Makam Belanda Peneleh di Kota Surabaya sudah tak lagi difungsikan oleh pemerintah kolonial sejak tahun 1924. Sempat tak terawat, makam yang disebut-sebut keramat ini kini terlihat bersih.
Kontributor Mojok masuk ke makam dan berbincang dengan penjaga makam yang keluarganya turun temurun menjadi penjaga makam yang luasnya 6,4 hektare tersebut.
***
Selalu menarik bila membicarakan hal mistis, karena keberadaannya yang tidak bisa dibuktikan namun banyak orang yang membuat kesaksian tentang kenyataan sebuah penampakan.
Di suatu Minggu di bulan Februari 2023 yang mendung tapi tak berselimut hujan, saya dan seorang teman saya, Andre mengunjungi Makam Belanda Peneleh. Salah satu tempat yang katanya, terkenal mistis di Surabaya. Makam ini terletak di Jalan Makam Peneleh Nomor 35A, Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya Jawa Timur.
Kali pertama memasuki gerbang masuk, saya terkesima dengan bentuk pagarnya yang masih peninggalan asli Belanda. Membukanya pun harus dengan mendorong dengan sekuat tenaga. Tak jauh dari gerbang masuk, saya Mas Irul (39) menyambut saya. Ia merupakan penjaga makam yang keluarganya turun-temurun menjaga makam ini.
Makam yang telah ada sejak zaman kompeni ini menurut penuturan Mas Irul memang menyimpan banyak misteri. Tiga di antara kejadian mistis yang dialami langsung olehnya adalah penampakan jin raksasa berambut gimbal dan bersayap, suara berbaris, dan kejadian irasional di pohon asam.
Soal percaya atau tidak saya serahkan ke sidang pembaca. Yang jelas makam ini jadi tempat peristirahatan terakhir pejabat kolonial seperti Residen Surabaya Daniel Francois Willem Pietermaat (1790–1848), Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Merkus (1787–1844), Wakil Direktur Mahkamah Agung Hindia Belanda Pierre Jean Baptiste de Perez, hingga seorang penerjemah dan ahli bahasa terkemuka saat itu Van Der Tuuk.
Jin bersayap dan berambut gimbal
Mas Irul menceritakan bahwa sebelum pepohonan di kompleks pemakaman tersebut ditebang agar tidak terlalu singup (seram), ia pernah secara langsung melihat penampakan jin raksasa bersayap. “Sumpah demi Allah, Mas. Gak mbujuk aku. Iki lo aku sampek merinding,” ucapnya meyakinkan.
Kejadian itu masih terekam jelas dalam ingatannya, tepatnya pukul 01.30-an WIB di malam Jumat legi. Ia sedang berjalan-jalan di area makam yang terdapat patung di dekatnya, tiba-tiba Ia melihat bayangan lagi selain bayangan patung dan dirinya. Seketika Ia menoleh ke belakang dan langsung kaget melihat sosok raksasa yang memiliki sayap seperti kelelawar dengan kepala berambut gimbal.
“Aku langsung melayu, Mas. Sampen percoyo gak, jarak ke nang gerbang iku loh aku ngeroso koyok sak jam,” ucapnya. Seharusnya area tempat Ia melihat dengan gerbang hanya berjarak beberapa meter, namun Ia merasa sangat jauh hingga seolah membutuhkan waktu berlari selama satu jam.
Saya sempat bertanya kepadanya ihwal kepalanya berwajah manusia atau hewan, tapi ia mengaku tak sempat melihat bentuk wajahnya sebab sangat minim penerangan. Satu-satunya yang ia lihat adalah bentuk rambut, kepakan sayap, dan ukurannya yang melebihi ukuran manusia.
Ia juga menambahkan bahwa untuk meyakinkan dirinya sendiri, ia sampai memegang dadanya yang bergemuruh dengan bersimbah keringat kala sudah melewati gerbang makam. “Kalau itu saya, mungkin sudah saya naiki. Siapa tahu saya bisa mengajaknya terbang gratis ke Pulau Bali,” batin saya.
Suara berbaris di area pemakaman
Mas Irul menuturkan bahwa hanya sekali itu ia benar-benar melihat secara langsung wujud jin. Sedangkan untuk kejadian mistis sehari-hari yang rutin ia alami adalah suara-suara tanpa rupa. Satu di antara tempat yang paling sering ia dengar adalah area makam sekelompok biarawati.
“Di area makam itu loh, Mas. Orang-orang yang tidak menikah itu, sering terdengan suara orang-orang berbaris,” kisahnya. Secara logika memang siapa yang mau latihan Paskibraka malam-malam di makam?
Kompleks makam para biarawati itu memang terlihat cukup terawat di antara makam-makam yang lain. Menurut penuturan Mas Irul, makam itu diperbaiki oleh perwakilan gereja dari Malang. Wajar saja jika masih tampak terawat jika dibandingkan dengan makam-makam lainnya yang pecah, bahkan berlubang.
“Beberapa memang rusak dimakan usia, ada juga yang diambil oleh keluarganya dari Belanda, dan ada juga yang dirusak oleh pribumi pada tahun 1948,” ucapnya. Ia juga menjelaskan bahwa masyarakat pribumi merusak sebagai bentuk luapan amarah kepada para kompeni yang telah berbuat tak manusiawi.
“Bagaimana tidak marah, Mas lah wong dulu jangankan orang pribumi, hewan peliharaan pribumi yang mau masuk area makam ini saja kakek saya yang jaga makam langsung menembaknya dengan senapan angin,” kisah Mas Irul. Mendengar kisah sekaligus melihat area pemakaman ini menjadi perenungan tersendiri bagi saya. Bahwa tragedi penjajahan akan selalu meninggalkan bekas sedikit atau banyak.
Pohon asam keramat di makam Belanda
Bagian terakhir yang paling ikonik sekaligus kharismatik dari makam ini adalah pohon asam di tengah-tengah area pemakaman yang menurut Mas Irul menjadi pos (pusat) kekuatan gaib. “Dulu ada sepasang calon pengantin yang hendak melakukan foto prewed di sini. Saat pertama datang saya sudah memeringatkan untuk berhati-hati dan santun, apalagi mereka mau ambil foto di area pohon asam itu. Namun si laki-laki malah dengan angkuh mengaku masih memiliki nasab dengan Mbah Gus Dur,” ucapnya.
Mendengar kesombongan laki-laki itu, Mas Irul spontan berkata di dalam hati bahwa pasti akan terjadi suatu hal sebagai pengingat. Tak lama setelah itu, saat si perempuan mulai berjalan mendekati pohon asam, ia langsung lari berbalik sembari berteriak “pulang…..pulang”.
“Saya kira dia sudah kapok, Mas. Selang seminggu, dia kembali lagi dan membaca semacam wirid di dekat pohon asam yang seolah ingin melawan gegara kejadian sebelumnya,” kisah Mas Irul. Beberapa saat setelah itu, datang semacam angin puting beliung yang memutar-mutarkan tubuh lelaki tersebut hingga jatuh terlentang. “Sejak kejadian itu, saya tak pernah lagi melihatnya kembali ke sini,” tambah Mas Irul.
Kejadian-kejadian ini kembali menyadarkan saya bahwa manusia tidak boleh terlalu angkuh terhadap hal apapun. Bukan karena apa-apa, tapi malunya itu loh kalau akhirnya yang disesumbarkan tidak sesuai dengan kenyataan.
Di luar kisah-kisah mistis tersebut, saya dan Andre sangat terpesona dengan pemandangan khas kolonial di pemakaman ini. Rumputnya yang hijau, bangunan-bangunan khas kolonial, gedung-gedung tinggi Kota Pahlawan, serta udara segar bernuansa mendung menjadi pengingat tersendiri bagi saya bahwa kuburan adalah tempat berpulang setiap insan suka atau tidak, siap atau tidak.
Jika belum (bahkan tidak) siap, lantas bagaimana saat tempat berpulang itu memanggil dengan tiba-tiba?
Penulis: Akhmad Idris
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Mereka yang Hatinya Tertambat di Surabaya, Kota Tanpa Perasaan dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.