnya juga terhimpit makam.

“Aktivitas biasa saja. Siang malam tidak ada perbedaan. Orang yang nggak pernah tinggal di sekitar makam mungkin mikirnya menakutkan, padahal nggak juga,” papar sambil duduk di depan warung.

Kendati begitu, satu dua cerita terkait pengalaman orang di sekitar pernah ia dengar. Salah satunya pengalaman yang dialami anaknya sendiri. Saat itu sang anak sedang digendong oleh neneknya di halaman belakang.

“Saat digendong anak saya tiba-tiba tanya ke neneknya. Katanya ada simbah-simbah di atas pohon. Malah akhirnya neneknya yang takut dan langsung masuk rumah,” ujarnya tertawa. Ia pribadi mengaku tak pernah mengalami pengalaman serupa.

Seperti para warga lain, Agung yang sudah turun temurun tinggal di sini mengaku tak begitu paham tentang latar belakang makam-makam di sekitarnya. Sebagai orang yang tinggal di sini, ia hanya berkewajiban untuk turut membersihkan area sekitar sejumlah nisan itu berada.

“Ini lagi musim hujan, jadi dipotongin rumputnya belum lama sudah tinggi-tinggi lagi,” ujarnya mengacu pada rumput yang mulai meninggi di halaman belakang.

Fenomena makam tua di permukiman

Penulis buku Nisan Hanyakrakusuman, Muhammad Yaser Arafat mengungkapkan bahwa makam-makam di Taman Sari itu kemungkinan sudah ada sejak pertengahan 1800. Hal itu ia landaskan dari tipologi kebanyakan nisan yang ada di sana.

Makam tua di permukiman tak jauh dari Taman Sari. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

“Kalau dilihat dari tangguh atau tipologinya, sebagian besar 1800 pertengahan sampai 1900 eranya,” terangnya saat dihubungi Mojok.

Dosen UIN Sunan Kalijaga yang sudah lama mendalami dunia pernisanan ini punya spekulasi bahwa mulanya yang dimakamkam di tempat ini adalah para pengurus masjid yang ada di dekatnya. Menurutnya, di sisi barat masjid milik Keraton memang umum ada kompleks pemakaman.

“Ya kemungkinan itu awalnya makam para pengurus masjid seperti muazin, khatib, hingga imam yang dulu memang hidup di sekitar situ,” paparnya.

Ia juga menuturkan bahwa banyak fenomena makam kuno yang menyatu dengan permukiman warga di DIY dan sejumlah daerah lain. Di Kota Yogyakarta misalnya, kondisi serupa ada di Bausasran dan Kotagede. Sebagian berada di sekitar permukiman saja, tapi ada juga yang nyempil di dalam rumah seperti yang ada di Tamansari.

“Pada zaman dulu, umum orang memakamkan jenazah tidak di satu kompleks makam khusus. Kadang di depan, samping, atau pekarangan rumah sehingga lazim fenomena penemuan makam kuno di tengah permukiman karena sebelumnya tertimbun tanah,” pungkasnya.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

 BACA JUGA Misteri 3 Makam Nyai Dewi Sekardadu dan Bukit yang Dipindah dari Banyuwangi

 

 

 

 

 

Exit mobile version