Gua Maria Sendangsono yang terletak di Banjaroyo, Kalibawang Kulon Progo, Yogyakarta dikenal sebagai tempat ziarah bagi umat Katolik. Sebelum jadi tempat ziarah, warga mengenalnya sebagai tempat keramat.
***
Saya bangun kesiangan pagi ini. Padahal semalam sudah meniatkan hati untuk bangun pagi untuk bertandang ke barat laut Yogyakarta. Perjalanan ini akan panjang, sekitar 29 kilometer dari pusat Kota Yogya. Di bawah langit abu-abu, Sabtu (09/04/2022), sepeda motor Honda Beat saya melewati sawah dan jalan berliku menuju ke Gua Maria Sendangsono.
Alasan klasik bertandang ke tempat ziarah adalah menyongsong Paskah yang dirayakan tanggal 17 April 2022. Paskah, peringatan kebangkitan Yesus Kristus, merupakan hari raya paling agung umat Kristiani yang dirayakan dengan suka cita dan berkumpul bersama keluarga serta sanak saudara. Karena itu, banyak yang memanfaatkan momentum menjelang Paskah untuk pulang ke kampung halaman.
Gua Maria Sendangsono, letaknya di Semangung, Banjaroyo, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo. Kompleks peziarahan yang dikelola oleh Paroki Santa Maria Lourdes Promasan ini tidak jauh dari Jalan Raya Nanggulan-Mendut, sekitar 5,3 kilometer atau 15 menit perjalanan. Meskipun demikian, jalan kecil yang dilewati memiliki kontur naik-turun terjal lantaran berada di Pegunungan Menoreh. Begitu pun dengan beberapa titik jalan terlihat rusak namun masih bisa dilewati kendaraan roda empat.
Saya sampai di parkiran Gua Maria Sendangsono yang disebut sebagai Lourdes-nya Indonesia. Lourdes sendiri merupakan tempat penampakan Bunda Maria di Perancis yang kemudian jadi tempat ziarah umat Katolik dari berbagai penjuru dunia.
Di tempat parkir, terlihat deretan kendaraan dengan beragam plat nomor. “Jika menjelang Paskah pengunjung bisa dua sampai tiga kali lipat, apalagi weekend seperti ini,” ungkap penjaga parkir yang enggan disebutkan namanya.
Kira-kira, luas kompleks peziarahan ini mencapai 1 hektar. Untuk sampai ke Gua Maria Sendangsono, peziarah masih harus melewati jalan menanjak, sekitar 100 meter, dengan berjalan kaki. Di kiri-kanan, tampak kios-kios penjual cendera mata dan barang rohani, seperti rosario atau salib misalnya. Terlihat pula para pedagang sibuk melayani peziarah yang mampir untuk membeli lilin doa.
Sendang Semangung dan Dewi Lantamsari
Konon katanya, sebelum menjadi tempat doa umat Katolik, masyarakat sekitar akrab dengan sebutan Sendang Semangung. Dahulu, Kalibawang merupakan daerah kekurangan air. Masyarakat sulit menggali sumur. Karena itu mereka menggunakan mata air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sendang Semangung dianggap keramat. Diyakini oleh masyarakat jika dihuni oleh roh-roh gaib. Salah satunya, Dawus Tadikrama, guru ilmu gaib yang kerap datang ke sendang bersama murid-muridnya. Ketika ada yang butuh ilmu, ia akan mendudukkan murid itu di atas selembar mori putih dan menghadap sesajen seperti bunga, kemenyan, dan makanan.
Saat itu, sedikitnya setahun sekali diadakan nazaran oleh masyarakat sekitar. Gunanya untuk menghormati dan memuja roh di Sendang Semangung. Andai tidak dilakukan, maka masyarakat sekitar mendapat gangguan gaib. Sayang, tradisi itu malah diselewengkan menjadi ajang judi dan pemuasan nafsu seksual.
Dipercayai pula sosok penunggu Sendang Semangung bernama Dewi Lantamsari dan putra semata wayangnya, Den Baguse Samijo. Ketika malam tiba, masyarakat sekitar akan datang dan bersemedi di dekat sendang. Mereka mendaraskan permohonan pada dua penguasa gaib itu.
Bukan itu saja, jauh sebelum dikeramatkan oleh masyarakat sekitar, Sendang Semangung adalah peristirahatan biksu (pendeta Budha). “Saat itu belum ada Jembatan Klangon. Sendang ini letaknya di tengah Borobudur dan Bara Kidul (sekarang dikenal dengan Boro) yang merupakan biara biksu,” ungkap Yohanes Setyanto (52), pengelola Gua Maria Sendangsono, saat ditemui di sekretariat.
Ketika berjalan kaki, para biksu melewati Pegunungan Menoreh. Perjalanan lama dan menantang matahari, membuat mereka menjadikan Sendang Semangung tempat peristirahatan untuk minum air.
Barnabas Sarikrama yang sakit misterius dan Romo Van Lith
Penggemar ilmu gaib lainnya adalah Sariman Soerawirja. Ia pergi dan bertandang dari satu guru ke guru lainnya untuk mencari jawaban atas berbagai pertanyaan supranatural. “Suatu hari, ketika anak pertamanya lahir, laki-laki itu sakit misterius,” cerita Yanto, biasa dipanggil. Tungkai kakinya terdapat lubang yang mengeluarkan bau tidak sedap. Akibatnya, Sariman harus ngesot untuk berpindah tempat.
Penyakitnya membuat Sariman tidur di emperan rumah. Sebagai penganut kejawen, ia berupaya semedi agar segera sembuh, salah satunya di Sendang Semangung. Dalam keheningan, ia mendapatkan wangsit menyanga ngalor-ngetan lan kowe bakal oleh loro-loroning atunggal. “Akhirnya, pada tengah malam, Sariman mengikuti perintah itu dengan berjalan ngesot ke arah Muntilan dan bertemu Romo Van Lith, SJ,” ungkap Yanto.
Ketika melihat Sariman, tergeraklah hati Romo Van Lith. Ia merawat dengan telaten. Dibersihkan lukanya, dioleskan salep, dan dibalut perban bersih. Ia juga memberi salep dengan perban baru dan meminta laki-laki datang seminggu sekali.
Bersinggungan dengan Katolik, membuat Sariman ingin belajar lebih dalam. Oleh Romo Van Lith ia diajari Doa Bapa Kami (Rama Kawula). Dengan telaten juga, Romo Van Lith, mengajarkan agama Katolik pada Sariman yang tidak bisa baca-tulis. Saat sakitnya sembuh, ia mendapatkan sebuah kitab suci.
“Kesembuhan Sariman membawanya mengenalkan agama Katolik pada mertuanya yang seorang Pamong Desa Kajoran,” cerita Yanto. Ia merasa disembuhkan oleh Doa Bapa Kami yang sering didaraskan. Ungkapan terima kasihnya pun diwujudkan dengan menyebarkan agama Katolik pada masyarakat sekitar sesuai yang diajarkan Romo Van Lith.
Pada hari raya Pentakosta, 20 Mei 1904, Sariman dibaptis oleh Romo Van Lith dengan nama pemandian Barnabas. Ia juga diberi nama Sarikrama yang berarti rakyat jelata yang mampu menerima ajaran Kristiani. Kemudian ia dikenal dengan nama Barnabas Sarikrama.
“Kaki saya dapat digunakan lagi berkat kemurahan Tuhan, maka selanjutnya akan saya pergunakan untuk karya Tuhan,” ungkap Yanto menirukan perkataan Sariman pada waktu itu. Tanpa dibayar ia datang ke seluruh penjuru Kalibawang dengan berjalan kaki. Kegigihannya membawa 171 orang untuk dibaptis pada 14 Desember 1904. Sejak itu, empat desa di Kalibawang yaitu Kajoran, Semangung, Tuksongo, dan Promasan menjadi basis umat Katolik.
Tempat wingit yang jadi tempat doa
Setelah mengobrol dengan pengurus Gua Maria Sendangsono, saya pun diajak berkeliling dan ditemani oleh Romo Kristoforus Rhesa Allem Pramudita Pr (31), romo Paroki Promasan. Romo Rhesa, biasa dipanggil, menceritakan 19 tahun kemudian, ketika Romo JB Prennthler SJ datang dari Pegunungan Tirol, Austria. Romo berkebangsaan Jerman itu berkarya di Kalibawang dan menggagas membagi 2 wilayah, yaitu Boro sebagai pusat ekonomi dan Promasan, yang saat itu berbentuk stasi, sebagai pusat rohani.
Suatu hari, Sariman bercerita tentang pembaptisan umat Katolik di Sendang Semangung. Mata air itu berada di bawa Pohon Angsana, dikelilingi semak belukar. Romo Prennthler SJ berpikir untuk menjadikan sebagai tempat berdoa. Ia ingin menghilangkan stigma dari tempat wingit menjadi ruang untuk berdevosi atau berdoa maka jadilah Gua Maria Sendangsono.
Rencana Romo Prennthler disambut baik oleh masyarakat sekitar. Ia menelepon temannya sesama Romo Jesuit yang bertugas di Spanyol untuk mengirimkan patung Bunda Maria Ratu Surga. Karena tidak ada, akhirnya patung itu didatangkan dari Austria.
“Masyarakat gotong royong membangun gua. Mereka mengumpulkan batu dan pasir bersama-sama. Pasir diambil dari Sungai Progo. Batu diambil dari Gorolangu, Samigaluh,” ujar Romo Rhesa. Dibentuklah menjadi gua untuk meletakkan patung Bunda Maria.
Gua mengandung filosofi. Gua berbentuk oval mengibaratkan lubang vagina, sumber kehidupan. Lubang itu jadi tanda lahirnya manusia melalui pembaptisan.
Patung itu datang. Setelah sebelumnya sampai ke Batavia, kemudian diturunkan di Sentolo, Wates. Barulah dengan gerobak sapi dibawa sampai Kalibawang (Slanden). Sebanyak 30 orang turun dan menjemput Patung Bunda Maria dalam peti seberat 300 kilogram. Mereka mengangkatnya melalui perjalanan panjang dan berbatu untuk sampai ke Gua Maria Sendangsono dan ditakhtakan di sana.
Pada 8 Desember 1929, dilakukan pemberkatan Gua Maria Sendangsono, bertepatan 75 tahun dogma Maria dikandung tanpa noda. “Gua Maria Sendangsono menjadi wujud syukur perlindungan Bunda Maria atas karya misi dan monumen 25 tahun misi Katolik di Kalibawang sebagai gereja dengan umat Jawa,” ungkap Romo Rhesa. Pada pemberkatan ini juga, dihadiahkan penghargaan pada Barnabas Sarikrama berupa bintang Pro Ecclesia et Pontifice oleh Paus Pius IX.
Romo Prennthler juga memberikan 19 lonceng Belanda yang berkumandang tiga kali, yaitu jam 6 pagi, 12 siang, dan 6 sore, sebagai ajakan umat Katolik berdoa Malaekating Allah (Angelus). Pada lonceng tertulis Sembah Bektinipun Tanah Jawa Ugi. Ketika berkumandang, seluruh orang menghentikan aktivitasnya dan mulai berdoa.
Sentuhan Romo Mangun di Sendangsono
Tahun 1969, dilakukan revitalisasi Gua Maria Sendangsono. “Berada dalam lingkup Keuskupan Agung Semarang, Mgr Soegijapranata meminta Romo YB. Mangunwijaya Pr, yang piawai dalam seni arsitektur, untuk menata dengan konsep Rumah Jawa,” ujar Romo Rhesa.
Menurut tradisi Jawa, rumah dibagi menjadi pelataran, rumah depan, tengah, dan belakang. Gua Maria Sendangsono pun dibagi dalam tiga bagian yaitu pelataran (jalan masuk yang ditandai dengan jalur jalan salib), ruang depan (tempat mengambil air suci), dan ruang tengah (tempat bertemu Bunda Maria dan Tritunggal Maha Kudus).
Romo Mangun kemudian membuat tanah berteras miring sebagai pelataran dengan bentuk trap trapesium. Hal itu dilakukan agar orang dapat berdialog secara setara. Dibantu masyarakat, ia membeli tanah-tanah yang ada di sekitar Gua Maria Sendangsono. Di pelataran, dibangun rumah panggung sebagai ruang diskusi yang model bangunannya mengikuti rumah di sekitarnya.
Pun dengan jalan salib yang jadi penanda masuk ke Kompleks Gua Maria Sendangsono. Ada dua versi, yaitu jalan salib panjang dan jalan salib pendek. Sejatinya, jalan salib menggambarkan perjalanan dan perjuangan manusia. Sedangkan ornamen mawar di tembok jalan salib pendek menandakan akhirnya yang bahagia.
Romo Mangun seorang konseptor. Ia memiliki pengikut sebagai eksekutornya yang diambil dari masyarakat sekitar. Jumlahnya mencapai 4000 orang. Pembangunan 26 tahun itu baru berakhir pada 1995. Seluruh reliefnya dibuat sendiri, pun dengan batu-batu yang disusun membentuk aneka pola. “Semua itu dilakukan agar umat Katolik tetap hidup,” ungkapnya. Bangunan ini mendapat penghargaan dari Ikatan Arsitektur Indonesia sebagai karya seni dengan perjalanan panjang.
Berbagai macam permohonan peziarah
Setelah berkeliling, saya menepi di dekat sendang yang kini tertutup kaca. Katanya, tidak ada persiapan untuk paskah tahun 2022 ini.
“Dulu, setiap Jumat Agung ada perarakan dari Padusan (perhentian pertama jalan salib panjang) sampai ke Gua Maria Sendangsono, sekitar 1 kilometer,” ungkap Romo Rhesa, Pr. Perarakan itu membawa patung Maria Dolorosa (Maria yang berduka cita) mulai pukul 1 siang dan berakhir pukul 3 sore dilanjutkan misa.
Ada pula sholawatan Katolik yang dilakukan pada minggu kedua pukul 7 malam. Pun juga novena arwah Bulan November untuk mendoakan arwah umat Katolik di sekitar Gua Maria Sendangsono dan ujub khusus dari para peziarah setiap pukul 3 sore. Namun, sejak Pandemi Covid-19 kegiatan dihentikan sementara.
Sekarang, hanya ada 2 kegiatan, yaitu novena kepada Bunda Maria sebulan sekali dan misa setiap Hari Minggu pukul 11 siang. Dalam misa, dibacakan pula permohonan para peziarah yang diletakkan di kotak depan Gua Maria Sendangsono. “Kebanyakan permohonan peziarah untuk kelancaran usaha, permintaan keturunan, dan jodoh,” ungkapnya.
Memang sengaja, sedikit kegiatan keagamaan Katolik di Gua Maria Sendangsono. Hal itu lantaran memberi kebebasan peziarah untuk devosi dan bertemu Tuhan secara Pribadi. “Bunda Maria merengkuh segala ciptaan, baik terlihat maupun tidak, seagama ataupun tidak, terbuka bagi semua orang untuk menemukan Tuhannya masing-masing,” tambahnya.
Romo Rhesa ingat ketika bertemu suami-istri yang meminta berkat bagi anak bayinya. Ternyata sudah sepuluh tahun mereka memohon di Gua Maria Sendangsono ini. Dan anak yang dibawa itu adalah hasil penantiannya. Pun dengan seorang laki-laki asal Sumatera yang memilih menepi selama 1,5 tahun. Hanya sumeleh yang didapatkan setelah tidur dan berdoa di tempat ini, sebelum pulang.
Keterbukaan Gua Maria Sendangsono juga dirasakan oleh penggarap film. Ada dua film yang mengambil lokasi di tempat ini yaitu bertajuk 3 Hari Untuk Selamanya yang dibintangi Nicholas Saputra dan Adinia Wirasti dan Lukas: The Journey of an Altar Boy yang dibintangi oleh Dimas Andrean. “Bahkan pre-wedding, sampai kunjungan lintas agama boleh dilakukan,” ungkapnya.
Ada kejadian yang membuat miris yang pernah terjadi di tempat ini. Ada orang-orang yang mencoba menarik pusaka dari Pohon Angsana. Namun, banyak yang akhirnya pulang dengan tangan kosong karena kalah dengan energi positif tempat ini.
Gua Maria Sendangsono tak pernah sepi peziarah, bahkan mencapai rekor 1.5000 orang dalam sehari pasca-pandemi Covid-19. Bertambah ramai pada Bulan Mei dan Oktober sebagai peringatan Bulan Maria dan saat libur Lebaran. “Nanti, saat libur Lebaran pertama sampai ketujuh banyak yang datang untuk ziarah dan rekreasi,” ujar Romo Rhesa. Hujan turun rintik-rintik, saya segera berpamitan. Tak lupa mengambil botol plastik berisi air sendang dan membayar biaya sukarela. Pukul 5 sore, perjalanan ziarah di Gua Maria Sendangsono ini selesai.
Reporter: Briggita Adelia
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Masjid Al Abror Sidoarjo, Didirikan Ulama yang Selamat dari Pembantaian Plered dan liputan menarik lainnya di Susul.