Konon, makam Nyai Ageng Putri Sarjati diyakini menyimpan sebuah rahasia besar tentang kekayaan Nusantara yang tersembunyi. Maka tak heran jika makam ini menjadi tempat tawasulan bagi beberapa pelaku spiritual.
***
Suasana asri, teduh, dan tenang terhampar di depan mata saat saya berkesempatan sowan ke makam Nyai Ageng Putri Sarijati di Desa Jatisari, Kecamatan Sluke, Kabupaten Rembang. Maklum saja, lokasi makamnya berada di bibir pantai Jatisari dan agak jauh dari pusat desa. Hanya ada tiga bangunan di sana; makam Nyai Ageng Puti Sarijati, aula kecil, dan rumah sang juru kunci. Selebihnya adalah hamparan rumput hijau serta pohon-pohon besar yang rindang nan teduh.
Semilir angin dan debur ombak mengiringi langkah saya menuju sebuah aula kecil yang terletak persis di hadapan makam. Saat itu hari kedua Hari Raya Idul Fitri, Selasa, (3/5/2022). Jam di gawai saya menunjukkan pukul 16.45 WIB saat saya masuk ke area makam.
Dua orang—laki-laki dan perempuan—yang sedari tadi tampak asyik berbincang menyambut saya dengan begitu hangat. Keduanya mempersilakan saya duduk sembari menyodorkan segelas kopi yang baru dituang dari botol bekas air mineral ukuran besar.
“Waduh, Mbah Juru Kuncinya baru saja keluar, Mas, ke masjid. Kalau jenengan mau, ditunggu saja sampai nanti habis Magrib,” ujar Sri Rejeki (46), perempuan yang sore itu menjamu saya di aula depan makam Nyai Ageng Srijati. Berdasarkan keterangan dari Bu Sri, panggilan akrabnya, aula kecil itu memang diperuntukkan bagi para peziarah atau para pelaku spiritual yang ingin bermalam di sana.
“Saya sendiri sudah empat hari, Mas, nginep di sini. Masih menunggu izin dari Eyang (Nyai Ageng Putri Sarijati) untuk pulang,” akunya kepada saya yang tentu membuat saya terpancing untuk bertanya banyak hal kepada Bu Sri, sembari menunggu Mbah Juru Kunci pulang. Pikir saya, nanggung jika tidak sekalian saya tunggu.
Perempuan asal Asemdoyong, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus itu lantas menuturkan pengalamannya saat mendapat bisikan untuk bermalam (tawasulan) di makam tersebut.
Putri cantik berselendang kuning dan rahasia kekayaan Nusantara yang tersembunyi
Di penghujung bulan Ramadan, Bu Sri mengaku seperti tiba-tiba mendapat bisikan untuk sowan ke sebuah makam keramat di Desa Jatisari, Kecamatan Sluke. Sebuah makam yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian Pantura. Ia merasa, seolah-olah ada hal penting yang akan diberitahukan kepadanya.
Maka tak perlu pikir panjang bagi Bu Sri untuk segera menempuh perjalanan dua jam dari Kudus menuju Rembang. Berbekal restu sang suami dan dua anaknya yang masih usia SMP, ia pun berangkat dan bermalam hingga hari saat ia saya temui itu.
“Saya itu sudah akrab dengan dunia spiritual semacam ini sejak usai tiga tahun, Mas. Dari kecil saya memang sudah diajari orang tua saya untuk tirakatan. Jadi memang nggak asing dengan bisikan-bisikan semacam itu,” tuturnya.
“Cuma dari sekian bisikan yang pernah saya dapat, memang bisikan dari sini kok rasanya beda. Seperti ada sesuatu yang penting. Mangkanya saya lekas-lekas datang ke sini,” sambungnya.
Bu Sri melanjutkan, setelah melewati dua hari masa tawasulan di makam Nyai Ageng Putri Sarijati, baru di hari ketiga lah ia mendapat penglihatan gaib. Tepatnya pada malam Hari Raya Idul Fitri. Malam itu Bu Sri tengah khusyuk dalam wiridnya.
Memasuki tengah malam, tiba-tiba angin berhembus sangat kencang. Air laut pun menjadi pasang seketika. Ombaknya, menurut pengakuan Bu Sri, bahkan sampai melewati tanggul pantai, menciprat-ciprat ke arah pepohonan di atasnya.
Tak lama berselang, dari arah pantai berjalan anggun sesosok perempuan cantik bermahkota indah dan berselendang kuning yang diiringi oleh puluhan abdi ndalem-nya. Sosok itulah yang diyakni merupakan wujud asli dari Nyai Ageng Sarijati.
Dari sosok tersebut Bu Sri mendapat bisikan, bahwa di tangan sosok itulah tergenggam kunci yang bisa membuka rahasia kekayaan Nusantara yang tersembunyi.
“Ini kejadian benar-benar nyata, Mas, bagi saya. Bukan rekayasa, bukan halusinasi,” ucap Bu Sri dengan sangat yakin.
“Intinya begini, Mas, di sini itu ada kunci yang nantinya bisa membuka rahasia tentang harta kekayaan Nusantara yang masih tersembunyi. Itu harta para leluhur kita nenek moyang bangsa Nusantara sampai hartanya Pak Soekarno. Nah, itu kalau nanti sudah terbuka, Nusantara ini katanya bakal kembali berjaya,” imbuhnya.
Saat tengah fokus menyimak penuturan Bu Sri, bapak-bapak usaia 50-an berambut gondrong dan berpakaian serba hitam (yang enggan disebutkan namanya) di sebalah saya menimpali. Ia menyebut, butuh proses yang sangat lama agar Nyai Ageng Putri Sarijati sudi membeberkan kunci tersebut. Kedatangan para pelaku spiritual ke makam tersebut tidak lain adalah dalam rangka berupaya merayu Nyai Ageng Putri Sarijati agar berkenan memberikan isyarat, kapan kiranya waktu yang tepat agar rahasia itu akan dibeberkan.
“Itulah kenapa bukan sembarang orang yang dapat bisikan untuk datang ke sini. Hanya orang-orang tertentu. Hanya orang-orang yang ahli tirakat. Karena tawasulan itu selain butuh kondisi hati yang suwung juga butuh kesabaran,” ujarnya dengan suaranya yang serak-serak basah. Saya menyimaknya dengan sedikit merinding. Apalagi hari sudah gelap, area makam benar-benar seperti berada di peradaban lain.
“Bagi yang nggak tahu, mungkin akan berpikir, alah makam siapa to ini. Tapi bagi orang-orang yang tahu, khususnya secara gaib, wah, Eyang Putri (Nyai Ageng Putri Sarijati) ini bukan sosok sembarangan. Beliau ini termasuk salah satu gengnya tanah Nusantara, jaduk, sakti mandraguna,” tambah lelaki asal Jatirogo, Kabupaten Tuban tersebut.
Tirakat untuk negeri
Usai salat Magrib di aula, saya pun lanjut berbincang dengan Bu Sri. Sementara karena belum ada tanda-tanda Mbah Juru Kunci pulang dari masjid di luar desa.
Yang menarik dari Bu Sri, ternyata ia datang tidak semata-mata atas dorongan hajat pribadinya. Setelah tahu mengenai rahasia kekayaan Nusantara tersebut, ia mengaku murni niat tawasulan demi kemakmuran bangsa Indonesia.
Karena, dari penilaiannya, bangsa Indonesia dari masa-masa ke masa sejak zaman Soekarno hingga sekarang seperti selalu berada dalam kesulitan. Bangsa Indonesia menjadi bangsa pesakitan yang selalu tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Untuk itulah, ia niat tawasul agar Nyai Ageng Putri Sarijati berkenan turun tangan untuk menolong bangsa Indonesia, membawanya keluar dari zaman kalabendhu (kesengsaraan) yang tak berkesudahan ini.
“Saestu saya nggak ada kepikiran untuk menarik kekayaan leluhur ini untuk diri saya sendiri. Saya niat murni agar kekayaan itu dibuka untuk masyarakat Indonesia. Karena gimana-gimana, itu kan memang harta peninggalan leluhur masyarakat Indonesia,” ungkapnya.
“Itu, Mas, kalau misalnya nanti sudah dibuka byak tentang rahasia kekayaan Nusantara. Wuaaah, atas kersane Allah, negara Indonesia ini sudah nggak ada tandingan nantinya,” ucap bapak-bapak berambut gonrong dan berpakaian serba hitam yang enggan disebutkan namanya tadi.
Pada malam saat didatangi sosok putri cantik berselendang kuning, Bu Sri juga mengaku mendapat bekal ilmu tambahan untuk menjalankan pengobotan herbal yang sudah ia tekuni sejak lama. Tak hanya itu, ia mendapat pesan agar jangan berhenti mengabdi untuk masyarakat.
Pengabdian dalam skala kecil yakni dengan membuka pengobatan herbal secara gratis kepada siapa saja yang membutuhkan bantuannya. Sementara pengabdian dalam skala besar dan jangka panjang yakni agar Bu Sri datang tawasulan ke makam Nyai Ageng Putri Sarijati di malam-malam tertentu, dalam rangka tirakatan untuk menolong bangsa Indonesia dari kesengsaraan. Karena jika suatu hari nanti rahasia kekayaan Nusantara akhirnya dibuka, betapa bakal makmurnya negeri Indonesia ini.
“Ini sementara saya nunggu perintah untuk pulang dulu dari Eyang Putri. Kalau sudah ada perintah, maka saya akan pulang. Tapi nanti kedepan mestinya saya akan sering sowan ke sini,” ucapnya menutup perbincangan kami malam itu.
Karena sayangnya, hingga lepas Isya Mbah Juru Kunci tak kunjung pulang. Atas saran Bu Sri saya diminta untuk kembali esok harinya. Maka saya pun berpamitan, menerobos gelapannya jalanan akses keluar-masuk makam yang di kiri-kananya berderet pohon-pohon jati meranggas. Bulu kuduk saya meremang tiba-tiba.
Tentang Nyai Ageng Putri Sarijati yang sengaja menyamarkan diri
Keesokan harinya, Rabu (4/5/2022) sekitar pukul 10.30 WIB saya kembali sowan ke makam Nyai Ageng Putri Sarijati.
Manakala saya sedang mengambil gambar beberapa sudut area makam, seorang pria sepuh menyapa saya dari jauh. Ia adalah Sugiyanto (80) atau yang akrab dipanggil Mbah To, juru kunci makam Nyai Ageng Putri Sarijati. Ternyata ia sudah tahu kalau saya akan datang menemuinya. Mbah To lantas mengajak saya duduk-duduk di aula.
“Saya jadi juru kunci di sini sejak 2005. Waktu itu saya sedang tawasulan di salah satu makam keramat di Bojonegoro. Kira-kira ya satu tahunan lah. Terus ada panggilan buat ke sini. Ternyata juru kunci lama baru saja meninggal, saya diminta secara langsung oleh Eyang Putri untuk menggantikannya,” ujar Mbah To ditingkahi angin pantai yang berhembus semilir.
Seturut penuturan Mbah To, sistem pergantian juru kunci di makam Nyai Ageng Putri Sarijati memang tidak secara turun-temurun dari satu nasab. Melainkan ditunjuk secara langsung oleh Nyai Ageng Putri Sarijata melalui bisikan hingga penglihatan gaib.
Karena, masih dari Mbah To, Nyai Ageng Putri Sarijati tidak ingin penjaga makamnya adalah orang-orang sembarangan. Dengan ia sendiri yang menunjuk, artinya ia sudah tahu persis bagaimana perjalanan spiritual dari orang yang ia ditunjuk tersebut.
Termasuk kenapa makam Nyai Ageng Putri Sarijati seolah-olah tak banyak yang tahu, itu juga lantaran kehendak dari Eyang Putri sendiri.
“Kenapa nggak banyak ahli sejarah yang tahu? Padahal beliau tokoh besar. Kenapa di Rembang juga nggak banyak yang kenal? Padahal beliau bisa dikatakan adalah mbahnya orang Rembang. Itu semua karena beliau sendiri yang kerso,” jelasnya.
“Beliau, secara gaib, memang mencoba menyamarkan diri. Jadi makamnya ini seolah-olah dibuat nggak diketahui banyak orang. Kalau sampean tanya, orang-orang yang datang ke sini rata-rata mesti karena panggilan gaib. Bukan karena alasan yang bersifat akal. Kalau sampean ini kan itungannya datang ke sini karena urusan akal, pengin cari bahan tulisan, iya to?” imbuhnya yang membuat saya tersenyum sambil menundukkan kepala.
Mbah To menambahkan, Nyai Ageng Putri Sarijati pada dasarnya tidak menghendaki makamnya ramai peziarah. Karena jika orang-orang datang hanya sebatas ziarah tanpa memiliki ikatan spiritual dengan Nyai Ageng Putri Sarijati, maka justru tak ada sisi sakralitasnya. Sebab, sebagaimana diutarakan Bu Sri sebelumnya, Nyai Ageng Putri Sarijati memegang kunci yang bisa membuka rahasia kekayaan Nusantara yang tersembunyi. Ia mencoba mencari dan memilih orang-orang yang sanggup bertirakat, mecoba mengukur seberapa jauh keinginan hati mereka untuk membuka rahasia tersebut.
Pendekar wanita yang mati di tangan pasukan Majapahit
“Yang jelas Nyai Ageng Putri Sarijati sudah menyebarkan agama Islam di tanah sini (Sluke) sebelum era menyebarnya Wali Songo,” terang Mbah To menjawab pertanyaan saya mengenai siapa sebenarnya Nyai Ageng Putri Sarijati itu?
Mbah To sendiri tidak tahu persis dari mana sebenarnya Nyai Ageng Putri Sarijati berasal. Dalam interaksi secara gaib di masa awal ia didapuk jadi juru kunci pun ia tak diberi tahu hingga detail mengenai asal-usulnya.
Ia hanya mendapat kaweruh bahwa Nyai Ageng Putri Sarijati adalah sosok perempuan penyebar Islam di Sluke. Asal mula nama Sluke pun diambil dari kata “Suluk” yang berarti perjalanan spiritual dalam dunia mistisme-sufistik. Merujuk pada sosok Nyai Ageng Putri Sarijati yang dulu mengajarkan ilmu agama (Islam) untuk masyarakat di pesisir Sluke.
Ia dulu mendirikan sebuah padepokan di pesisir pantai (sekarang pantai Jatisari) yang kemudian menjadi pusat dakwah. Saat itu banyak masyarakat yang nyantri kepadanya.
Kabar tersebut terdengar hingga ke salah satu pangeran Majapahit yang saat itu tidak memeluk Islam. Ia ditemani beberapa pasukan lalu menuju Sluke untuk menyelidiki, siapa sebenarnya sosok wanita yang berani-beraninya membuka padepokan di wilayah Majapahit tanpa sepengetahuan penguasa Majapahit. Mengingat daerah Sluke masih masuk dalam wilayah Kerajaan Lasem, dimana saat itu Lasem sendiri masih merupakan salah satu negara vassal Majapahit.
Mulanya, pihak Majapahit menghendaki agar padepokan tersebut dibubarkan dan Nyai Ageng Putri Sarijati dibunuh. Namun setelah melihat betapa elok nan cantiknya paras Sang Nyai, terbesit pikiran untuk mempersunting Sang Nyai.
Hanya saja Nyai Ageng Putri Sarijati mengajukan syarat, jika ingin menikahinya maka pangeran Majapahit tersebut haruslah memeluk Islam terlebih dahulu. Nah, karena pangeran Majapahit tak menyanggupi, Nyai Ageng Putri Sarijati pun menolaknya mentah-mentah.
Merasa kehormatannya sebagai pangeran Majapahit dilucuti, ia lantas memerintahkan pasukannya untuk memerangi Nyai Ageng Putrri Sarijati beserta para santrinya. Nyai Ageng Putri Sarijati pun bahkan sampai turun ke gelanggang. Ia meninggal di tangan sang pangeran setelah perutnya tertusuk tombak.
“Darah beliau itu mengucur deras, Mas, hingga mengambar-aambar (tercecer ke mana-mana). Tapi baunya wangi sekali. Mangkanya daerah tempat menetesnya darah beliau yang wangi itu dikasih nama Mbarwangen (lokasinya di sebelah timur Jatisari),” beber Mbah To.
“Oleh saudaranya yang masih hidup, jasad Eyang Putri dibawa ke sini, terus disemayamkan di bawah pohon jati. Lalu lebih dikenal dengan nama Putri Sarijati. Asal katanya, putri yang disarikke (dimakamkan) di bawah pohon jati. Kalau nama aslinya sebenarnya Dewi Siti Syarifah,” jelasnya. Nama itu pula yang kemudian diambil sebagai nama desa, yakni Desa Jatisari.
“Lalu kalau penamaan Dewi Siti Khuliyah itu dari mana, Mbah?” tanya saya penasaran. Karena di makam memang tertera dua nama, yaitu Nyai Ageng Putri Sarijati dan Dewi Siti Khuliyah.
Dengan singkat Mbah To menjelaskan, nama tersebut dinisbatkan pada peran Nyai Ageng Putri Sarijati yang semasa hidup membuka padepokan untuk belajar agama Islam. Padepokan, pesantren, atau sekolah yang mengajarkan agama Islam dalam Bahasa Arab kan disebut dengan Kulliatul Islam. Itulah kenapa kemudian ia disebut juga dengan Dewi Siti Khuliyah. Kurang lebih demikianlah yang dituturkan Mbah To.
“Tapi sari bisa juga diartikan sari kehidupan. Sebab, beliau adalah sari kehidupannya bumi Nusantara. Jika kelak beliau sudah bertindak, bumi Nusantara ini akan kembali makmur,” tandasnya.
***
Memasuki tengah hari, saya bermaksud undur dari dari makam. Namun, baru saja saya berpamitan, Mbah To lantas menggenggam dan menarik tangan saya.
“Besok-besok sampean mesti sowan ke sini lagi. Baru saja Eyang Putri tanya ke saya secara gaib, tanya sampean ini siapa. Nanti kalau sampean ke sini lagi, saya kasih pengetahuan yang lebih dalam soal sejatinya Eyang Putri itu siapa,” bisiknya yang membuat saya hanya bisa menelan ludah.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono