Matahari di Dusun Wotawati, Girisubo, Gunungkidul, tenggelam pukul 15.00 adalah hal wajar dan masuk logika. Namun, ada banyak peristiwa lain di luar nalar yang terjadi di kampung yang berada di lembah Bengawan Solo Purba ini.
***
Fenomena alam matahari yang baru muncul sekitar pukul 10.00 dan tenggelam sekitar pukul 15.00 bagi masyarakat Wotawati adalah pemandangan biasa. Namun, tidak bagi orang-orang yang baru menjejakan kakinya di kampung ini.
Seperti yang saya alami saat meliput coblosan di Wotawati pada 14 Februari 2024 silam. Saya datang di tanggal 13 Februari jelang sore hari saat matahari sudah tidak terlihat di kampung ini. Matahari yang tersembunyi di balik bukit ini lah yang kemudian memunculkan fenomena kampung sudah mulai remang di pukul 15.00.
Begitu pula saat saya datang keesokan harinya, matahari baru secara penuh menyinari kampung ini sekitar pukul 09.00.
Saya lantas bertanya kepada beberapa warga dusun, dengan siapa saya bisa ngobrol tentang keberadaan kampung yang konon muncul di era keruntuhan Kerajaan Majapahit tersebut. Nama Suratin, atau mantan dukuh disarankan untuk saya jumpai karena merupakan sesepuh di kampung ini. Saya bertemu dengan Pak Suratin beberapa saat jelang sore hari. Ia tengah duduk santai di ruang tamu sambil menikmati rokok dan kopi di sore hari.
Asal usul nama Padukuhan Wotawati di lembah Bengawan Solo Purba
Ia lantas bercerita bagaimana Dusun Wotawati bisa lahir. Cerita itu ia dengar dari leluhur secara turun temurun. “Rumah saya ini sudah 5 generasi lho, Mas,” katanya menunjuk rumah limasan di rumahnya.
Pak Suratin kemudian bercerita Dusun Wotawati tak lepas dari masa akhir kerajaan Majapahit. Kisahnya bermula dari peperangan antara Majapahit dan kerajaan Demak. “Ibaratnya perang antara bapak dan anak. Majapahit itu bapak dan Demak itu anak,” kata Pak Suratin.
Ia melanjutkan ceritanya, salah seorang punggawa Kerajaan Majapahit, yaitu Raden Joyo Sukmo dan istrinya Ni Mas Arum Sukmawati kemudian pergi dari Majapahit ke arah barat daya. Mereka kemudian melihat sebuah lembah yang subur.
Di tempat itulah, kemudian mereka bersama pengikut-pengikutnya tinggal. “Suatu hari, Ni Mas Arum Sukmawati mengajak suaminya untuk jalan-jalan. Karena bekas Bengawan Solo Purba, ada kalenan, yang kemudian dibuat wot atau jembatan dari bambu,” kata Mbah Suratin. Jembatan itu ternyata licin dan menyebabkan Ni Mas Arum Sukmawati kemudian terpeleset dan jatuh. Karena peristiwa itulah, kepada anak, cucu, dan pengikutnya Raden Joyo Sukmo kemudian menamain dusun tersebut dengan nama Wotawati dari kata “wot” dan “wati”. Setelah sekian lama, Raden Joyo Sukmo kemudian berpamitan kepada istri, anak, dan cucunya untuk mengikuti Raja Brawijaya V yang melarikan diri dari kejaran Demak di wilayah pantai selatan. Di akhir hidupnya, seperti Raja Brawijaya V yang moksa, Raden Joyo Sukmo juga moksa.
“Gua Song Putri itu namanya juga dari Ni Mas Arum Sukmawati. Beliau tinggal di sini sampai kemudian moksa,” katanya.
Cerita-cerita di luar nalar di Wotawati
Sebagai orang yang pernah menjadi dukuh lebih dari 31 tahun, Suratin punya banyak cerita tentang kampungnya. Sebelum menjadi dukuh, ia merantau di Jakarta. Ia pulang kampung setelah banyak orang memintanya untuk ikut membangun kampungnya. Peristiwa tersebut terjadi tahun 1991.
“Di Jakarta itu sekitar 13 tahun, anak dan istri sempat saya tinggal di sana, setelah terpilih jadi dukuh, baru saya boyong ke Gunungkidul,” katanya.
Baru beberapa bulan menjadi dukuh sebuah peristiwa di luar nalar ia saksikan sendiri di kampungnya. Saat itu suasana kampung masih sangat asri. Telaga Wotawati airnya masih melimpah dan jadi andalan warga untuk bertani dan memenuhi kebutuhan hidup. Pepohonan juga masih lebat dengan banyaknya pohon aren di perbukitan.
Sultan HB X bertapa dan menyembuhkan penduduk dusun?
Suatu hari, dusun yang tenang itu menjadi heboh saat ada seseorang berjubah putih yang turun dari Gua Song Putri.
“Jadi saat itu, ada orang bertapa di gua Song Putri, dia turun keluar gua dengan cara mbrangkang atau merangkak terus menuju rumah orang yang paling nggak punya,” kata Pak Suratin.
Kepada pemilik rumah, orang tersebut lantas meminta air kelapa muda. Usai menenggak, orang tersebut terlihat bugar seperti bukan orang yang baru bertapa selama 40 hari.
“Kemudian orang berjubah putih itu mengundang siapa saja warga dusun yang sakit untuk datang, untuk ia sembuhkan,” kata Suratin.
Kemudian berbondong-bondong orang-orang di Dusun Wotawati datang ke rumah yang ada orang berjubah putih. “Saya menyaksikan sendiri, Mas. Orang-orang di sini itu disembuhkan dengan doa dan diminta minum air putih,” kata Pak Suratin.
Menurut Pak Suratin, orang tersebut memperkenalkan diri sebagai Joko Lelono. Ia mengamat-amati secara detail wajah pria berjubah putih dengan sorban di kepala tersebut.
“Saya ikut jagongan melihat Joko Lelono menyembuhkan orang yang sakit. Setelahnya itu dia pamit pergi, baru beberapa langkah sudah nggak kelihatan, satu kampung itu dulu heboh,” kata Suratin.
Tak lama kemudian, ia menerima stiker dari desa yang berisi foto Sri Sultan HB X yang seingatnya baru diangkat sebagai raja yang menggantikan Sri Sultan HB X.
“Jadi itu stiker untuk desa yang dibagikan ke masyarakat, setelah lihat fotonya, lho ini kan Joko Lelono, saya ingat persis letak tahi lalatnya. Tapi itu tebakan saya, Mas, ” kata Suratin.
“Tapi Pak, Sultan HB X itu kan penobatannya tahun 1989, bukan 1991,” kata saya meluruskan informasi soal penobatan Sultan HB X menjadi Raja Yogyakarta pada 7 Maret 1989.
“Lho masak, Mas. Tapi saya dapat fotonya itu tahun 1991,” kata Suratin.
Anjing putih dan binatang bibis yang datang ke rumah
Menurut Suratin, sudah kebiasaan ia saat menjadi dukuh keliling kampung di tengah malam. Kebiasaan tersebut untuk melihat suasana kampung di tengah malam itu ia nilai sebagai cara untuk memberi rasa aman kepada warga.
Namun, kebiasaanya tersebut membuatnya bertemu dengan hal-hal ganjil di luar nalar. “Pertama, itu kemunculan anjing besar berwarna putih di depan rumah. Ekornya itu panjang seperti bunga glagah. Kalau datang anjingnya biasa duduk di sana dan mengarah ke sini,” papar Suratin.
Suratin tidak takut karena ia menganggap anjing itu seperti penjaga kampung Wotawati, ia selalu minta anjing tersebut untuk pergi jika sudah cukup. “Larinya ke utara, ke arah gua,” katanya.
Satu peristiwa lain yang di luar nalar yang kerap Suratin temui adalah di malam Jumat Legi. Ribuan binatang air, bibis datang ke rumahnya. Binatang itu hanya datang dan akan pergi setelah beberapa saat.
“Biasanya saya bilang, kalau sudah kangen silahkan pergi. Anehnya, nggak ada satu bibis yang tertinggal, semua pergi ke telaga,” sambung istri Pak Suratin.
Kedatangan bibis tersebut berhenti ketika Telaga Wotawati ketika mata air di telaga mati di tahun 2000. Sedimentasi membuat telaga lama-lama dangkal dan tak lagi ada airnya.
Jadi desa wisata budaya
Apa yang Suratin ceritakan diamini oleh warga, salah satunya oleh Sugito (70). “Yang orang berjubah putih, bertapa dan menyembuhkan banyak orang itu benar, banyak saksinya. Tapi pas kejadian saya kebetulan di luar kota,” kata Sugito.
Menurut Sugito dari cerita orang-orang Joko Lelono itu nama lainnya Sidik Joko Sasongko. Saat itu memang banyak yang sembuh karena doa dari orang yang bertapa. “Dulu katanya ninggal alamat rumahnya di Jogja, tapi hilang sehingga nggak tahu alamat sebenarnya di Jogja, tapi orang-orang di sini menganggap beliau adalah Sultan HB X karena wajahnya mirip,” kata Sugito.
Dukuh Wotawati Robby Sugihastanto (29) mengatakan, saat ini Dukuh Wotawati tengah merintis menjadi desa wisata. Salah satu potensi dusun yang menempati lembah Bengawan Solo Purba ini adalah wisata budaya dan alam yang tidak dimiliki daerah lain.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Suara Hati Warung Mie Ayam Kecil di Rest Area Terindah di JJLS Gunungkidul
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News