Makam KH Ahmad Dahlan di Karangkajen Jogja menyimpan kisah unik. Banyak rombongan NU dengan bus-bus besar yang menziarahi pendiri Muhammadiyah ini.
***
Tak ada peziarah lain saat saya berkunjung ke Makam Islam Karangkajen, tempat KH Ahmad Dahlan dikebumikan. Suasana sunyi. Di luar pagar makam, hanya ada beberapa warga yang sedang bercengkerama di teras rumah.
Saya berkunjung ke Makam KH Ahmad Dahlan pada Selasa (11/6/2024) sekitar pukul 10 siang. Kompleks pemakaman berada di tengah permukiman padat. Akses untuk mobil terbatas. Bahkan, saya melewati rute lain lewat sisi utara berupa gang sempit yang nyaris tak muat untuk kendaraan roda empat.
Motor saya parkirkan di depan rumah warga. Lalu melangkah dari pintu utara Pemakaman Islam Karangkajen. Begitu masuk, di sisi timur saya langsung tampak jelas sebuah tanda di bagian dalam pagar bertuliskan “Makam Pahlawan Nasional KH Ahmad Dahlan”.
Makam pendiri Muhammadiyah itu sederhana. Bentuknya seperti tanpa nisan, hanya cor-coran pendek berbentuk persegi panjang yang di tengahnya diisi bebatuan. Lalu sekelilingnya ditumbuhi rumput jepang.
Makam KH Ahmad Dahlan, satu barisan dengan empat tokoh Muhammadiyah lain. Dua di antaranya mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah yakni KH Ahmad Badawi dan KH Ibrahim. Lalu ada makam KH Noor, penghulu Keraton Yogyakarta dan Aisyah Hilal, mantan Pemimpin Redaksi Suara Aisyiah.
Pada larik yang sama, meski agak terpisah, ada makam mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah lainnya yakni KH AR Fakhruddin dan KH Azhar Baasyir. Begitu banyak tokoh yang dikebumikan di Makam Islam Karangkajen.
Ketika makam KH Ahmad Dahlan kerap diziarahi rombongan warga NU dari Jawa Timur
Setelah berdoa sejenak, saya lalu kembali keluar pagar kompleks makam. Mencari tahu kepada warga sekitar siapa sosok pengelola makam ini. Ternyata, sosok itu bernama Nursamhudi (61), yang halaman rumahnya jadi tempat saya parkir kendaraan.
Lelaki yang jadi penjaga makam sejak 2015 lalu ini lalu keluar rumah dan menemui saya. Ia meneruskan tugas yang sudah turun temurun sejak orang tuanya. Sebelum Nursamhudi, tugas itu diemban oleh kakaknya, Nurhadi.
Menurutnya, makam KH Ahmad Dahlan memang tak setiap hari ramai peziarah. Terakhir, sehari sebelumnya, baru ada rombongan sekitar 100 orang dari Pemkot Yogyakarta yang melakukan ziarah ke kompleks makam ini.
“Kalau warga Muhammadiyah memang nggak terlalu sering ziarah. Juga biasanya datangnya tidak berombongan. Paling ramai biasanya kalau menjelang Ramadan dan saat mau ada Muktamar Muhammadiyah,” ungkap Nursamhudi.
Sebagai orang yang pernah menimba ilmu selama enam tahun di institusi pendidikan milik Muhammadiyah, jujur saya juga baru pertama kali ini menziarahi makam KH Ahmad Dahlan. Sejauh ingatan saya, ziarah memang bukan jadi suatu ritus yang kerap dibicarakan di kalangan kami.
Nursamhudi lalu bercerita, bahwa rombongan besar justru biasanya datang dari kalangan warga NU. Bahkan, mereka datang dari luar daerah.
“Banyak Mas, warga NU itu datang dari Jawa Timur. Bisa tiga sampai lima bus rombongannya. Parkirnya ya di Jalan Sisingamaraja, terus jalan ke sini,” kata dia.
“Parkirnya di depan Hotel Olimpic biasanya,” timpal seorang lelaki yang juga sedang duduk di teras rumah Nursamhudi.
Terakhir, ada rombongan dari Tuban yang mengabari akan ziarah pada awal Juni 2024 ini. Tujuan utamanya ke makam KH Fatchurrohman K, mantan Menteri Agama kedua Indonesia. Namun, sekaligus hendak berdoa di makam KH Ahmad Dahlan.
“Beberapa waktu lalu mengabari, tapi sampai mau pertengahan Juni ini belum datang-datang,” tutur Nursamhudi.
Tempat dimakamkannya tokoh-tokoh besar Islam Indonesia
Lelaki ini lalu mengajak saya kembali masuk ke makam. Ia menunjukkan makam Prof Yunahar Ilyas, salah satu tokoh besar Muhammadiyah yang tutup usia pada 2020 silam.
“Ini sebenarnya cor-corannya masih agak terlalu tinggi. Tapi masih sesuai standar. Kalau patokan idealnya itu seperti makam KH Ahmad Dahlan yang seperti tidak ada nisannya,” ungkapnya.
Di Makam Islam Karangkajen memang tak ada nisan besar. Semuanya tampak sederhana. Bahkan, sejumlah makam sudah ditumpuk untuk dua hingga tiga jenazah yang merupakan ahli warisnya.
Kami lanjut berkeliling. Di makam ini, banyak makan yang di sampingnya terdapat tiang kecil dengan motif bendera Indonesia. Tanda pejuang kemerdekaan.
“Kalau pahlawan nasional di sini ada dua, KH Ahmad Dahlan dan Lafran Pane,” tuturnya.
Lafran Pane, merupakan pendiri organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 6 November 2017 berdasarkan Keppres RI No 115/TK/ Tahun 2017.
Mereka yang dimakamkan di di sini merupakan orang yang punya hubungan keluarga dengan Warga Karangkajen. Lafran Pane misalnya, sosok yang berasal dari Padang Sidempuan, Sumatera Utara ini memang tak berdarah Jogja. Namun, anaknya mempersunting istri yang berasal dari Karangkajen.
“Sekarang makam ini sudah penuh sekali. Makannya, banyak yang sudah modelnya ditumpuk dalam satu liang,” terang Nursamhudi.
Ziarah di mata orang Muhammadiyah
Bagi sebagian kalangan Muhammadiyah, ziarah bukan merupakan aktivitas yang sering dilakukan. Nabhan Mudrik (26) misalnya, aktivis muda Muhammadiyah ini mengaku baru dua tahun terakhir ini melakukan ziarah ke makam KH Ahmad Dahlan.
“Padahal aku dari TK sampai SMA di sekolah Muhammadiyah. Bahkan SMP-SMA di Jogja. Ya baru belakangan ini ziarah sekitar dua kali,” ungkapnya.
Menurutnya, dulu ia menganggap ziarah merupakan hal yang tabu. Tidak dilarang, tapi agak dihindari untuk mencegah potensi hal-hal yang menurutnya tidak sesuai akidah.
“Nggak bisa dimungkiri bahwa dulu banyak yang terlalu kaku dengan ziarah. Agak ketularan dengan Islam yang terlalu konservatif. Tapi sekarang sebenarnya sudah mulai lumrah dilakukan di kalangan kami,” kata dia.
Namun, ada pula warga Muhammadiyah yang sejak lama kerap menziarahi makam KH Ahmad Dahlan. Budhi Hermanto salah satunya, ia sudah lebih dari 10 kali ziarah ke tempat tersebut.
Bahkan aktivis Muhammadiyah ini juga kerap menziarahi ulama atau guru yang ia kagumi di berbagai kota. Namun, seringnya memang tidak secara khusus pergi dengan niat melakukan ziarah.
“Sunan Gresik, Sunan Gunungjati, sampai Guru Sekumpul (Muhammad Zaini Abdul Ghani) itu pernah saya ziarahi. Semuanya tidak secara khusus datang tapi kebetulan lewat daerah tersebut,” ungkap Budhi.
Menurutnya, ziarah di kalangan warga Muhammadiyah tidak jadi ritus yang dikhususkan. Kebanyakan biasanya mengunjungi makam orang tua atau guru. Momennya menjelang puasa atau setelah lebaran dan dilakukan sambil membersihkan makam.
“Ziarah itu di Muhammadiyah dilakukan dengan berdoa seperti biasa. Mendoakan orang tua, guru, atau ahli kubur,” pungkasnya.
Sehingga, sebenarnya warga Muhammadiyah pun biasa dengan ziarah. Meskipun tidak seintens warga NU dalam melakukannya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Semua akan Menjadi Muhammadiyah pada Waktunya
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News